Senin, 23 Maret 2009

Renungan

MELEPAS KEPERGIAN RAMADHAN

Berbeda dengan kebanyakan kita yang pada umumnya merasa gembira serta menampakkan wajah sumringah saat menghadapi hari-hari terakhir Ramadhan, syahdan apa yang diperlihatkan oleh para sahabat Rasulullah justru sebaliknya. Di saat-saat semacam itu justru mereka pada umumnya akan lebih banyak menunjukkan wajah yang sedih serta hati yang gundah-gulana. Mengapa? Berikut antara lain yang menjadi alasan-alasannya.

Pertama, mereka agaknya sungguh memahami dan menghayati benar serta benar-benar memahami dan menghayati atas sejumlah kekayaan kandungan hikmah bulan tersebut dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Seperti kita tahu Ramadhan bukan hanya merupakan bulan yang penuh dengan taburan hikmah, berkah, serta rahmat dan ampunan-Nya, tetapi ia juga merupakan hari-hari di mana Allah melipatgandakan nilai pahala bagi setiap kebajikan yang dilakukan serta menyediakan sebuah malam keberkahan (laitul qadr) yang nilainya lebih utama dibandingkan dengan seribu bulan. Nah, jika bulan yang sarat dengan keunggulan tersebut kini akan segera meninggalkannya ?padahal di tahun depan tidak ada jaminan sama sekali dari Allah apakah mereka masih diberi kesempatan untuk menikmatinya lagi-- wajarlah jika mereka menanggung kesedihan hati yang dalam. Oleh karena itu bagaikan orang yang masih dilanda rasa lapar dan di hadapannya tersedia semua makanan dan minuman yang lezat dan enak namun waktu yang
diberikan untuk menikmatinya tinggal beberapa menit lagi, di sisa-sisa penghujung Ramadhan dengan penuh kesungguhan mereka akan berusaha sekuat daya untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas amaliyah ibadahnya. Seperti dalam hal tadarus Al-Quran, qiyamulail, serta bagi mereka yang mampu dalam mengeluarkan infak, sadaqah, serta menyantuni fakir-miskin. Selain itu, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw., pada sepuluh hari terakhir mereka akan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk melakukan i?tikaf di masjid.

Kedua, penyebab kesedihan serta kegundahgulanaan mereka karena khawatir andai seluruh bentuk amaliyah Ramadhannya tidak ada nilainya dalam pandangan Allah. Kualitas shaum mereka khawatir sebagaimana disinyalir oleh Rasulullah hanyalah sekadar beroleh ?rasa haus dan lapar saja?. Begitu pula tadarus Al-Quran, qiyamulail, infak-sodaqohnya, mereka cemas --karena misalnya tercemari oleh unsur-unsur riya, takabur, dan sombong-- tidak ada nilainya sama sekali di mata Allah. Mereka sadar betul seandainya hal- hal yang sedemikian itu menghinggapi mereka, maka madrasah Ramadhan yang bertujuan untuk membentuk manusia taqwa sebagaimana yang dikehendaki dalam surat Al-Baqarah 183 pastilah akan jauh dari jangkauan Atas dasar kedua alasan di atas, syahdan pada setiap malam penghabisan Ramadhan Ali bin Abi Thalib r.a. sambil menampakkan wajah yang cemas serta berlinangan air mata menyampaikan pertanyaan-pernyata an retoris seperti ini: ?Wahai dapatkah kiranya aku mengetahui siapakah
gerangan orang yang telah pasti diterima amalan puasanya, supaya aku dapat mengucapkan selamat berbahagia kepadanya? Dan siapakah orang-orang yang bernasib malang, karena tidak diterima puasanya oleh Allah, supaya aku dapat menghibur hatinya??.

Hal serupa juga dilakukan oleh sahabat Ibnu Ma?sud dengan pernyataannya: ?Wahai saudaraku yang telah pasti diterima amaliyah puasanya, selamat dan berbahagialah dirimu. Dan wahai saudaraku yang yang ditolak amaliyah puasanya, aku turut berdoa semoga Allah akan menutup bencana yang akan menimpa dirimu?. Menurut para ulama atas dasar semacam itu pula maka menjadi dapat dimengerti jika tahniah (ucapan selamat) yang biasanya dilakukan oleh para sahabat saat bertemu dengan sesamanya saat berhari raya Idul Fitri, berupa saling menyampaikan doa: Taqabbala lahu minna waminka (minkum), yang artinya ?semoga Allah berkenan menerima (amaliyah Ramadhan) diriku dan dirimu?. Dan bukan ucapan: minal aidin wal faizin (yang artinya ?semoga kita menjadi orang yang kembali? tapi kerap disalahkaprahkan oleh sebagian kita menjadi ?mohon maaf lahir bathin?).

Begitu pula saat memasuki hari 1 Syawal (lebaran), cara-cara para sahabat Rasulullah bertakbir, takhmid dan tahlil --karena ruhani mereka ada dalam atmosfir sebagaimana digambarkan itu? lebih banyak dilakukan dengan penuh rasa penghayatan, tawadhu, serta jauh dari sikap arogan dan hingar-bingar. Dan sebagaimana dicontohkan oleh Rasulllah ucapan takbir, takhmid dan tahlil tersebut lebih banyak mereka lakukan saat mereka menuju ke tanah lapang untuk sholat Idul Fitri. Begitulah contoh yang diperlihatkan oleh para sahabat yang mulia kepada kita dalam melepas kepergian bulan Ramadhan dan menyambut kedatangan hari kemenangan. Sungguh, seandainya saja cara-cara para sahabat Rasulullah tersebut kita jadikan pedoman, niscaya setiap kali kita menghadapi hari-hari terakhir bulan Ramadhan kita tidak perlu melihat kumpulan manusia yang berjejalan mentawafi pasar dan pusat-pusat perbelanjaan, atau menyaksikan lautan orang di terminal-terminal bis dan stasiun kereta, serta kemacetan pada
hampir seluruh ruasan jalan. Begitu pula saat tibanya malam 1 Syawal kita tidak perlu melihat lagi sebagian kaum muslimin melakukan aktivitas takbiran dengan cara-cara yang dapat mengganggu ketentraman dan kenyamanan orang lain dan mengesankan sebuah kearoganan. Seperti melakukan konvoi takbir keliling semalam suntuk dengan menggunakan alat pengeras suara sambil menabuhi bedug yang tiada henti.

Idul Fitri memang merupakan hari kemenangan yang patut disyukuri dan dan dirayakan, khususnya bagi mereka yang berhasil melakukannya ibadah Ramadhannya penuh dengan kesungguhan dan perhitungan (ihtisaaban) . Akan tetapi perayaannya harus senantiasa tetap berada dalam koridor ajaran Al-Quran dan sunnah Nabawiyyah dan bukan dengan melakukan hal aneh-aneh, sehingga dapat mencoreng wajah Islam yang damai, ramah serta dan menawarkan kesejukan bagi semesta alam (rahmatan lilalamin).
Kholid A.Harras
Gerakan Budaya Tolak Gelar Kodian
Oleh KHOLID A. HARRAS

KETIKA fenomena praktik obral jual beli gelar akademik
"kodian" melanda masyarakat dalam sepuluh tahun
terakhir ini, selain mengeluh dan menyatakan
keprihatinan, apa yang dilakukan oleh universitas atau
dunia perguruan tinggi (PT) kita untuk membendungnya?
Jujur saja jawabannya nyaris tak ada. Alih-alih banyak
di antara mereka yang justru ikut ambil bagian
"meramaikannya".

Memang modusnya tidak senaif dan senekat seperti yang
dilakukan oleh PT penjual gelar-gelar "aspal" yang
menurut surat-surat edaran dari Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi Depdiknas No. 2014/D/T/2002 tanggal
23 September 2002 dan surat pengumuman Dirjen
Pendidikan Tinggi Departeman Pendidikan Nasional Nomor
444/D/T/2005 tertanggal 4 Februari 2005 jumlahnya
mencapai puluhan itu. Sejumlah PT itu antara lain
Harvard International University, World Association
University and Colleges, American World University,
Northern California Global University, Edtracon
International Institute, Institute of Business &
Management "Global, American Management University,
American Global University, American International
Institute of Management and Technology, Jakarta
Institute of Management Studies (JIMS), Distance
Learning Institute (DLI), AIMS School of Business Law,
Washington International Institute, American Institute
of Management Studies, International Distance Learning
Program (IDLP), San Pedro College of Business
Administration Kennedy Western University, University
of Barkeley, Barkeley International University,
American Genesco University, Chicago International
University, dll.

Kabarnya, masyarakat yang menginginkan gelar dari
lembaga-lembaga tersebut cukup menyerahkan daftar
riwayat hidup, fotokopi KTP, pas foto dan tulisan
beberapa lembar serta membayar uang administrasi
sejumlah beberapa puluh juta rupiah. Bila persyaratan
itu bisa dipenuhi, kendati mereka hanya lulus SMP
serta tak mampu berbahasa Inggris sekalipun, dalam
sekejap akan segera diwisuda dan menyandang gelar
kehormatan impiannya, dari mulai M.B.A., B.B.A.,
doktor bahkan profesor. Sebagai kasus, menurut
penyelidikan Mabes Polri terhadap Institut Management
Global Indonesia (IMGI), sejak 31 Oktober 1999 sampai
25 September 2000 PT Maya yang memiliki cabang di 53
kota di tanah air tersebut sedikitnya telah memberikan
ijazah aspal kepada 2.685 orang. Ke-2.685 orang itu
memiliki gelar profesor sebanyak 38 orang, Ph.D. (66
orang), M.Sc. (305), B.B.A. (641), M.B.A. (570),
M.M.A. (10), D.B.A. (7), M.B.C. (2), B.A. (1) dan B.Sc
.(5). Sebagian di antaranya merupakan pejabat negara,
dan bahkan aparat perwira polisi juga ada (Antara
29/8/2005).

Berbeda dengan mereka, yang dilakukan oleh sejumlah
PTN dan PTS dalam meramaikan dan menangkap fenomena
masyarakat yang tengah "mabok" gelar ini masih
mengesankan tetap dalam koridor jalur akademik, yakni
dengan membuka program pascasarjana "kelas jauh".
Begitu pula program yang ditawarkannya umumnya sebatas
strata dua (kebanyakan disiplin ilmu magister
manajemen). Namun para pengamat dunia pendidikan
tinggi pastilah paham praktik yang sesungguhnya
terjadi pada kasus kelas-kelas jauh semacam itu.

Selain persyaratannya amat longgar, seperti boleh
diikuti oleh siapa saja yang ijazah S-1nya disiplin
ilmu apapun dan tidak terlalu mensyaratkan kepemilikan
TOEFL kepada pesertanya, juga pada umumnya
penyelenggaraannya tidak didukung oleh perangkat
sistem proses belajar-mengajar jarak jauh sebagaimana
lazimnya. Misalnya mereka tidak menggunakan modul
seperti yang dilakukan oleh UT (Universitas Terbuka).
Begitu pula dengan waktu tempuhnya tidak lebih dari
short course (kursus singkat) sehingga kurang
mencerminkan proses individual learning para
pesertanya. Waktu tempuh pada proses pendidikan
program S-2 yang benar dan wajar yang lazimnya
berkisar antara 2 hingga 2,5 tahun bisa mereka singkat
hanya setengahnya saja. Akibat praktik pascasarjana
model "kelas jauh" semacam itu, banyak masyarakat yang
meragukan kualitas keilmuan para lulusannya.

Bagaimana dengan upaya dari pihak pemerintah - dalam
hal ini Dirjen Diknas - terhadap praktik jual beli
gelar yang jelas-jelas merupakan proses pembodohan
masyarakat tersebut? Dengan alasan belum ada perangkat
hukum yang mengaturnya, mereka juga tidak berdaya.
Setakat ini yang dapat mereka lakukan hanya sebatas
mengimbau atau menegur, karena kewenangan institusinya
hanya sebatas memberikan teguran, sedangkan kewenangan
hukum menutup lembaga-lembaga "maya" tersebut
sepenuhnya berada di tangan kepolisian. Sementara ini
pihak Polri juga tidak bisa seenaknya menindaknya
secara hukum, baik terhadap lembaga yang
memperdagangkan maupun para pengguna aneka gelar
"aspal" tersebut, sejauh belum ada pengaduan dari
masyarakat yang merasa menjadi korbannya. Selain itu
kabarnya kepolisian sendiri menghadapi beban
psikologis, karena sejumlah nama perwira tinggi Polri
dan TNI serta sejumlah pejabat negara kita juga
menjadi konsumen dari PT "maya" tersebut.

Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas) memang telah ada sejumlah pasal yang
harapannya akan dapat menertibkan masalah yang sangat
melecehkan martabat dunia pendidikan kita ini.
Sebagaimana termaktub pada Bab XX pasal 67 ayat (1)
dan (4) disebutkan bahwa terhadap para penyelenggara
pendidikan gelar-gelar aspal tersebut diancam akan
dikenakan sangsi pidana penjara selama sepuluh tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sedangkan
terhadap para penggunanya, sebagaimana termaktub pada
pasal 68 ayat (2), (3) dan (4) serta pasal 69 ayat (1)
dan (2), akan dikenakan sanksi pidana penjara paling
lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Sejauh mana
efektivitas pemberlakuan kedua bentuk sanksi tersebut,
sejarah masih harus membuktikannya.

Memang di era globalisasi dan demokratisasi namun gaya
hidup masyarakatnya masih menggemari feodalisasi,
upaya penertiban hukum saja terhadap lembaga-lembaga
penjual gelar tersebut menjadi tidak cukup serta tidak
akan efektif. Sebab dalam hal ini agaknya berlaku
hukum ekonomi permintaan-penawaran; sepanjang
masyarakat membutuhkan gelar-gelar tersebut maka
lembaga-lembaga penyedianya akan tetap ada. Begitu
pula selagi masyarakat kita masih menganggap gelar
sebagai sebuah prestise - meskipun dilarang hukum -
tetap saja akan banyak orang yang akan mencarinya.
Oleh karena itu untuk memberantasnya selain harus
dibuat aturan-aturan hukum dan perundang-undangan yang
jelas dan tegas juga perlu dilawan lewat gerakan atau
aksi kultural.

Aksi kultural ini bisa dilakukan oleh segenap komponen
masyarakat; misalnya oleh organisasi-organisasi
profesi, keilmuan, kecendekiawanan, LSM, lembaga pers,
dan juga dunia perguruan tinggi. Bentuknya bisa
bermacam-macam; dari mulai imbauan, aksi penolakan,
pembuatan aturan hingga melakukan gugatan (class
action).

Sejumlah organisasi profesi seperti PGRI atau IDI
misalnya, secara aktif perlu menertibkan para
anggotanya yang menggunakan gelar-gelar aspal semacam
itu. Hal yang sama juga selayaknya dilakukan oleh
organisasi keilmuan dan kecendekiawanan seperti, ISEI,
ISPI, HISKI, MLI, MSI serta oleh ICMI dan PIKI. Bahkan
dalam konteks organisasi-organisasi yang mengusung
bendera "disiplin keilmuan dan kepakaran" tersebut
mereka harus berani memecat para anggotanya yang
kedapatan memakai gelar-gelar kodian tersebut. Karena
tindakannya itu jelas-jelas telah melanggar dan
melecehkan etika dan fatsoen keilmuan dan kepakaran.

Sementara lembaga-lembaga pers dengan kekuasaan yang
dimilikinya juga dapat berperan meminimalisasi bisnis
jual beli gelar ini. Misalnya, kendati dari pemasukan
iklan cukup menguntungkan, sebaiknya pers menolak
menjadi corong pariwara oleh lembaga-lembaga maya
tersebut. Termasuk dalam hal ini menjadi tempat
mangkalnya iklan-iklan ucapan selamat kepada para
pejabat yang mendapatkan gelar-gelar kodian. Selain
itu mereka juga sebaiknya mengambil kebijakan tidak
menuliskan gelar dari tokoh dan figur-figur publik
dalam pemberitaannya. Sedangkan gerakan kultural yang
dapat dilakukan oleh pihak LSM, seperti YLKI dan YLBHI
misalnya, mereka dapat mengakomodasi dan mewakili
masyarakat yang merasa dirugikan dan berniat melakukan
gugatan, baik terhadap lembaga maupun orang-orang yang
menggunakan aneka gelar kodian tersebut.

Gerakan kultural yang dilakukan oleh berbagai elemen
di atas mungkin akan menjadi tidak efektif andaikan
dunia perguruan tinggi kita lantas sekadar menjadi
penonton. Oleh karena itu PTS dan PTN kita, khususnya
yang dianggap berada di garda depan, harus juga secara
aktif melakukan gerakan kultural untuk membendungnya.
Salah satu caranya antara lain dengan merekomendasi
serta ikut memberikan gelar-gelar akademik kehormatan
kepada sejumlah anak bangsa yang memang layak
mendapatkannya.

Harus kita akui dalam tradisi perguruan tinggi kita
pemberian gelar-gelar akademik kehormatan semacam Dr.
H.C (honoris causa), baik terhadap anak bangsanya yang
memiliki karya monumental dan bermanfaat bagi
peradaban masih merupakan hal yang langka. Dalam
bidang sastra misalnya, setelah almarhum kritikus HB
Yasin yang mendapatkannya dari UI berpuluh tahun yang
lalu baru sastrawan Taufiq Ismail yang mendapatkannya
dari UNY (Universitas Negeri Yogyakarta). Begitu pula
dalam bidang jurnalistik, selama negeri ini berdiri,
baru pimpinan Kompas Jakob Oetama yang mendapatkan
gelar kehormatan tersebut dari UGM beberapa tahun yang
lalu.

Akibat sikap "bakhil" perguruan tinggi kita ini tidak
heran jika kondisinya menjadi ironi; sejumlah
putra-putra terbaik bangsa kita justru mendapatkan
aneka gelar kehormatan dari sejumlah perguruan tinggi
bergengsi luar negeri. Almarhum Buya Hamka, pelukis
Affandi serta budayawan Soedjatmoko misalnya ketiga
tokoh kaliber internasional tersebut masing-masing
mendapatkan gelar doktor kehormatan honoris causa-nya
dari universitas-universitas terkemuka mancanegara. Ke
depan "tragedi" semacam ini tentunya tidak boleh lagi
terjadi.

Dengan banyaknya perguruan tinggi kita yang memberikan
gelar-gelar kehormatan kepada anak-anak bangsa yang
memang pantas menerimanya ini diharapkan akan dapat
mengeliminasi fenomena maraknya praktik jual-beli
gelar yang tidak bertanggung jawab seperti sekarang
ini. Selain itu gerakan kultural semacam ini juga
merupakan tanggung jawab moral sekaligus sebuah
"pendidikan" kepada masyarakat ihwal bagaimana
seharusnya kita mengapresiasi dan menghargai prestasi
anak bangsa sendiri. Bukankah bangsa yang besar adalah
bangsa yang pandai dan tidak melupakan prestasi
terbaik yang berhasil dicapai oleh anak-anak
bangsanya?***

Penulis, staf pengajar Universitas Pendidikan
Indonesia, Bandung.
Republika, Date: Sat, 26 Oct 2002 15:25:24 +0700

Utang Khalifah Umar
Oleh : Kholid A Harras

Sepulang sekolah, putra Khalifah Umar bin Khattab menangis tersedu-sedu. Dia bercerita bahwa teman-temannya selalu mengolok-olok karena bajunya paling kumal di sekolah.

Sebagai seorang ayah, Umar memahami kesedihan anaknya itu. Tetapi, dia tak berdaya karena gajinya sebagai amirul mukminin hanya bisa mencukupi kebutuhan paling primer. Setelah berpikir lama, Umar menulis surat ke bendaharawan negara. Dia mengajukan pinjaman utang empat dirham dengan potongan gaji sebagai jaminan.

Tak lama suratnya dibalas. Isinya kira-kira seperti ini: ''Saya dapat meluluskan pinjaman Anda sebesar empat dirham, dengan memotong gaji Anda bulan depan sebagai jaminannya. Namun, sebelumnya tolong Anda jawab terlebih dahulu pertanyaan berikut dengan jujur: ''apakah Anda dapat memastikan akan hidup sampai bulan depan?''

Setelah membaca surat itu, Umar menggigil, matanya berkunang-kunang. Ia tersungkur bersujud seraya mengucap istighfar, memohon ampunan Allah. Umar lalu menulis surat kembali kepada bendaharawan negara. Dia berterima kasih telah diingatkan serta membatalkan niatnya berutang.

Sesudah itu, dia memanggil putranya dan berkata, ''Wahai anakku, ayahmu tidak dapat memperhitungkan umurnya walaupun hanya sejam ke depan. Ayahmu juga tidak ingin mewariskan utang kepadamu. Sudah terlalu banyak hal yang harus ayahmu pertanggungjawabkan ke hadapan Allah di akhirat nanti. Karena itu, ayah membatalkan niat meminjam uang untuk membeli baju barumu. Jadi, besok berangkatlah kamu ke sekolah dengan menggunakan bajumu yang biasa.''

Salah satu pendidikan yang dapat dipetik dari kisah Umar ini, antara lain, hendaknya kita berhati-hati dan takut untuk berutang. Terlebih jika hal itu hanya sekadar untuk memenuhi prestise dan bukan dalam rangka menunjang kegiatan muamalat yang produktif. Rasulullah saw mengingatkan, ''Jauhilah utang karena utang itu hanya membuat kamu gundah di malam hari
dan terhina di siang hari.'' (HR Bukhari-Muslim).

Menurut para pakar ekonomi, salah satu faktor penyebab sulitnya perekonomian bangsa ini kembali bangkit dari keterpurukannya adalah karena kebijakan pembangunan ekonomi kita, baik pada masa lalu maupun masa sekarang, lebih banyak bersandar pada utang. Akibatnya, sekarang kita terhina di siang hari, dan gundah gulana di malam hari. Belum lunas utang lama, kita sudah beriba-iba untuk mendapatkan utang baru, begitu seterusnya. Konyolnya, utang itu lebih banyak diarahkan untuk membiayai proyek-proyek prestisius ketimbang proyek-proyek produktif untuk hajat hidup masyarakat banyak. Wajar jika kini makin sempurnalah penderitaan bangsa kita..
Isola Pos Online, 08 Jun 2005, 14:24

Minat Baca Kita Rendah?

“Mungkin di antara kita hanya sedikit yang mengetahui bahwa tanggal 17 Mei, merupakan hari baca nasional,” ungkap Kholid A. Harras, dosen mata kuliah membaca Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI, tentang hari membaca yang diperingati pada 17 Mei yang telah lalu. Padahal, konon, membaca merupakan ciri berbudayanya suatu bangsa, karena dengan membaca kita akan lebih mengetahui segala. Tapi konon pula, seperti yang diamini Kholid, minat baca bangsa kita sangat rendah. Tak terkecuali mahasiswa.

“Penyebabnya sangat kompleks,” ujarnya. Lalu Kholid menuturkan satu-satunya. “Pertama, jumlah penerbitan yang beroperasi di Indonesia masih rendah, jika dibandingkan dengan negara lain.” Di samping itu, tuturnya, menurut penelitian, bangsa ini terbagi kedalam tiga kategori besar, yaitu iliterat (kategori yang buta hurup), aliterat (kategori melek hurup, tetapi malas untuk membaca), literat (kategori yang membudayakan membaca). “Nah, mahasiwa kita termasuk kategori aliterat, karena bangsa kita lebih sering menjadi pendengar (budaya oral),” tambahnya.

Selanjutnya Kholid menunjuk pola belajar sekolah formal yang masih berpusat pada guru. “Sewaktu di sekolah lanjutan tingkat atas (SMA) atau tingkat pertama (SMP), siswa dicekoki dengan ucapan–ucapan guru tanpa ada inisiatif untuk mengkaji dan mencari dari berbagai buku.” Budaya tersebut berlanjut hingga jenjang perguruan tinggi. “Buku tidak dijadikan basis dasar sebagai pembelajaran,” imbuhnya.


Dwi Fitria Ambarina, Mahasiswa Psikologi Pendidikan dan Bimbingan UPI menunjuk sedikitnya pengunjung perpustakaan sebagai indikasi rendahnya minat baca. Dwi mencontohkan, ketika presentasi, kebanyakan mahasiswa tiadak menguasai bahan dan sumber dalam makalah yang mereka buat relatif sedikit.

Orin, mahasiswa UPI lain menyatakan alasannya malas membaca. “Bukunya tebal-tebal, kepalanya saya jadi pusing.” Dengan jujur Orin mengaku dirinya lebih tertarik membeli baju dan kosmetik daripada membeli buku.

“Melihat fenomena di atas, tugas kitalah untuk mengampanyekan minat baca terhadap seluruh lapisan masyarakat, “ucap Kholid. Salah satu caranya, menurut Kholid, adalah dengan mencontoh keijakan yang dilakukan oleh Bupati Indramayu . Langkah-langkah yang dilakukannya yaitu menyediakan pos baca di setiap kecamatan hingga ke desa-desa, mengoperasikan perpustakaan keliling, dan terakhir, menyediakan koran-koran disudut kota.

Selain penentu kebijakan, Kholid tak lupa menyinggung peran keluarga. “Selayaknya orang tua menyediakan buku bacaan yang sesuai dengan minat dan kesukaan anak,” katanya. Atmosfir membaca yang kondusif juga tak kalah penting. Untuk kalangan mahasiwa, cara yang sederhana adalah mengajak teman mencari buku, dan meminjamkan buku kepada teman-teman. Pertanyaannya, maukah kita memulainya dari sekarang? [Nazla]
KOMPAS JABAR, Kamis, 23 Maret 2006

Mengatasi Krisis Air Bersih di Wilayah Bandung

Ironis, tidak masuk akal jika diberitakan masyarakat di wilayah Bandung (Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan Cimahi) mengalami krisis air bersih. Alam yang mengitari wilayah ini tingkat curah hujannya tinggi, sekitar 2.000 mm/tahun. Selain itu, wilayah ini berupa cekungan yang memiliki banyak sungai.

Namun, fakta menunjukkan hampir sepanjang tahun masyarakat didera krisis air bersih. Seperti masyarakat perkotaan lainnya, andalan utama sebagian besar masyarakat Kota Bandung untuk mendapatkan air bersih sehari-hari berasal dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Sejak zaman kolonial Belanda hingga pertengahan tahun 1970-an, PDAM Kota Bandung mampu memenuhi seluruh kebutuhan air bersih warga kotanya. Bahkan, pasokan air bersih dari PDAM dapat dinikmati hampir semua warga kota terus-menerus selama 24 jam.

Namun, masa-masa indah itu tinggal kenangan. Seiring semakin tingginya tingkat pertumbuhan penduduk serta pesatnya perluasan kota, PDAM Kota Bandung kini hanya mampu melayani 53 persen saja dari kebutuhan air bersih penduduknya. Itu pun dengan kualitas pelayanan yang jauh dari memadai.

Penyebab ketidakmampuan PDAM Kota Bandung memenuhi kebutuhan air bersih warganya adalah penurunan debit air baku ke bak-bak penampungan dan pengolahan air PDAM yang hanya sekitar 2.200 liter/detik saja. Dari sejumlah sumur bor artesis 5-30 liter/detik. Rendahnya kontribusi dari sumur-sumur bor artesis yang dimiliki PDAM karena jumlahnya yang terus menerus menurun.

Upaya penyelamatan

Untuk mengatasi masalah air bersih itu, para pengambil kebijakan di wilayah Bandung harus membuat tata aturan dan perangkat hukumnya (rule of law), kemudian menegakkan aturan main yang sudah ada yang berkait, baik langsung maupun tidak langsung dengan persoalan sumber daya air.

Misalnya, perda yang telah dikeluarkan oleh Pemkot Bandung menyebutkan maksimal 60 persen dari lahan yang ada boleh didirikan bangunan, sedangkan sisanya 40 persen harus dibiarkan menjadi ruang terbuka supaya masih ada lahan untuk penghijauan dan tempat air meresap ke dalam tanah. Aturan ini harus diterapkan konsisten.

Begitu pula masing-masing pemkot yang ada di wilayah Bandung juga harus melakukan tindakan hukum yang tegas kepada yang melanggar perda mengenai peruntukan ruang terbuka hijau (RTH), yang terdapat di wilayahnya masing-masing.

Hal yang sama juga dikenakan kepada pelanggar Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 63/1993, yang mengatur sempadan sungai di perkotaan selebar 15- 20 meter, serta kepada pelaku industri yang melanggar perda yang mengatur proses pembuangan limbah industri. Masyarakat yang seenaknya membuang limah ke sungai pun harus ditindak tegas.

Sekarang ini pemanfaatan maupun pengamanan sumber daya air di berbagai daerah kerap kali masih dilihat secara administratif. Belum tercipta sebuah kebijakan yang koordinatif, dan lintas sektoral. Bahkan dengan berlakunya otonomi daerah, daerah seolah berlomba- lomba mengelola sumber daya air semata-mata sebagai potensi mengeruk pendapatan asli daerah (PAD).

Kerja sama antarinstansi atau antarsektor dalam menangani persoalan sumber daya air masih dilakukansendiri-sendiri. Misalnya, air sungai ditangani Departemen Kimpraswil atau Pekerjaan Umum, air tanah ditangani Biro Tata Lingkungan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal), air minum oleh PDAM, sedangkan daerah aliran sungai dikelola Departemen Kehutanan. Antar- sesama mereka seolah tidak mau tahu, dan memunculkan egonya masing-masing.

Upaya-upaya lain yang perlu dilakukan dalam menyelamatkan krisis air bersih di Kota Bandung adalah segera merealisasikan gerakan hemat air (GHA), yang selama ini lebih banyak diperlakukan sekadar slogan. GHA telah dicanangkan sejak Oktober 1994, namun hingga kini hanya sekadar wacana. Untuk merealisasikannya dibutuhkan keteladanan, termasuk dari jajaran pejabat maupun para stakeholder Kota Bandung. Selain itu, yang juga perlu dilakukan dalam merealisasikan GHA adalah melibatkan secara pro-aktif dunia pendidikan, dari tingkat terendah hingga tertinggi, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Hal ini sangat penting.

Berdasarkan pencatatan penduduk tahun 2000, jumlah penduduk Bandung yang saat ini berusia 5-24 tahun tercatat 746.073 jiwa, atau sekitar 39,1 persen dari total penduduk ibu kota Provinsi Jawa Barat ini. Hampir setengah dari penduduk Kota Bandung saat ini berstatus pelajar atau mahasiswa.

Jika pembudayaan GHA diterapkan secara sungguh-sungguh di semua lapisan jenjang pendidikan, budaya perilaku GHA diharapkan juga akan menjadi tradisi dari para peserta didik saat mereka dewasa.

KHOLID A HARRAS Staf Pengajar FPBS Universitas Pendidikan Indonesia

KOMPAS JABAR, Kamis, 18 Mei 2006

Tumbuhkan Minat Baca Masyarakat

Pada 8 April 2005 Bupati Indramayu H Irianto MS Syafiuddin mendapat penghargaan tingkat nasional dari Serikat Penerbit Surat Kabar. Kang Yance demikian panggilan akrab Bupati Indramayu ini dinilai sebagai kepala daerah yang memiliki kepedulian yang sangat besar dalam mendorong minat baca masyarakatnya. Untuk sektor pendidikan Bupati Yance telah mengalokasikan anggaran APBD yang cukup besar, yakni 38,7 persen. Dengan alokasi anggaran sebesar itu Pemerintah Daerah Indramayu memiliki energi yang cukup untuk melakukan berbagai terobosan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di daerahnya, termasuk meningkatkan kuantitas maupun kualitas perpustakaan yang dimilikinya.

Sepuluh tahun lalu kondisi Perpustakaan Pemda Indramayu betul- betul sangat memprihatinkan. Gedungnya sangat kumuh dan tidak terurus. Koleksi bukunya sangat terbatas. Jika saat itu kita bermaksud mencari buku-buku sastra misalnya, bersiap-siaplah untuk kecewa. Dengan kondisi seperti itu, data jumlah rata-rata pengunjungnya setiap hari dapat dihitung dengan jari tangan saja. Namun, kini berkat suntikan dana yang mencukupi, kondisi Perpustakaan Pemda Indramayu benar-benar telah berubah total. Gedungnya cukup representatif, dilengkapi fasilitas AC, serta koleksi buku-buku yang dimilikinya pun sudah cukup lengkap (tentunya untuk ukuran sebuah perpustakaan daerah tingkat kabupaten).

Begitu pula manajemen pengelolaan dan pelayanannya sudah profesional serta menerapkan sistem komputerisasi. Dengan kondisi yang seperti itu, kini setiap harinya Perpustakaan Pemda Indramayu selalu ramai dikunjungi, khususnya oleh para pelajar dan mahasiswa. Untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, pihak pengelola perpustakaan melakukan berbagai terobosan inovatif. Secara berkala di selasar gedungnya diselenggarakan pameran buku. Pihak pengelola mengundang para penerbit atau distributor buku seperti Toko Buku Gramedia untuk menggelar pameran.

Lewat terobosan semacam itu, fungsi perpustakaan tidak hanya sebatas tempat peminjaman buku, tetapi juga menjadi area bagi masyarakat mendapatkan buku-buku terbitan terbaru. Lewat terobosan semacam itu, mereka juga mencoba mendekatkan masyarakat dengan dunia perpustakaan. Selanjutnya, berkat sokongan dana yang memadai, kini keberadaan armada perpustakaan keliling mampu beroperasi lebih baik. Secara berkala armada yang berjumlah tiga unit itu mengelilingi kota-kota kecamatan dan desa guna memberikan pelayanan kepada masyarakat. Memang jumlahnya masih terlampau sedikit untuk menjangkau wilayah Indramayu yang cukup luas itu.

Upaya lainnya, Pemda Indramayu juga mendirikan pos-pos baca. Kebijakan mendirikan pos-pos baca sampai tingkat desa ini, sejauh pengamatan penulis, agaknya belum dilakukan oleh pemda kabupaten lain di Jawa Barat. Kiat lainnya, secara proaktif Kang Yance juga terus berupaya mendekati kalangan dunia usaha swasta serta BUMN, khususnya yang ada di wilayahnya, untuk ikut serta membantu mendirikan rumah-rumah baca di wilayah Indramayu. Salah satu hasilnya, pada tanggal 1 Maret 2004 melalui PUKK-PKBL (Program Kemitraan Bina Lingkungan) PT Pertamina UP VI Balongan telah mendirikan sebuah rumah baca yang berlokasi di SDN Balongan III, tepatnya di Blok Kesambi, Desa/Kecamatan Balongan. Rumah baca tersebut dilengkapi komputer, jaringan internet, serta ribuan buku. Kemudian dalam upayanya membina minat baca masyarakatnya Bupati Yance juga bekerja sama dengan berbagai organisasi kemasyarakatan, pers maupun LSM.

Belum banyak Di tengah gonjang-ganjing politik dan sosial serta keterpurukan ekonomi yang terus mendera bangsa, kebijakan yang dilakukan Bupati Yance dalam mendorong minat baca masyarakatnya lewat upaya nyata meningkatkan kuantitas maupun kualitas perpustakaan di daerahnya layak diberikan catatan tersendiri karena belum banyak pemda lain yang melakukannya. Padahal, banyak temuan hasil penelitian menyebutkan bahwa salah satu kendala terbesar yang kita hadapi dalam menumbuhkan minat baca (reading habit) di negeri ini, antara lain akibat masih sangat minimnya sarana perpustakaan yang tersedia di masyarakat. Sebagai gambaran, menurut data Perpustakaan Nasional, konon dari sekitar 70.000 desa dan 9.000 kecamatan yang ada di Indonesia, tak lebih dari setengah persen sudah memiliki perpustakaan standar. Adapun dari sekitar 316 kabupaten, baru 70 persen yang memiliki perpustakaan standar. Bagaimana dengan perpustakaan sekolah? Ternyata masih belum beranjak dari kata memprihatinkan. Dari sekitar 200.000 SD, diperkirakan cuma satu persen saja yang memiliki perpustakaan standar. Sementara dari sekitar 70.000 unit SLTP, hanya 36 persen yang memiliki perpustakaan standar.

Dan, dari sekitar 14.000 unit SLTA, hanya 54 persen saja yang mempunyai perpustakaan standar. Sementara di perguruan tinggi yang notabene merupakan centre of excellence, dari sekitar 4.000 perguruan tinggi yang kita miliki, hanya 60 persen saja yang memiliki perpustakaan standar. Sebagai gambaran, menurut data UNESCO misalnya, konon dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia yang belum bisa membaca atau dikategorikan illiterate jumlahnya masih sekitar 34,5 persen. Artinya, cuma 65,5 persen saja yang sudah melek huruf.

Dari jumlah tersebut sebagian besar dari mereka termasuk dalam kategori kelompok aliterate, yakni mereka bisa membaca, tetapi memilih untuk tidak menjadikan aktivitas membaca sebagai bagian dari tradisi hidupnya. Sementara itu, masyarakat kita yang berkategori literate, yakni yang telah menjadikan aktivitas membaca sebagai bagian dari kebudayaan hidupnya, menurut sebuah hasil penelitian, jumlahnya tidak sampai 10 persen dari populasi bangsa ini. Bandingkan misalnya dengan kondisi Malaysia, di mana jumlah masyarakat melek huruf yang mencapai 86,4 persen dan sudah berkategori literate telah mencapai 50 persen. Tidak sederhana Upaya menghadirkan minat baca seseorang, terlebih menjadikannya sebagai bagian dari tradisi masyarakat atau bangsa memang bukan persoalan sederhana.

Sebab, sebagaimana dikemukakan dalam banyak literatur, faktor-faktor yang menggayuti minat baca ini memang cukup kompleks. Selain bergayut dengan aneka faktor psikologis, juga bergayut dengan faktor-faktor yang turut memengaruhi minat baca ini. Maka, pengupayaannya tidak dapat hanya bertumpu pada salah satu faktor saja dan mengabaikan faktor lainnya, misalnya hanya mengandal- kan institusi persekolahan formal belaka. Keluarga, masyarakat, dan terlebih pihak pemerintah mutlak dituntut peran sertanya secara nyata. Tanpa peran serta mereka, mengharapkan masyarakat dan bangsa ini berbudaya membaca hanya akan menjadi sebuah utopia saja. Kebijakan dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Kang Yance merupakan contoh dari wujud peran pemerintah dimaksud. Apa yang dilakukan oleh Bupati Indramayu ini seyogianya dapat ditiru oleh para bupati atau wali kota di daerah-daerah lainnya dalam upaya mendorong minat dan kegemaran membaca masyarakatnya.

KHOLID A HARRAS Penulis dan pensyarah pada FPBS Universitas Pendidikan Indonesia

Selasa, 17 Maret 2009

Handout Dasar-dasar Jurnalistik (1)

Handout 1
MODAL MENULIS

Menulis itu gampang, kata Arswendo Atmowiloto. Ia setengah benar. Yang benar seluruhnya: menulis itu gampang kalau punya modal. Apa modalnya? Banyak. Tapi sedikit juga bisa, asal punya kemauan menggebu-gebu. Yang penting, Anda tergolong “kutu buku” alias gila membaca. Yang penting, Anda mau rajin berlatih curat coret apa saja, sesuai getar nurani dan gejolak pikiran Anda. Yang penting, Anda teliti, peduli dengan hal-hal kecil, dan mau berepot-repot mengurusi titi koma, huruf kapital, dan tanda tanya, serta tetek bengek urusan ejaan lainnya. Yang penting, Anda jujur dan berjiwa merdeka. Yang lebih penting lagi: Anda punya “sesuatu” yang ingin Anda tuliskan.
Nah, sekarang kita mulai dengan pelajaran pertama: Kemauan besar. Bagaimana menumbuhkannya dan memupuknya? Yakini bahwa menulis adalah pekerjaan mulia. Anda bisa beramal saleh dengan menulis. Juga berda’wah dan merintis jalan ke surga. Untuk kepentingan duniawi, menulis adalah pekerjaan yang dapat menghasilkan uang yang cukup untuk menghidupi anak-istri, asal dilakoni dengan sungguh-sungguh dan profesional. Menulis juga dapat mengantarkan orang menjadi terkenal dan dihormati.
Anda tentu tahu, di samping seorang ulama terkemuka, Hamka adalah seorang penulis yang karya-karyanya sangat diminati oleh masyarakat luas dan luar biasa produktifnya: dari mulai menulis novel monumental seperti Di Bawah Lindungan Kabah dan Tenggelamnya Kapal van Der Wijk hingga Tafsir Al Azhar yang tiga puluh jilid itu. Sayid Qutb dan Hasan Al Banna bukan sekadar aktivis Ikhwanul Muslimin yang paling berkeringat dalam kerja da’wah sepanjang hayatnya, tapi juga mereka adalah penulis ulung yang fasih dan produktif. Amien Rais dikenal sebagai seorang kolumnis yang jernih dan produktif, di samping seorang ilmuwan dan politikus terpandang.
Begitulah. Kerja menulis dapat menjadi jembatan untuk sukses di berbagai bidang. Juga dapat menjadi tumpuan dan pilihan dalam menjalani karier kehidupan. Dan yang lebih membahagiakan: Anda memiliki kesempatan yang sangat terbuka dan luas untuk bersilaturahmi dengan khalayak yang nyaris tak terbatas. Artinya, bila tiba saatnya suatu hari nanti Anda dipanggil Yang Maha Kuasa untuk menghadap ke haribaan-Nya, Insya Allah, yang mendoakan, yang menyolatkan, dan yang mengantarkan jasad Anda ke kuburan akan berjubel dan berduyun-duyun.
Punya kemauan besar saja tentu tak cukup. Untuk menjadi seorang penulis yang “kaya” dan produktif, Anda harus mahir dan banyak membaca. Mahir membaca, artinya, Anda tahu persis tata tertib membaca. Kapan dan bagaimana cara berburu bahan bacaan; kapan dan bagaimana cara membaca cepat; kapan dan bagaimana cara membaca kritis; kapan dan bagaimana Anda harus membuat catatan bacaan. Pokoknya, Anda harus betul-betul “mabok bacaan”, apa saja, di mana saja, dan kapan saja. Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Donna Norton (1996) di Amerika Serikat, para jurnalis dan penulis profesional rata-rata menghabiskan waktunya enam jam untuk membaca dalam sehari semalam. Dalam enam jam itu, minimal mereka membaca 12 koran harian, 8 majalah mingguan, 4 majalah bulanan, 2 makalah laporan penelitian, dan satu bab dari sebuah buku keluaran terbaru. Belum lagi ditambah dengan alokasi satu jam sebagai tambahan aktivitas membaca untuk mengakses internet.



(Tunjukkan kemahiran Anda dalam hal menulis, 30 menit)
(a) Coba, deh, tuliskan, sungguh-sungguhkah Anda ingin menjadi seorang penulis profesional? Lengkapi jawaban Anda dengan alasan yang rasional dan (boleh juga sedikit bumbu) emosional! (Ditulis dalam tiga paragraf. Setiap paragraf minimal tiga kalimat. Setiap kalimat minimal tiga kata, maksimal tiga belas kata).
(b) Apaya-upaya apa saja yang akan Anda lakukan untuk meraih predikat “penulis profesional” itu? Kegiatan harian? Kegiatan mingguan? Kegiatan bulanan? Kegiatan tahunan? (Ditulis dalam lima paragraf. Setiap paragraf minimal tiga kalimat. Setiap kalimat minimal tiga kata, maksimal tiga belas kata).
(c) Siapa penulis yang menjadi idola Anda? Mengapa dia? Berikan alasan yang cukup! (Ditulis dalam satu paragraf., yang terdiri atas minimal lima kalimat. Setiap kalimat minimal tiga kata, maksimal tiga belas kata).






































Handout 2

BERITA

Kriteria untuk menilai berita adalah:
ü Apakah ada sesuatu yang baru?
ü Apakah ada hal yang luar biasa?
ü Apakah penting atau menarik?
ü Apakah menyangkut kehidupan manusia?
DARI MANA DATANGNYA BERITA?

ü Konflik
ü Bencana dan Tragedi
ü Pembangunan dan Perkembangan
ü Kejahatan
ü Uang
ü Perlawanan Kaum Tertindas
ü Agama
ü Selebritis
ü Kesehatan
ü Seks
ü Cuaca
ü Makanan dan Minuman
ü Hiburan
ü Olahraga dan Seni
ü Kemanusiaan
ü ?
?
?
?
?










































Handout 3
KERANGKA TULISAN

Ibarat selembar peta di tangan seorang pengembara, kerangka tulisan berfungsi sebagai “petunjuk jalan” bagi seorang penulis. Dari mana ia harus mulai melangkah dan masuk, tikungan dan tanjakan mana saja yang harus dijelajahi, dan akhirnya ia harus menentukan, puncak mana yang akan digapainya. Itulah tamsil kerangka tulisan: yakni, suatu rencana kerja yang memuat garis-garis besar dari suatu tulisan yang akan digarap.

Di samping urutan rencana kerja, sebuah kerangka tulisan juga memuat ketentuan-ketentuan pokok bagaimana suatu topik harus dirinci dan dikembangkan. Kerangka tulisan menjamin suatu penyusunan yang logis dan teratur, serta memungkinkan seorang penulis membedakan gagasan-gagasan utama dari gagasan-gagasan tambahan. Namun, pada dasarnya, sebuah kerangka tulisan harus fleksibel. Ia boleh berubah di tengah jalan, asal tetap berpedoman kepada tujuan yang hendak dicapai.

Keberadaan kerangka tulisan boleh hanya membentang di kepala, asal Anda punya “daya rinci dan daya kendali” yang luar biasa. Yang aman dan nyaman, jika kerangka tulisan itu Anda coretkan dalam selembar kertas. Di samping mudah mengontrolnya, juga enak menggelindingkannya, serta Anda akan terhindar dari kesalahan-kesalahan yang tidak perlu.

Beberapa kegunaan lain membuat kerangka tulisan:

(a) Agar gagasan tulisan jelas dan tersusun secara teratur. Dalam kerangka tulisan yang baik, selalu ada ungkapan gagasan pokok secara sekilas, yang kemudian dirinci dengan beberapa gagasan penjelas. Dengan demikian, karena diungkapkan secara tertulis, Anda dapat segera menilai, apakah gagasan pokok dan rinciannya itu sudah jelas dan tersusun logis
(b) Agar mudah menggarap klimaks yang beragam. Anda harus maklum, setiap tulisan dikembangkan menuju ke satu klimaks tertentu. Klimaks itu bukan hanya ada di akhir tulisan, tapi juga di bagian-bagian tertentu dari tulisan itu. Nah, supaya pembaca dapat terpikat terus-menerus menuju klimaks utama, maka susunan bagian-bagian tertentu harus diatur pula, sesuai dengan klimaks yang hendak diraihnya.
(c) Agar terhindar dari pengulangan topik yang tidak perlu. Ada kemungkinan suatu bagian tulisan perlu dibicarakan dua kali atau lebih. Kalau bentuk dan teknik penyajiannya sama, hal itu kerap membosankan. Apalagi jika terjadi semacam “inkonsistensi” atau pernyataan yang satu sama lain bertentangan. Dengan adanya kerangka tulisan, kemungkinan buruk dan memalukan itu akan terhindarkan.
(d) Agar mudah mencari bahan pendukung. Dengan membuat perincian dalam kerangka tulisan, Anda dapat dengan mudah mencari data-data atau fakta-fakta untuk memperjelas atau membuktikan suatu pernyataan/gagasan. Juga Anda lebih terjamin untuk tidak berbuat keliru dalam penempatan data/fakta atau ilustrasi/contoh.

Biasanya, suatu kerangka tulisan yang baik dibuat melalui proses yang berulang. Sebagai penulis pemula, Anda jangan terlalu cepat puas dengan kerangka tulisan pertama. Kemungkinannya, setelah Anda pertimbangkan dari berbagai segi dan telah Anda diskusikan dengan teman sejawat yang paham akan topik yang hendak Anda tulis, kerangka tulisan pertama itu harus direvisi. Dan itu sesuatu yang lumrah. Bahkan wajib, agar kerangka tulisan Anda betul-betul matang.

Berikut ini adalah panduan pokok, agar Anda tidak tersesat dalam menyusun kerangka tulisan.
(a) Rumuskan topik tertentu berdasarkan tujuan yang akan dicapai melalui tulisan itu. Topik yang baik untuk menyusun kerangka tulisan harus berbentuk “pengungkapan maksud” atau tesis.
(b) Pastikan, ada masalah apa saja di balik topik yang hendak Anda tulis itu. Ungkapkan secara rinci berupa sub-sub topik dan gambarkan secara operasional (terukur secara kualitatif dan kuantitatif).
(c) Sejauh mana signifikansi (kemaknawian) topik dan masalah itu bagi segmen pembaca Anda. Rumuskan dengan jelas dan terarah.
(d) Periksa topik dan sub-sub topik itu dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
Pertama, apakah semua sub-topik yang tercatat mempunyai pertalian (relevansi) langsung dengan topik utama/tesis? Jika kurang relevan, coret sub topik itu dari kerangka tulisan.
Kedua, apakah sub-sub topik yang tersisa masih bisa dirumuskan dengan cara yang berlainan, yang lebih jelas dan tajam? Jika bisa, lakukan!
Ketiga, apakah sub-sub topik yang tersisa itu kedudukannya sederajat, atau ada sub topik yang sebenarnya merupakan bawahan atau perincian dari sub topik lain. Jika ada, masukkan sub topik bawahan itu ke dalam sub topik yang lebih sederajat.
Keempat, Jika terlalu banyak sub topik yang sederajat, cari sub topik atasannya yang bisa membawahi semua sub topik yang sederajat itu.
(e) Pilih, Anda mau pakai pola susunan macam apa? Kronologis? Perbandingan? Topikal? Spasial? Opini-penalaran? Masalah-pemecahannya? Atau, secara alur berpikir, Anda mau pakai pola induktif, deduktif, gabungan, atau prismatis?

Tugas
1. Pilih satu salah tulisan yang terdapat pada sebuah majalah edisi berapa saja. Lalu tebak dan tentukan, kira-kira kerangka tulisannya bagaimana?

TOPIK/TESIS/MAKSUD TULISAN?

………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………(cukup satu kalimat dalam bentuk proposisi)

MASALAH dan SUBTOPIK
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
(Masalah cukup dalam satu kalimat tanya, sedangkan subtopik sesuai apa adanya dalam teks)



SIGNIFIKANSI/KEMAKNAWIAN
…………………………………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………………………………….
(cukup satu kalimat dalam bentuk pernyataan harapan, misalnya dimulai dengan “agar pembaca…”)

POLA TULISAN
( ) Kronologis ( ) Perbandingan

( ) Topikal ( ) Spasial ( ) Opini-Penalaran

( ) Induktif ( ) Deduktif ( ) Gabungan ( ) Prismatis

(Biasanya jarang hanya satu pola, jadi Anda sangat boleh pilih lebih dari satu)
2. Anda sudah punya gagasan/bahan baku untuk menulis? Buatlah kerangka tulisan Anda berdasarkan kisi-kisi di atas!































Handout 4
MASIH KERANGKA TULISAN

Soalnya ini sangat penting. Jadi dibahas rada berkepanjangan. Lagi pula, membiasakan bikin kerangka tulisan itu tak mudah. Kebanyakan penulis, terutama para pemula, kerap terlalu percaya diri bahwa dirinya “mampu menulis” tanpa harus berepot-repot bikin kerangka segala. Sikap angkuh begitu bisa tak salah. Namun, ingat. Setiap orang yang mengaku profesional di bidangnya selalu bekerja atas dasar “:sistem”, bukan sekadar atas dorongan “syahwat”.

Berhubung kerangka tulisan merupakan salah satu komponen dari sistem menulis, maka yakinilah bahwa dengan membuat kerangka tulisan terlebih dulu, kerja menulis Anda akan lebih cepat dan sistematis serta hasilnya biasanya akan lebih bagus. Lihat saja, penulis dan wartawan senior sekaliber Rosihan Anwar masih berendah hati mau berepot-repot menyusun kerangka sebelum ngebut menulis dengan mesin tik tuanya. Bahkan George Fridman, redaktur senior The Washington Post, haram menerima tulisan staf redaksinya yang tidak diawali dengan langkah membuat dan mengkonsultasikan kerangka tulisannya. Begitu pentingnya membuat sebuah kerangka tulisan sebagai salah satu tahap dalam perencanaan sebuah tulisan, maka seorang Arswendo Atmowiloto menyebutnya sebagai “sebuah blueprint yang menandakan bahwa sebuah tulisan telah diproses 75%”. Jadi, dengan kerangka di tangan, hanya tinggal selangkah lagi untuk menyelesaikan sebuah tulisan.

Untuk Anda, model kerangka tulisan begini yang ditawarkan (boleh dimodifikasi sesuai kebutuhan dan selera):
A. Tuliskan, peristiwa apa yang mendorong Anda mau menulis?
Jawabannya boleh gara-gara Anda membaca sebuah berita di koran pagi atau lebih seru lagi kalau Anda mendengar, menyaksikan, mengalami, dan mengamatinya langsung.
B. Tentukan, kira-kira peristiwa (A) itu enaknya dan tepatnya dipayungi oleh topik apa? Tuliskan saja dalam sebuah kalimat yang mengandung proposisi, boleh berisi tema atau cuma sudut pandang.
C. Ajukan, ada masalah apa sih di balik peristiwa dan topik itu? Bikin saja dalam sebuah kalimat tanya yang berisi gugatan.
D. Lalu pastikan, apa perlunya bagi pembaca jika Anda menuliskan semuanya itu? Ini biasanya disebut signifikansi atau kemaknawian sebuah tulisan.
E. Dari situ, baru bikin rincian: sub-sub topik apa saja yang akan Anda tulis. Bagian pembukanya apa, tengahnya apa, dan akan diakhiri dengan muatan apa. Boleh juga membuat rincian berdasarkan jumlah paragraf yang hendak Anda tulis. Itu lebih bagus, karena akan langsung membimbing Anda dalam membangun paragraf. Di sini sekaligus juga tentukan, pola tulisan macam apa yang hendak Anda buat?
F. Akhirnya sub-sub topik itu harus diperiksa secara cermat dan akurat, apakah bahan baku yang tersedia cukup memadai untuk mengembangkannya. Bila bahan baku dinilai kurang atau tidak ada sama sekali, segera cari, bisa lewat reportase atau kajian dokumen. Yang pasti, kerangka tulisan yang Anda buat harus sejalan dengan bahan baku yang tersedia. Ingat, Anda sedang menulis berita atau artikel, bukan sedang menulis puisi atau cerpen yang modalnya cukup dengan imajinasi.
G. Dari A s.d. D sebut saja sebagai “usulan tulisan”. Sedangkan dari E s.d. F boleh disebut “kisi-kisi tulisan”. Keduanya itu berada di bawah payung “kerangka tulisan”. Semuanya itu cuma merek saja, agar mudah memilah-milah dan jelas identitasnya. Yang penting, Anda selalu menyadari, bahwa untuk menghasilkan sebuah tulisan yang baik perlu tahapan perencanaan yang tertib. Itu saja.
H. Contoh:
(1) Peristiwa: (a) Soeharto diadili
(b) Gus Dur Belepotan Aib
(tulis secara lengkap berdasarkan rumus 5W + 1 H)
(2) Topik: Ketidakseriusan pemerintahan Gus Dur dalam mengadili kasus-kasus KKN, terutama yang berkaitan dengan dosa-dosa Soeharto dan kroninya.
(Harus terukur secara kuantitatif dan kualitatif)
(3) Masalah: Apakah pengadilan Soeharto hanya sandiwara? (Dalam bentuk pertanyaan yang tajam dan menggugat, tapi tetap terukur secara kuantitatif dan kualitatif/bisa dicek kebenarannya pada peristiwa).
(4) Signifikansi: Agar pembaca tak mudah tertipu oleh jurus-jurus palsu para politisi dalam upaya menegakkan hukum.
(5) Pola tulisan: kronologis, opini-penalaran, gabungan.
(6) Sub-sub topik:
- Pembukaan: 1 – 3 paragraf (hotnews-menggugah)
- Bodi : 5 – 20 paragraf (data-opini publik-analisis)
- Penutup : 1 – 3 paragraf (penilaian-opini media)

1. Latihan
A. Coba bikin sebuah “usulan tulisan” yang Anda proyeksikan untuk dimuat di PR.
B. Coba bikin sebuah “kisi-kisi tulisan” yang Anda proyeksikan untuk dimuat di PR.
C. Mari kita diskusikan, sejauh mana peluang kerangka tulisan Anda memenuhi kelayakan untuk PR.
2. Lembar Jawaban:

A. USULAN TULISAN

(1) Peristiwa:………………………………………………………………………………
(2) Sumber…………………………………………………………….
(3) Topik………………………………………………………………………………….
(4) Masalah……………………………………………………………………………….
(5) Signifikansi……………………………………………………………………………

B. KISI-KISI TULISAN
(1) Pola tulisan:………………………………………………………………………

(2) Subtopik: ………………………………………………………………………

Pembukaan:……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

Bodi:………………………………………………………………………………………..………………………………………………………………………………………….…………………………………………………………………………………………...…………………………………………………………………………………………..……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….……………………………………………………………………………………………


Penutup:…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….





































Handout 4
MASIH KERANGKA TULISAN

Soalnya ini sangat penting. Jadi dibahas rada berkepanjangan. Lagi pula, membiasakan bikin kerangka tulisan itu tak mudah. Kebanyakan penulis, terutama para pemula, kerap terlalu percaya diri bahwa dirinya “mampu menulis” tanpa harus berepot-repot bikin kerangka segala. Sikap angkuh begitu bisa tak salah. Namun, ingat. Setiap orang yang mengaku profesional di bidangnya selalu bekerja atas dasar “:sistem”, bukan sekadar atas dorongan “syahwat”.

Berhubung kerangka tulisan merupakan salah satu komponen dari sistem menulis, maka yakinilah bahwa dengan membuat kerangka tulisan terlebih dulu, kerja menulis Anda akan lebih cepat dan sistematis serta hasilnya biasanya akan lebih bagus. Lihat saja, penulis dan wartawan senior sekaliber Rosihan Anwar masih berendah hati mau berepot-repot menyusun kerangka sebelum ngebut menulis dengan mesin tik tuanya. Bahkan George Fridman, redaktur senior The Washington Post, haram menerima tulisan staf redaksinya yang tidak diawali dengan langkah membuat dan mengkonsultasikan kerangka tulisannya. Begitu pentingnya membuat sebuah kerangka tulisan sebagai salah satu tahap dalam perencanaan sebuah tulisan, maka seorang Arswendo Atmowiloto menyebutnya sebagai “sebuah blueprint yang menandakan bahwa sebuah tulisan telah diproses 75%”. Jadi, dengan kerangka di tangan, hanya tinggal selangkah lagi untuk menyelesaikan sebuah tulisan.

3. Untuk Anda, model kerangka tulisan begini yang ditawarkan (boleh dimodifikasi sesuai kebutuhan dan selera):
Tuliskan, peristiwa apa yang mendorong Anda mau menulis?
Jawabannya boleh gara-gara Anda membaca sebuah berita di koran pagi atau lebih seru lagi kalau Anda mendengar, menyaksikan, mengalami, dan mengamatinya langsung.
Tentukan, kira-kira peristiwa (A) itu enaknya dan tepatnya dipayungi oleh topik apa? Tuliskan saja dalam sebuah kalimat yang mengandung proposisi, boleh berisi tema atau cuma sudut pandang.
Ajukan, ada masalah apa sih di balik peristiwa dan topik itu? Bikin saja dalam sebuah kalimat tanya yang berisi gugatan.
Lalu pastikan, apa perlunya bagi pembaca jika Anda menuliskan semuanya itu? Ini biasanya disebut signifikansi atau kemaknawian sebuah tulisan.
Dari situ, baru bikin rincian: sub-sub topik apa saja yang akan Anda tulis. Bagian pembukanya apa, tengahnya apa, dan akan diakhiri dengan muatan apa. Boleh juga membuat rincian berdasarkan jumlah paragraf yang hendak Anda tulis. Itu lebih bagus, karena akan langsung membimbing Anda dalam membangun paragraf. Di sini sekaligus juga tentukan, pola tulisan macam apa yang hendak Anda buat?
Akhirnya sub-sub topik itu harus diperiksa secara cermat dan akurat, apakah bahan baku yang tersedia cukup memadai untuk mengembangkannya. Bila bahan baku dinilai kurang atau tidak ada sama sekali, segera cari, bisa lewat reportase atau kajian dokumen. Yang pasti, kerangka tulisan yang Anda buat harus sejalan dengan bahan baku yang tersedia. Ingat, Anda sedang menulis berita atau artikel, bukan sedang menulis puisi atau cerpen yang modalnya cukup dengan imajinasi.
Dari A s.d. D sebut saja sebagai “usulan tulisan”. Sedangkan dari E s.d. F boleh disebut “kisi-kisi tulisan”. Keduanya itu berada di bawah payung “kerangka tulisan”. Semuanya itu cuma merek saja, agar mudah memilah-milah dan jelas identitasnya. Yang penting, Anda selalu menyadari, bahwa untuk menghasilkan sebuah tulisan yang baik perlu tahapan perencanaan yang tertib. Itu saja.
Contoh:
Peristiwa: (a) Soeharto diadili
(b) SBY Belepotan Aib
(tulis secara lengkap berdasarkan rumus 5W + 1 H)
Topik: Ketidakseriusan pemerintahan SBY dalam mengadili kasus-kasus KKN, terutama yang berkaitan dengan dosa-dosa Soeharto dan kroninya.
(Harus terukur secara kuantitatif dan kualitatif)
Masalah: Apakah pengadilan Soeharto hanya sandiwara? (Dalam bentuk pertanyaan yang tajam dan menggugat, tapi tetap terukur secara kuantitatif dan kualitatif/bisa dicek kebenarannya pada peristiwa).
Signifikansi: Agar pembaca tak mudah tertipu oleh jurus-jurus palsu para politisi dalam upaya menegakkan hukum.
Pola tulisan: kronologis, opini-penalaran, gabungan.
Sub-sub topik:
Pembukaan: 1 – 3 paragraf (hotnews-menggugah)
Bodi : 5 – 20 paragraf (data-opini publik-analisis)
Penutup : 1 – 3 paragraf (penilaian-opini media)


























Handout 5
ANALISIS BERITA:
MENULIS BERITA ATAS DASAR FAKTA, DAN LOGIKA

Analisis berita adalah suatu bentuk ragam jurnalistik yang tidak sekadar berusaha mengambarkan fakta-fakta berdasarkan peristiwa tertentu, tetapi lebih jauh dan dalam lagi: berusaha mempengaruhi sikap dan pendapat pembaca, agar mereka itu percaya dan akhirnya bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penulisnya. Itulah yang disebut “analisis berita”: rumit, panjang, berliku, berat, dan padat.

Mengapa rumit? Karena fakta yang menjadi bahan baku untuk analisis berita bukan sesuatu yang sederhana dan lumrah, tetapi mesti yang dahsyat, langka, dan diperkirakan akan menjadi momentum sejarah yang penting bagi kehidupan umat. Mengapa panjang dan beriku? Karena fakta yang menjadi bahan baku untuk analisis berita bukan sekadar dijajakan secara sekilas, tetapi digali latar belakangnya, dikorek detailnya, dan dibentangkan kemungkinan-kemungkinan ke depannya. Mengapa berat? Karena fakta yang menjadi bahan baku untuk analisis berita dicoba dicari kebermaknaannya dalam spektrum yang lebih luas dan dalam. Untuk itu diperlukan semacam “teori ilmiah” dan “landasan Ayat” tertentu sebagai pisau analisisnya. Mengapa padat? Karena karya tulis apapun memang tidak boleh bertele-tele. Jadi, melalui analisis berita, seorang jurnalis berusaha merangkaikan fakta-fakta sedemikian rupa, sehingga ia mampu menunjukkan apakah fakta-fakta itu bermakna “historis” atau sekadar peristiwa biasa saja. Analisis berita merupakan puncak yang paling tinggi dalam olah jurnalistik. Ia bukan cuma butuh dukungan kecanggihan kerja liputan, juga diperlukan ketajaman visi dan keluasan wawasan.

Dasar sebuah tulisan yang masuk kategori “analisis berita” adalah berpikir kritis dan logis. Untuk itu, ia harus bertolak dari fakta-fakta yang ada dan tersedia. Fakta-fakta itu kemudian diolah sedemikian rupa agar jelas dan meyakinkan bagi pembaca. Sebab itu, penulis analisis berita harus cermat meneliti apakah semua fakta yang akan dipergunakan itu benar dan relatif lengkap. Juga harus dicek, sejauh mana relevansinya dengan maksud yang hendak diungkapkan. Dengan fakta yang benar dan relatif lengkap, penulis analisis berita dapat merangkaikan suatu penuturan yang logis menuju kepada suatu kesimpulan yang tajam dan dapat dipertanggungjawabkan. Jika kurang cermat menganalisis kebenaran dan kelengkapan fakta-fakta, seluruh proses analisis akan gagal dan ngawur. Jadi, sesungguhnya, problem pertama dalam kerja menulis analisis berita adalah menyangkut bidang penalaran.

Penalaran adalah suatu proses berpikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan. Ibaratnya sebuah bangunan, maka fakta-fakta itu dapat disamakan dengan batubata, batukali, semen, dan sejenisnya. Sedangkan proses penalaran itu sendiri dapat disamakan dengan bagan atau arsitektur untuk membangun gedung tersebut. Jadi, penalaran merupakan sebuah proses berpikir untuk mencapai suatu kesimpulanm yang logis.

Penalaran bukan saja dapat dilakukan dengan mempergunakan fakta-fakta yang masih polos, tetapi dapat juga dilakukan dengan mempergunakan fakta-fakta yang telah dirumuskan dalam kalimat-kalimat yang berbentuk pendapat atau kesimpulan. Kalimat-kalimat semacam ini, dalam kaitannya dengan proses berpikir dalam rangka menulis analisis berita, lazim disebut proposisi, yakni: pernyataan yang dapat dibuktikan kebenarannya atau dapat ditolak karena kesalahan yang terkandung di dalamnya. Jadi, sebuah proposisi dapat dibenarkan jika terdapat bahan-bahan atau fakta-fakta untuk membuktikannya. Sebaliknya, sebuah proposisi dapat disangkal atau ditolak jika terdapat fakta-fakta yang menentangnya.

1. PERISTIWA – SEBAB – DAMPAK

Ketika menulis analisis berita, jangan lupa posisi, bahwa Anda seorang wartawan, bukan ilmuwan atau politisi atau demonstran atau kiai. Jadi, bukalah tulisan Anda dengan narasi dan deskripsi peristiwa. Jangan sekali-kali Anda mengawali tulisan dengan teori, dalil, atau hal-hal yang beraroma “pikiran”. Seorang jurnalis memang pada dasarnya merupakan sosok “manusia bebas”, tetapi bukan berarti boleh nyelonong ke sana kemari menabrak dan mengacak-acak serta merecoki profesi orang lain.Bahwa Anda kemudian melakukan analisisnya juga terhadap suatu peristiwa, itu bukan berarti Anda jagoan berteori untuk bidang apa saja, tetapi analisis yang Anda lakukan sebatas mengacu kepada hukum-hukum logika yang umum dan keluasan wawasan yang Anda miliki. Makanya, dalam analisis berita, narasi dan deskripsi peristiwa itu kemudian diikuti dengan “sebab-sebab terjadinya peristiwa itu” atau boleh juga semacam latar belakangnya (something behind news), yang bersumber dari kerja liputan mendalam dan investigasi serta ketajaman logika dan keluasan wawasan Anda.

Tak cukup sampai di situ. Yang lebih penting lagi, dalam analisis berita, Anda harus mampu memperkirakan sejauh mana dampak peristiwa itu dalam konteks ruang dan waktu. Artinya, apakah peristiwa pembakaran tempat-tempat maksiat itu misalnya akan berdampak positif terhadap lingkungan moral sekitar, baik hari ini atau di masa depan. Untuk itu, yang diperlukan bukan sekadar keenceran otak dan ketajaman logika, tetapi juga “pengetahuan teoretis” tentang peristiwa yang Anda tulis itu. Khusus untuk Anda sebagai jurnalis muslim, perlu menu tambahan yang berupa “keakraban Anda bergaul dengan Ayat”. Jadi, sesunguhnya, salah satu rumus menulis analisis berita itu sederhana, yaitu: PERISTIWA – SEBAB – DAMPAK. Rumus itulah yang harus dijadikan pedoman dalam membuat kerangka tulisan analisis berita.

LATIHAN
1. Dalam sepekan ini, tentukan minimal 3 topik analisis berita. Boleh berdasarkan bacaan, lobi, atau reportase langsung.
2. Buat kerangka perencanaan liputan dan penulisannya?












Handout 6
BAGAIMANA JURUS MEMBUKA TULISAN ?

Sebuah ungkapan klise sangat dikenal di kalangan penulis, bahwa "paragraf pembuka adalah sebuah mukjizat". Sesungguhnya dalam kenyataannya tak sepersis itu, namun ungkapan itu perlu dicerna dalam konteks: betapa pentingnya keberadaan kalimat/paragraf pembuka dalam sebuah tulisan dan betapa tak selalu mudah untuk memunculkannya. Coba cek dengan pengalaman pribadi Anda sendiri, bisa jadi ungkapan dan proposisi itu terlalu berlebihan.
Baiklah. Itu tak penting. Yang lebih harus Anda perhatikan adalah kenyataan bahwa daya pikat dan kekuatan sebuah tulisan sangat bergantung pada sejauh mana kualitas kalimat/paragraf pembukanya. Maksudnya begini: orang tidak bakal ujug-ujug nengok kamar tamu, kamar tidur, atau wc, sebelum memandang dan menginjak teras sebuah rumah. Artinya, kesan dan penilaian pembaca terhadap sebuah tulisan bermula dari kalimat/paragraf pembuka, setelah baca judul tentunya. Begitu kalimat/paragraf pembuka menarik minat dan menggelitik hati, insya Allah, pembaca akan terus berlanjut memamah kalimat-kalimat/paragraf-paragraf berikutnya. Sebaliknya, jika kalimat/paragraf pembuka dirasakan biasa-biasa saja atau bahkan menjengkelkan dan memuakkan, pembaca yang jujur dan berselera akan segera menghentikan proses membacanya. Buat apa repot-repot baca tulisan yang penampilan pertamanya saja sudah menunjukkan cacat bawaan dan berkesan kurang menghormati pembaca yang cerdas dan budiman.
Lebih dari itu, pembaca sekarang memang cenderung kian kritis dan manja. Kritis dalam arti, mereka hanya membaca tulisan yang betul-betul mereka perlukan. Manja dalam arti, tulisan yang diperlukannya itu harus dikemas dengan selera tertentu yang layak dinikmati. Jadi, sebagai penulis, Anda tak cukup hanya menyajikan informasi yang betul-betul dibutuhkan oleh segmen pembaca media Anda, tapi lebih dari itu: Anda pun dituntut untuk mengemasnya dalam bantuk tulisan yang mengundang greget dan menggelar daya pikat.
Kembali ke soal kalimat/paragraf pembuka dalam sebuah tulisan, paling tidak ada 23 jenis bukaan yang dikenal dan lazim dipergunakan para penulis profesional untuk berbagai bidang. Namun, berhubung Anda wartawan dan bekerja di sebuah media tulis dwimingguan, tak semua jenis bukaan itu Anda perlukan. Sebagai seorang jurnalis, yang harus menjadi kredo utama Anda dalam menulis kalimat/paragraf pembuka adalah: Bukalah tulisan Anda dengan PERISTIWA. Jenis bukaan inilah yang menduduki peringkat tertinggi dalam tulisan jurnalistik. Sebagaimana Anda maklum, yang namanya PERISTIWA dalam kaidah jurnalistik terangkum dalam rumus 5W + 1H (what, where, why, when, who + how). Jadi Anda boleh memilih salah satu atau lebih dari muatan rumus itu untuk dijadikan kalimat pembuka, sesuai dengan relevansi dan urgensi sebuah topik tulisan.
Mari kita diskusikan penggalan-penggalan kalimat pembuka berikut ini:

(1) Menunjukkan fakta tempat:

Di Pasar tanahabang, Jakarta Pusat, salah satu sentra ekonomi tempat tumbuhnya para preman, kutipan liar kepada para pedagang masih berlangsung.

Di Aceh, darah mengalir begitu mudah.

(2) Menggambarkan fakta orang:

Tubuh Abdul Rohim, 31 tahun, ditanam sebatas dada.

Ribuan anak muda berwajah bercahaya, berjenggot, bersorban, dan mengenakan baju jubah warna putih, berkumpul di Kampung Munjul, Desa Kayumanis, Bogor.
(3) Membandingkan fakta:

Presiden Abdurahman Wahid memiliki tiga juru bicara, jumlah yang tidak dipunyai oleh presiden-presiden sebelumnya.

Nyali Prayogo pangestu ternyata tak sebesar orangnya.

Andaikan pertandingan tinju, pertarungan politik sekarang ini sudah sampai ronde-ronde terakhir.

(4) Menunjukkan fakta kegiatan:

Sweeping buku yang dianggap kiri dilarang oleh pemerintah.

Bagi pria lemah syahwat, kini ada menu baru pengganti cula badak: daging ikan lumba-lumba rebus.

(5) Menggambarkan fakta suasana:

Sepi tak beranjak dari Wisma Hing Puri Bima sakti Batutulis, Bogor.

Mendung menggelayut di wajah sophie Gustafson

Ruang rapat kerja DPR itu sudah berpendingan, tapi Wiranto terlihat gerah.

Ruang persegi yang berdinding tiga terdiri dari kain putih itu terkesan apik dan mencekam.

(6) Menceritakan fakta kronologis:

Jafar Umar Thalib tidak menyangka perjalanannya dari Yogyakarta menuju Makassar, awal Mei lalu, harus berakhir di Jakarta -- di sel sempit tahanan polisi.

(7) Menjelaskan fakta sejarah:

Komunisme sudah bangkrut di Rusia bersama tumbangnya sejumlah patung Lenin dan Stalin.

Jika ada persamaan dalam sejarah kepresidenan di republik ini, barangkali itu adalah dalam perkara kegamangan untuk berhenti.

Pertengahan Maret tahun 2000, Uganda dikejutkan aksi bunuh diri massal para pengikut Sekte "Gerakan Restorasi Sepuluh Perintah Allah" yang dipimpin oleh Joseph Kibweteree.

(8) Menunjukkan fakta perspektif:

Pada masanya nanti, bulan hanya bisa dilihat dari daratan Asia dan sekitarnya.

Digelarnya SI MPR nampaknya sudah keniscayaan.

(9) Kutipan:

"Erap must resign now!" Itulah sebaris pesan lewat short message service (SMS), yang sempat ngetrend di kalangan pengguna ponsel Filipina.

I Hate Israel adalah salah satu tembang dari album penyanyi pop Mesir, Shaaban Abdel Rehim, , yang kini sering berkumandang di beberapa stasiun radio Mesir.

Membaca Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohamad (Tempo, 20 Mei 20001) tentang hukum rajam, sungguh mengerikan.





























Handout 7
WAWAWANCARA
A. Pengertian
Wawancara, yang merupakan topik pelatihan ini, adalah satu jenis percakapan yang khas, yang lazim dipergunakan untuk menggali informasi. Percakapan yang berlangsung dalam wawancara biasanya berupa tanya jawab. Wawancara sering diasosiasikan dengan pekerjaan kewartawanan untuk keperluan penulisan berita atau feature yang disiarkan dalam media massa. Wawancara juga dapat dilakukan oleh pihak lain untuk keperluan, misalnya, penelitian atau penerimaan pegawai. Wawancara yang dimaksud dalam penelitian ini adalah yang biasa dilakukan di dunia jurnalistik. Berbeda dengan ngobrol, dalam dunia jurnalistik, wawancara bertujuan pasti: menggali permasalahan yang ingin diketahui untuk disampaikan kepada khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsa. Berbeda dengan penyidik atau interogator, wartawan tidak memaksa tetapi membujuk orang agar bersedia memberikan keterangan yang diperlukannya.
Bingham dan Moore (1924: 3) mendefinisikan wawancara sebagai "Suatu percakapan berdasarkan suatu maksud". Definisi wawancara yang lain yang lebih rinci dikemukakan oleh Stewart dan Cash (1988:3), yakni "Suatu proses komunikasi diadik, relasional, dengan tujuan yang serius dan ditetapkan terlebih dulu yang dirancang untuk mempertukarkan perilaku dan melibatkan tanya jawab". Kata "serius" dalam definisi tersebut dapat mengundang persoalan manakala dikonfirmasikan dengan fakta bahwa sekarang ini banyak acara wawancara di televisi yang berbentuk hiburan yang populer (misalnya, berbagai acara talkshow), meskipun tetap dikemas dengan topik yang serius.
Apapun bentuk dan tujuannya, pewawancara biasanya menggunakan satu dari dua pendekatan: yang baku dan tidak baku. Menurut Tubbs dan Moss (1996:42), wawancara baku terdiri dari seperangkat pertanyaan yang dipegang teguh pewawancara dan tidak boleh menyimpang dari daftar pertanyaan yang telah ditetapkan itu, sedangkan wawancara tidak baku memungkinkan pewawancara dan juga responden memperoleh keleluasaan. Dalam kenyataannya, wawancara baku juga membolehkan sedikit kebebasan untuk bertanya sedikit menyimpang dari daftar pertanyaan yang telah ditetapkan; sebagaimana wawancara tidak baku juga tidak memberikan keleluasaan yang mutlak untuk bertanya atau menjawab seenaknya.

B. Bentuk-bentuk Pertanyaan dalam Wawancara
Wawancara pada dasarnya adalah suatu dialog yang memungkinkan suatu pihak, pewawancara, membimbing arah percakapan melalui serangkaian pertanyaan. Seorang pewawancara yang terampil biasanya sangat menguasai seni bertanya. Ia merespons setiap jawaban yang diterimanya dengan memodifikasi pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Karena itulah, Tubbs dan Moss (1996:43) mengidentifikasi beberapa kategori pertanyaan, yang masing-masing berpasangan secara diametral. yaitu: pertanyaan terbuka ><><>< pertanyaan netral.
Pertanyaan terbuka biasanya menyerupai pertanyaan esei dalam ujian; ia tidak membatasi panjangnya jawaban responden. Ia juga memberi responden lebih banyak keleluasaan untuk menafsirkan topik yang akan dibicarakan. Contoh pertanyaan terbuka adalah,
(1) maukah Anda menceritakan pengalaman kerja Anda?
(2) Bagaimanakah perasaan Anda mengenai perkawinan Anda yang gagal itu?
Keuntungan-keuntungan pertanyaan terbuka menurut Tubbs dan Moss (1996:43-44) adalah: ia memungkinkan responden menyampaikan informasi yang ia anggap penting; ia memungkinkan pewawancara mengetahui kekurangpahaman responden dalam suatu bidang; ia memungkinkan responden menyatakan perasaannya, prasangka yang mungkin ada, dan stereotip mengenai suatu isu; dan memungkinkan pewawancara mengetahui keterampilan responden dalam berkomunikasi. Adapun Kerugian pertanyaan terbuka menurut Weaver (1985) adalah bahwa ia memerlukan banyak waktu dan mungkin membatasi kemajuan wawancara, dan oleh karena itu mengurangi jumlah topik yang bisa dibahas.
Pertanyaan tertutup bersifat lebih spesifik dan biasanya membutuhkan jawaban yang lebih pendek dan lebih langsung (Tubbs dan Moss, 1996:44). Inilah contoh-contoh pertanyaan tertutup:
(3) Berapa tahun Anda telah bekerja dalam bidang jurnalistik ini?
(4) Aspek apa dalam perkawinan Anda yang dirasakan sangat menyulitkan Anda?

Pertanyaan tertutup juga dapat membatasi responden agar hanya menjawab berdasarkan pilihan terbatas, misalnya ya atau tidak, benar atau salah, setuju atau tidak setuju. Contohnya:
(5) Maukah Anda bekerja untuk sebuah perusahaan kecil?
(6) Apakah Anda merasa bahagia dalam perkawinan Anda?

Dalam hal urutan penggunaannya, pertanyaan terbuka biasanya lebih banyak digunakan di bagian awal wawancara, sedangkan pertanyaan tertutup kerap digunakan untuk lebih memusatkan percakapan ketika wawancara sedang berlangsung. Moffatt (1979:83) menyebut pendekatan dalam hal urutan wawancara itu sebagai "urutan corong (the funnel sequence) dan melukiskannya dalam bentuk gambar seperti berikut.
Pertanyaan tertutup mempunyai keuntungan-keuntungan berikut: lebih banyak pertanyaan dapat ditanyakan dalam banyak bidang dan memerlukan waktu lebih sedikit dibandingkan dengan pertanyaan terbuka; pewawancara dapat membimbing dan mengatur wawancara dengan terkendali; dan pertanyaan tertutup sering lebih mudah dan kurang mengancam bagi responden sehingga cenderung melegakan responden. Kerugian-kerugian pertanyaan tertutup meliputi: ia memberi sedikit informasi mengenai isu yang ditanyakan, dan ia dapat menutup bidang-bidang yang mungkin berharga untuk diketahui oleh pewawancara dalam usahanya untuk menyimpulkan dan/atau membuat keputusan mengenai responden.
Bentuk pertanyaan berikutnya adalah pertanyaan primer dan pertanyaan sekunder. Menurut Tubbs dan Moss (1996:45), pertanyaan primer memperkenalkan sebuah topik baru dalam wawancara. Contoh (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) di atas dapat dijadikan contoh-contoh pertanyaan primer. Adapun pertanyaan sekunder, yang lazim juga disebut pertanyaan menyelidik, adalah bentuk pertanyaan untuk menyusul pertanyaan primer dan dimaksudkan untuk meminta penjabaran dari responden. Ucapan-ucapan seperti, "Oh, begitu. Dapatkah Anda menceritakan lebih jauh lagi?" atau "mengapa Anda tidak teruskan?" cenderung memancing komentar lebih jauh mengenai pernyataan sebelumnya. Jeda pendek dapat juga memancing reaksi yang sama, yang memungkinkan responden menyatakan pikirannya lebih lengkap. Contoh-contoh lain pertanyaan sekunder adalah:
(7) Teruskan!
(8) Ceritakan lebih jauh lagi!
(9) Uh huh?
(10) Mengapa?
(11) Mengapa tidak?
(12) Apa yang Anda maksudkan?
(13) Dapatkah Anda menjabarkannya?
(14) Dapatkah Anda menambahkan lagi?
(15) Apakah Anda punya alasan-alasan lain?
(16) Apa sebabnya?
Pertanyaan sekunder yang dimaksudkan untuk menyelidiki lebih jauh mempunyai keuntungan dalam arti bahwa ia secara signifikan menambah jumlah informasi yang diperoleh dari responden. Pertanyaan susulan itu memungkinkan responden menambah penjelasan sebanyak yang ia inginkan. Kerugian terbesarnya adalah bahwa ia dapat membuat responden defensif. Selain itu, responden mungkin tidak suka diselidiki lebih jauh lagi.
Bentuk pertanyaan berikutnya adalah pertanyaan netral dan pertanyaan menggiring. Menurut Tubbs dan Moss (1996:46), pertanyaan netral adalah pertanyaan yang tidak secara eksplisit atau implisit menyarankan jawaban yang diinginkan, sedangkan pertanyaan menggiring adalah sebaliknya. Stewart dan Cash (1988) menunjukkan adanya perbedaan arah antara pertanyaan netral dan pertanyaan menggiring dalam contoh-contoh pertanyaan berikut

Pertanyaan Netral
(17a) Apakah Anda menyukai pekerjaan ini?
(18a) Apakah Anda ikut kami?
(19a) Bagaimana sikap Anda terhadap Serikat Pekerja?
(20a) Bagaimana pendapat Anda mengenai peraturan pajak yang baru?
Pertanyaan Menggiring
(17b) Anda menyukai pekerjaan ini, kan?
(18b) Anda ikut kami, kan?
(19b) Apakah Anda menentang Serikat Pekerja seperti
kebanyakan pekerja yang lain?
(20b) Tidakkah Anda berpendapat, Peraturan pajak yang baru itu
tidak adil buat para petani?

C. Bentuk-bentuk Jawaban dalam Wawancara
Terlepas dari pertanyaan yang diajukan, pewawancara tidak pernah sepenuhnya yakin dapat memperoleh jawaban memadai dan berkualitas sebagaimana yang diinginkan. Hal itu terjadi, Menurut Tubbs dan Moss (1996:49), karena wawancara adalah proses yang dinamik, bukan peristiwa yang sepenuhnya dapat diprogram dan dikendalikan. Karena itu pula, maka bentuk-bentuk jawaban dalam wawancara secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori: jawaban yang memadai dan jawaban yang tidak memadai. Mengenai jawaban yang memadai, Tubbs dan Moss tak mempersoalkannya lebih jauh. Yang penting, menurut keduanya, adalah identifikasi tentang jawaban yang tidak memadai yang dapat mengganggu jalannya wawancara dan pada guliran berikutnya dapat menggagalkan tujuan wawancara.
Tubbs dan Moss (1996:49-51) mencatat adanya enam bentuk jawaban dalam wawancara yang dapat dikategorikan sebagai "tidak memadai", yaitu: tidak ada jawaban, jawaban parsial, jawaban tidak relevan, jawaban tidak cermat, dan jawaban terlalu verbal.
Bentuk Jawaban Tidak Ada Jawaban. Dalam suatu wawancara, adakalanya responden tidak memberikan jawaban sama sekali dengan cara berdiam diri atau menolak menjawab dengan mengatakan, misalnya, " "Saya tidak bersedia mengatakan hal itu". Menghadapi bentuk jawaban yang "tidak ada jawaban" itu, pewawancara yang berpengalaman biasanya segera mengalihkan pertanyaan dengan topik lain atau topik tetap sama tetapi cara mengajukan pertanyaannya yang diubah.
Bentuk Jawaban Parsial. Jika responden hanya menjawab bagian tertentu dari pertanyaan yang diajukan oleh pewawancara dan oleh karenanya pewawancara menganggap jawaban respondennya itu tidak lengkap, maka itu artinya si responden memberikan jawaban yang parsial. Pewawancara yang berpengalaman biasanya akan mengulangi bagian pertanyaan yang belum dijawab atau meninjau kembali kejelasan dan relevansi pertanyaan yang diajukan.
Bentuk Jawaban Tidak Relevan. Bereaksi secara layak terhadap jawaban yang tidak relevan lebih rumit karena ada dua alasan mengapa responden menjawab demikian. Ia mungkin tidak sepenuhnya memahami pertanyaan atau mungkin sengaja tidak ingin menjawabnya. Menurut Stubbs dan Moss (1996:50), politisi tampaknya sering secara sengaja menjawab pertanyaan dengan jawaban yang tidak relevan.
Bentuk Jawaban Tidak Cermat. Sering seorang responden yang tidak ingin mengungkapkan informasi lalu memberikan jawaban yang tidak cermat, terutama bila penyampaian kebenaran akan merugikannya atau memalukannya. Sayangnya, jawaban yang tidak cermat sering sulit dideteksi pewawancara, terutama dalam wawancara awal. Padahal kecermatan informasi yang diterima pewawancara ditentukan antara lain oleh motivasi responden. Orang yang merasa terancam oleh wawancara lebih terdorong untuk memberikan data sesuai dengan harapan pewawancara. Orang kadang-kadang menjawab secara tidak cermat untuk menjaga tingkat status sosialnya atau untuk memperoleh status sosial yang lebih tinggi. Dalam penelitian Lansing dan Blood (1964) ditemukan fakta, bahwa orang-orang yang berpenghasilan tinggi suka melebih-lebihkan frekuensi bepergian dengan pesawat terbang dan mengecil-ngecilkan pinjaman uang yang diperoleh untuk membeli mobil.
Bentuk Jawaban Terlalu Verbal. Responden yang memberi jawaban yang terlalu verbal berarti memberikan informasi lebih daripada yang ingin diketahui pewawancara. Kadang-kadang jawaban yang panjang mengandung banyak informasi yang tidak relevan. Jawaban yang terlalu verbal akan membatasi informasi yang ingin diketahui pewawancara dalam waktu yang tersedia. Pewawancara yang berpengalaman biasanya berusaha secara taktis membimbing responden agar kembali menjawab inti pertanyaan, dan untuk itu pewawancara dapat mengajukan lebih banyak pertanyaan tertutup.

D. Struktur Wawancara
Sebuah wawancara yang baik, menurut Tubbs dan Moss (1996:52-55), harus mempunyai struktur yang jelas, paling tidak terdiri atas: pembukaan, batang tubuh, dan penutupan.
Pembukaan Wawancara. Wilson dan Goodall (1991:53) mengemukakan tiga tujuan yang saling berhubungan dalam pembukaan wawancara: (1) untuk membuat responden merasa disambut dan santai; (2) memberi responden perasaan bahwa kedatangannya bermanfaat; dan (3) membahas beberapa topik utama yang akan ditanyakan.
Batang Tubuh Wawancara. Kahn dan Cannell (1968) menganjurkan agar batang tubuh wawancara itu diisi dengan pertanyaan-pertanyaan yang langsung berkaitan dengan topik utama wawancara, dengan teknik penyajian berdasarkan urutan corong (lihat Gambar:1). Pewawancara mulai dengan pertanyaan yang luas dan secara bertahap diikuti dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih spesifik.
Kesimpulan Wawancara. Menurut Tubbs dan Moss (1996:54-55), hampir setiap wawancara yang baik memanfaatkan ringkasan wawancara sebagai kesimpulan suatu wawancara. Ringkasan itu bisa berkisar tentang pernyataan singkat hingga berupa tinjauan topik-topik yang didiskusikan. Kemungkinan adanya kesimpulan yang tidak menyenangkan atau kurang memuaskan sangat berkaitan dengan keterampilan pewawancara dalam menutup dan membuat kesimpulan wawancara.










































Handout 8

PARADIGMA PELIPUTAN DAN PENULISAN

1. Tujuan Peliputan/Penulisan

Tujuan dari peliputan/penulisan berita berdasarkan paradigma kritis adalah untuk mengkritik dan mentransformasi hubungan sosial yang timpang. Reporter/redaktur melakukan kerja jurnalistik berdasarkan pada penguatan masyarakat, terutama masyarakat bawah. Oleh karena itu, tujuan dari peliputan/penulisan kritis adalah mengubah dunia yang timpang, yang banyak didominasi oleh kekuasaan yang menindas kelompok bawah.

Tujuan peliputan/penulisan kritis tersebut tentu saja berbeda dengan tujuan peliputan/penulisan positivistik. Dalam paradigma positivistik, peliputan/penulisan dimaksudkan untuk mengadakan eksplanasi, membuat prediksi, dan melakukan kontrol. Dunia dibayangkan sebagai sesuatu yang netral dan dipandang penuh dengan misteri, sehingga harus digambarkan dan dijelaskan.

1. Realitas Peliputan/Penulisan

Pada pandangan positivistik, diandaikan ada realitas yang nyata yang berlaku universal dan diatur dengan kaidah-kaidah tertentu. Di sini diandaikan ada realitas yang berada di luar reporter/redaktur, dan karena itu tugas seorang reporter/redaktur adalah menemukan, menggambarkan, dan menjelaskan realitas tersebut. Sebaliknya dalam pandangan paradigma kritis, tidak ada realitas yang benar-benar nyata, karena realitas yang muncul sebenarnya semu yang terbentuk bukan melalui proses alami, tetapi oleh proses sejarah dan kekuatan sosial, politik, dan ekonomi.
Berbeda dengan pandangan positivistik, paradigma kritis memahami realitas bukan dibentuk oleh alam (nature), bukan alami, tetapi dibentuk oleh manusia. Ini tidak berarti setiap orang membentuk realitasnya sendiri-sendiri, tetapi orang yang berada dalam kelompok dominanlah yang menciptakan realitas, dengan memanipulasi, mengkondisikan orang lain agar mempunyai penafsiran dan pemaknaan seperti yang mereka inginkan.
Dalam pandangan kritis, realitas bukan ada dalam suatu tatanan (order), tetapi berada dalam suatu konflik, ketegangan, dan kontradiksi yang berjalan terus-menerus yang diakibatkan oleh dunia yang berubah secara konstan. Hal ini berbeda dengan pandangan positivistik yang memahami realitas sebagai sesuatu yang ajeg, teratur, dan tersusun.
Contoh: liputan/tulisan tentang mogok kerja buruh. Dalam tradisi peliputan/penulisan positivistik, peliputan/penulisan terutama dilihat dalam level mikro, seperti apa tuntutan dan jenis tuntutan. Akan tetapi, kalau kita melakukan peliputan/penulisan dalam level paradigma kritis, analisis berita akan diangkat ke level yang lebih makro. Misalnya, dengan mempertanyakan, kenapa media lebih banyak memberitakan keburukan buruh dibandingkan dengan keburukan pengusaha? Mengapa mogok buruh lebih banyak diberitakan dibandingkan dengan upah minim yang diberikan oleh pengusaha?

2. Fokus Liputan/Tulisan
Pada pendekatan positivistik diandaikan ada realitas yang bersifat objektif, sesuatu yang berada di luar diri reporter/redaktur. Oleh karena itu, reporter/redaktur harus membuat jarak sejauh mungkin dengan objek yang ingin diliputnya/ditulisnya. Sebaliknya, dalam pandangan kritis hubungan antara reporter/redaktur dengan realitas yang diliputnya/ditulisnya selalu dijembatani oleh nilai-nilai tertentu.
Karena titik perhatiannya pada realitas yang dianggap ada dan netral, maka dalam tradisi peliputan/penulisan positivistik, penyuntingan diarahkan untuk menemukan ada atau tidak ada bias dengan meneliti sumber berita, pihak-pihak yang diwawancarai, bobot penulisan, dan kecenderungan pemberitaan. Kalau ada kekeliruan atau bias, penjelasan umumnya juga ditekankan dengan mencari sumber-sumber kesalahan yang mungkin ada: waktu yang terbatas bagi reporter, keterbatasan ruang dan kekeliruan redaktur, dan sebaginya. Hal inilah yang membedakannya dengan pendekatan kritis. Penempatan sumber berita yang menonjol dibandingkan dengan sumber lain, menempatkan wawancara seorang tokoh lebih besar dari tokoh lain, liputan yang hanya satu sisi dan merugikan pihak lain, tidak berimbang dan secara nyta memihak satu kelompok tidaklah dianggap sebagai kekeliruan dan bias, tetapi dianggap memang itulah praktik yang semestinya dijalankan oleh wartawan.

3. Posisi Reporter/Redaktur/Media
Salah satu sifat paradigma kritis adalah pandangan yang menyatakan bahwa reporter/redaktur bukanlah subjek yang bebas nilai ketika memandang subjek liputan. Paradigma kritis menolak pandangan positivistik yang memandang reporter/redaktur sebagai subjek yang netral dan bebas nilai. Liputan/tulisan berita yang sifatnya kritis umumnya beranjak dari pandangan atau nilai tertentu yang diyakini sebagai ideologinya reporter/redaktur.

4. Cara Peliputan/Penulisan
Paradigma kritis mendasarkan diri pada penafsiran reporter/redaktur atas peristiwa. Paradigma kritis lebih ke penafsiran karena dengan penafsiran kita dapatkan dunia dalam, masuk menyelami peristiwa, dan meningkap makna yang yang ada di baliknya. Hal ini tidak terdapat dalam paradigma positivistik, yang bergerak pada apa yang terlihat dalam peristiwa sehingga makna dalam atau "sesuatu" di balik peristiwa tidak terungkap.


















Handout 9
STRUKTUR BERITA (1)


1. Tematik
Elemen topik/tematik menunjuk pada gagasan inti, ide induk, konsep dominan suatu berita. yang penting dipahami di sini adalah pandangan bahwa ketika wartawan meliput suatu peristiwa dan memandang suatu masalah selalu didasarkan pada suatu mental/pikiran tertentu. Kognisi atau mental ini secara jelas dapat dilihat dari topik yang dimunculkan dalam berita. Karena topik di sini dipahami sebagai mental atau kognisi wartawan, tidak mengherankan jika semua elemen dalam berita mengacu dan mendukung topik dalam berita. Elemen ini dipandang sebagai bagian dari strategi yang dipakai oleh wartawan untuk mendukung topik yang ingin dia tekankan dalam pemberitaan. Peristiwa yang sama bisa jadi dipahami secara berbeda oleh wartawan yang berbeda, dan ini dapat diamati dari topik suatu pemberitaan. Sebuah demonstrasi misalnya, bisa menghasilkan pandangan yang berbeda. Ada yang memaknai demonstrasi sebagai kekerasaan publik, ada juga yang menyebutnya sebagai kebrutalan polisi.

2. Skematik
Meskipun mempunyai bentuk dan skema yang beragam, berita umumnya secara hipotetik mempunyai dua kategori skema besar. Pertama, summary, yang umumnya ditandai dengan dua elemen, yakni judul dan lead. Elemen skema ini merupakan elemen yang dipandang paling penting. Judul dan lead umumnya menunjukkan tema yang ingin ditampilkan oleh wartawan dalam pemberitaannya. Lead ini umumnya sebagai pengantar ringkasan apa yang ingin dikatakan sebelum masuk ke dalam isi berita secara lengkap. Kedua, story, yakni isi berita secara keseluruhan. Isi berita ini secara hipotetik juga mempunyai dua subkategori. Yang pertama berupa situasi, yakni proses atau jalannya peristiwa, sedangkan yang kedua berupa komentar yang ditampilkan dalam teks. Jadi, kalau dalam berita mengenai demonstrasi, isi berita umumnya terdiri atas laporan dan tulisan wartawan mengenai proses jalannya demonstrasi (apa yang dilihat di lapangan), juga komentar pihak-pihak yang terlibat, komentar mahasiswa mengenai tuntutan yang diajukan, polisi yang menjaga demonstrasi, atau pun ahli dan pejabat mengenai apa yang dilakukan oleh mahasiswa.

Konsep skematik di atas dapat dijadikan strategi oleh wartawan untuk mendukung topik tertentu yang ingin disampaikan dengan cara menyusun bagian-bagian dengan urutan tertentu. Skematik memberikan tekanan mana yang didahulukan dan bagian mana yang bisa belakangan. Ini merupakan bagian dari strategi untuk memanipulasi atau bahkan untuk menyembunyikan informasi penting.

3. Latar
Latar merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi arti dan maksud yang ingin ditampilkan kepada khalayak pembaca. Latar yang dipilih menentukan ke arah mana pandangan khalayak pembaca hendak dibawa sekaligus dapat menjadi alasan pembenar gagasan yang diajukan dalam teks berita. Ini merupakan cerminan ideologis wartawan dan media. Misalnya ada berita mengenai penting tidaknya gerakan mahasiswa. Bagi yang setuju gerakan mahasiswa, latar yang dipakai adalah keberhasilan berbagai gerakan mahasiswa. Sebaliknya, yang tidak setuju gerakan mahasiswa akan memakai latar berbagai kerusuhan selama terjadinya demonstrasi mahasiswa.

Mari kita diskusikan contoh berikut ini!


Tanpa Latar


Toko-toko milik pengusaha Cina rusak dibakar dan dijarah massa.


Latar

Toko-toko milik pengusaha Cina rusak dibakar dan dijarah massa. Ini bentuk protes dari orang-orang miskin. Selama bertahun-tahun pengusaha Cina menguasai dan memonopoli usaha dari hulu sampai hilir. Monopoli ini bahkan didukung oleh pemerintah yang melindungi dan tidak membatasi perluasan usaha para pengusaha Cina tersebut.


Latar

Toko-toko milik pengusaha Cina rusak dibakar dan dijarah massa. Sudah berulangkali penjarahan ini dilakukan dan korbannya selalu pengusaha Cina. Penjarahan ini mulai marak setelah Peristiwa Mei dua tahun silam, dan sejak saat itu seolah menjadi trend. Pemerintah dan aparat keamanan tidak ada tanda-tanda mencegah apalagi menindak para penjarah tersebut.



Agar tambah paham dan mahir, sebagai Pe-eR, coba cari di media yang Anda baca contoh berita tanpa latar dan yang berlatar!


Tanpa Latar



…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………

Latar

…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………

Latar



…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………


Handout 10
STRUKTUR BERITA (2)

4. Detil
Elemen berita yang menyangkut detil berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seorang jurnalis. Ini berangkat dari asumsi bahwa setiap komunikator akan menampilkan secara berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau yang sekiranya mendukung citra yang baik tentang dirinya. Sebaliknya, ia akan menampilkan informasi dalam jumlah sedikit (bahkan kalau perlu tidak disampaikan) kalau hal itu merugikan kedudukannya. Pada kenyataannya, informasi yang menguntungkan komunikator, bukan hanya ditampilkan secara berlebih tetapi juga dengan detil yang lengkap, kalau perlu dengan didukung oleh data-data. Detil yang lengkap dan panjang lebar merupakan penonjolan yang dilakukan secara sengaja untuk menciptakan citra tertentu kepada khalayak. Detil yang lengkap itu akan dihilangkan kalau berhubungan dengan sesuatu yang menyangkut kelemahan atau kegagalan dirinya. Singkat kata, hal yang menguntungkan komunikator (dalam konteks ini bisa jurnalis sendiri sebagai pribadi dan/atau media sebagai lembaga) akan diuraikan secara detil dan terperinci, sebaliknya fakta yang tidak menguntungkan, detil informasi akan dikurangi.

Elemen detil merupakan strategi bagaimana wartawan mengekspresikan sikapnya dengan cara yang implisit. Sikap atau wacana yang dikembangkan oleh wartawan kadangkala tidak perlu disampaikan secara terbuka, tetapi dari detil bagian mana yang dikembangkan dan mana yang diberitakan dengan detil yang besar, akan menggambarkan bagaimana apa dan bagaimana wacana yang dikembangkan oleh media.


Untuk lebih memahami konsep detil di atas, mari kita diskusikan contoh berikut ini.


Tanpa Detil

Dalam demonstrasi menentang RUU PKB kemarin, terjadi bentrok antara mahasiswa dengan aparat keamanan. Mentrokan terjadi setelah mahasiswa yang ingin berjalan menuju gedung DPR dihalau oleh aparat keamanan.


Detil

Dalam demonstrasi menantang RUU PKB kemarin, terjadi bentrok antara mahasiswa dengan aparat keamanan. Mahasiswa yang berdemonstrasi tampaknya sadar bakal terjadi bentrokan. Mereka memperlengkapi diri dengan pentungan, rotan, ketapel, bahkan bom molotov. Sebuah bom molotov yang dilempar demonstran sempat mengenai aparat keamanan.


Detil

Dalam demonstrasi menentang RUU PKB kemarin, terjadi bentrok antara mahasiswa dengan aparat keamanan. Polisi sendiri bertindak tegas bahkan cenderung keras menghadapi aksi demonstrasi tyersebut. Berkali-kali pukulan dihantamkan dan gas air mata disemburkan oleh aparat keamanan agar mahasiswa membubarkan diri. Seorang mahasiswa sempat terkapar tak sadarkan diri akibat pukulan aparat keamanan.


Dalam kalimat pertama, peristiwa bentrok demonstrasi itu tidak diuraikan secara detil. Kalimat itu hanya menjelaskan telah terjadi bentrokan ketika mahasiswa demonstran berusaha mendekati gedung DPR. Pada kalimat kedua dan ketiga ada detil yang menguraikan terjadinya bentrokan tersebut. Pertanyaannya adalahg, pihak mana yang diuraikan dengan detil yang panjang? Detil yang diuraikan tersebut positif atau negatif terhadap pihak yang diberitakan? Dan apa akibatnya bagi pemahaman dan pemaknaan khalayak? Dalam kalimat kedua, misalnya, yang diuraikan dengan detil panjang adalah mengenai usaha kekerasan yang sudah dirancang oleh mahasiswa sebelum demonstrasi digelar. Dengan pola penulisan semacam itu, posisi mahasiswa menjadi tidak legitimate, seakan mahasiswa yang memulai bentrok dan sebagai pihak yang bersalah. Sebaliknya, dalam kalimat ketiga, detil yang diuraikan adalah mengenai tindakan kekerasan aparat keamanan, sehingga makna yang ditekankan adalah bentrokan itu disebabkan oleh sikap represi aparat keamanan.

5. Maksud
Elemen berita yang menyangkut maksud hampir sama dengan elemen detil. Dalam detil, informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan dengan detil yang panjang. Elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan secara eksplisit dan jelas. Sebaliknya, informasi yang merugikan akan diuraikan secara tersamar, implisit, dan tersembunyi. Tujuan akhirnya adalah publik hanya disajikan informasi yang menguntungkan komunikator. Informasi yang menguntungkan disajikan secara jelas, dengan kata-kata yang tegas, dan penunjuk langsung pada fakta. Sementara itu, informasi yang merugikan disajikan dengan kata tersamar, eufemistik, dab berbelit-belit.

Dalam konteks media, elemen maksud menunjukkan bagaimana secara implisit dan tersembunyi wartawan menggunakan praktik bahasa tertentu untuk menonjolkan basis kebenarannya dan secara implisit pula menyingkirkan versi kebenaran lain. Juga sebaliknya, bagaimana secara eksplisit wartawan menggunakan praktik bahasa tertentu untuk menonjolkan basis kebenarannya dan secara eksplisit pula menyingkirkan versi kebenaran lain. Untuk itu, mari kita diskusikan contoh berikut ini.


Implisit

Begitu mendarat di Timor Timur, interfet langsung melakukan operasi militer, di antaranya dengan melakukan penggeladahan, penahanan, penodongan, dan membekuk orang yang dicurigai sebagai milisi.


Eksplisit

Begitu mendarat di Timor Timur, interfet langsung melakukan operasi militer, di antara dengan melakukan penggeladahan, penahanan, penodongan, dan membekuk milisi yang dicurigai membuat kekacauan. Tindakan interfet ini sesuai dengan mandat yang diberikan oleh PBB untuk melakukan segala cara demi terciptanya perdamaian di Timor Timur.


Dalam kalimat pertama digambarkan tindakan yang dilakukan oleh Interfet, termasuk membekuk melakukan penahanan, penodongan, dan penggeladahan terhadap orang yang dipandang mengganggu. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, kenapa Interfet melakukan itu dan wewenang apa yang dipunyai Interfet tidak diuraikan secara eksplisit. Dalam kalimat kedua secara eksplisit ditegaskan bahwa apa yang dilakukan Interfet sesuai dengan wewenang yang dipunyainya.

Agar tambah paham dan mahir, sebagai Pe-eR, coba cari di media yang Anda baca contoh berita yang ber-detil dan tidak ber-detil, juga berita yang ber-maksud implisit dan ber-maksud eksplisit.

Tanpa Detil

Detil


Detil




Implisit


Eskplisit























Handout 11
Struktur Berita (3)

6. Koherensi
Koherensi adalah pertalian atau jalinan antarkata atau kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren. Dengan demikian, fakta yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang menghubungkannya. Proposisi " demonstrasi mahasiswa" dan " nilai tukar rupiah melemah" adalah dua buah fakta yang berlainan. Bagaimana dua fakta itu digabung dalam satu pernyataan yang berhubungan atau tidak berhubungan? Perhatikan contoh berikut ini.


Kata hubung "dan"

Demonstrasi mahasiswa marak dan nilai tukar rupiah melemah. Di mana-mana mahasiswa turun ke jalan. Kemarin, nilai tukar rupiah melemah ke posisi Rp 8.500 per US$. Ini nilai tukar rupiah terendah dalam sebulan terakhir.


Kata hubung "akibat"

Maraknya demonstrasi mahasiswa mengakibatkan nilai tukar rupiah melemah. Kemarin nilai tukar rupiah mencapai Rp 8.500 per US$. Ini nilai tukar rupiah yang terendah dalam sebulan terakhir.

Dua buah proposisi itu menjadi berhubungan sebab akibat ketika ia dihubungkan dengan kata hubung "mengakibatkan" sebagaimana tampak pada contoh di atas. Dua buah kalimat itu menjadi tidak berhubungan secara sebab akibat ketika dipakai kata "dan" sebagaimana tampak contoh di atas, sehingga proposisi satu tidak menjelaskan proposisi lain atau menjadi penyebab proposisi lain.

Koherensi merupakan elemen wacana untuk melihat bagaimana seseorang secara strategis menggunakan wacana untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa. Apakah peristiwa itu dipandang saling terpisah, berhubungan, atau malah sebab akibat. Pilihan-pilihan mana yang diambil ditentukan oleh sejauh mana kepentingan komunikator terhadap peristiwa tersebut.

Koherensi ini secara mudah dapat diamati di antaranya dari kata hubung (konjungsi) yang dipakai untuk menghubungkan fakta. Apakah dua kalimat dipandang sebagai hubungan kausal (sebab akibat), hubungan keadaan, waktu, kondisi, dan sebagainya. Misalnya pernyataan, "Lima mahasiswa Trisakti tewas akibat bentrok dengan aparat keamanan". Di sini ada dua kalimat, yaitu "mahasiswa yang tewas, dan "mahasiswa bentrok dengan aparat keamanan". Kedua kalimat tersebut dihubungkan sebagai sebab akibat (ditandai dengan kata hubung "akibat"). Kalimat itu akan mempunyai makna lain ketika dihubungkan dengan anak kalimat lain seperti, "Mahasiswa bentrok dengan aparat keamanan dan 5 mahasiswa Trisakti tewas" -- ini mengesankan bahwa terbunuhnya mahasiswa Trisakti tersebut bukan semata-mata kesalahan aparat keamanan. Jadi, kata hubung (konjungsi) yang dipakai (dan, akibat, tetapi, lalu, karena, meskipun) menyebabkan makna yang berlainan ketika hendak menghubungkan kalimat. Koherensi memberi kesan kepada khalayak bagaimana dua fakta diabstraksikan dan dihubungkan.

Koherensi juga merupakan elemen yang menggambarkan bagaimana peristiwa dihubungkan atau dipandang saling terpisah oleh wartawan. Misalnya ada peristiwa pengumuman status tersangka terhadap Soeharto oleh Kejaksaan Agung, sementara di Ambon konflik pecah kembali setelah sebelumnya sempat dalam kondisi damai. Kalau wartawan menganggap dua peristiwa itu terpisah, maka dua peristiwa itu akan diberitakan secara berbeda. Kalau dua peristiwa itu dianggap sebagai berhubungan, umumnya diletakkan dalam satu item berita lalu wartawan mencoba menghubungkannya dan mengabstraksikannya.

Di dalam teori menulis berita, paling tidak ada tiga jenis koherensi: kondisional, pembeda, dan pengingkaran. Koherensi kondisional di antaranya ditandai dengan pemakaian anak kalimat sebagai penjelas yang dihubungkan dengan kata hubung "yang" atau " di mana". Perhatikan contoh berikut ini.


Tanpa koherensi

Tim PSSI akhirnya tidak jadi dikirim ke Asian Games.

Dengan koherensi negatif

Tim PSSI, yang akhir-akhir ini selalu kalah dalam pertandingan internasional, akhirnya tidak jadi dikirim ke Asian Games.


Dengan koherensi positif

Tim PSSI, yang diharapkan masyarakat bisa bertanding di Asian games, akhirnya diputuskan tidak jadi dikirim ke Asian Games.

Anak kalimat "yang selalu kalah dalam pertandingan internasional", bukan hanya berfungsi sebagai penjelas tetapi juga memberi makna ejekan terhadap PSSI. Selain itu, dengan melekatkan anak kalimat tersebut seolah mengkomunikasikan kepada publik bahwa sudah sewajarnya PSSI tidak dikirim ke Asian Games karena prestasinya sangat buruk. Namun, di sisi lain, kehadiran anak kalimat penjelas "yang diharapkan masyarakat bisa bertanding di Asian games" dapat memberikan citra positif sebagaimana tampak pada contoh di atas.

Sebagai penjelas, ada tidaknya anak kalimat itu tidak mempengaruhi arti kalimat. Kalimat itu tidak akan berubah artinya kalau anak kalimatnya dihilangkan. Akan tetapi, koherensi kondisonal ini dapat menjadi penjelas yang bagus mengenai bagaimana maksud tersembunyi diekspresikan dalam kalimat. Koherensi jenis ini dalam banyak hal sering kali menggambarkan kepada kita bagaimana sikap wartawan atas peristiwa, kelompok, atau seseorang yang ditulis. Bagaimana sikap tersebut dilekatkan dan tanpa disadari menggiring pembaca pada pemahaman atau pemaknaan baru.

Kalau koherensi kondisional berhubungan dengan pertanyaan bagaimana dua peristiwa dihubungkan/dijelaskan, maka koherensi pembeda berhubungan dengan pertanyaan bagaimana dua peristiwa atau fakta itu hendak dibedakan. Dua buah peristiwa dapat dibuat seolah-olah saling bertentangan dan berseberangan (contrast) dengan menggunakan koherensi pembeda ini. Perhatikan contoh berikut ini.


Tanpa Koherensi
Pembeda

Pada masa Habibie, kran kebebasan pers telah dibuka lebar-lebar. Kebbebasan pers ini dilanjutkan oleh pemerintahan Gus Dur, hanya sayangnya dicoreng oleh peristiwa pendudukan Banser atas Jawa Pos yang menyebabkan koran tersebut tidak bisa terbit.

Memakai Koherensi
Pembeda

Dibandingkan pemerintahan Habibie, kebebasan pers di era Gus Dur mengalami kemunduran. Pada masa Gus Dur terjadi peristiwa pendudukan Banser atas Jawa Pos yang menyebabkan koran tersebut tidak bisa terbit.

Efek pemakaian koherensi pembeda ini bermacam-macam. Akan tetapi, yang terlihat nyata adalah bagaimana pemaknaan yang diterima oleh khalayak berbeda. Hal penting yang harus diperhatikan penulis berita adalah: apa efek dari perbandingan tersebut, apakah membuat suatu fakta menjadi lebih baik atau justru bertambah buruk. Dalam kasus contoh di atas, pemakaian koherensi pembeda menyebabkan fakta menjadi buruk.

Yang berikutnya adalah elemen koherensi pengingkaran. Elemen ini adalah bentuk praktik wacana yang menggambarkan bagaimana wartawan menyembunyikan apa yang ingin diekspresikan secara implisit. Dalam arti yang umum, adanya koherensi pengingkaran menunjukkan seolah wartawan menyetujui sesuatu, padahal ia tidak setuju dengan memberikan argumentasi atau fakta yang menyangkal persetujuannya itu. Perhatikan contoh berikut ini.


Tanpa Pengingkaran

Komunisme di banyak negara sudah mati.


Tanpa pengingkaran

Komunisme sewaktu-waktu dapat hidup kembali.


Memakai Pengingkaran

Memang komunisme di banyak negara sudah mati, tetapi sewaktu-waktu dapat hidup kembali.


Berdasarkan contoh di atas, dapat dinyatakan bahwa pengingkaran adalah sebuah elemen di mana wartawan bisa mengungkapnan sikap atau ekspresinya secara tersembunyi. Umumnya pengingkaran dilakukan di akhir tulisan, di mana wartawan sebelumnya menampilkan pendapat umum terlebih dahulu, lalu pendapat pribadi disajikan sesudahnya. Perhatikan contoh berikut ini.




Pengingkaran

Memang banyak pengusaha Cina yang brengsek, tetapi ada juga pengusaha yang baik.


Pengingkaran

Memang banyak pengusaha Cina yang baik, tetapi ada juga yang brengsek.


Agar Anda lebih paham dan trampil dalam menulis berita yang berkoherensi secara kondisional, pembeda, dan pengingkaran, kutiplah contoh-contoh dari Media Anda yang Anda anggap tepat dan bagus serta sesuai dengan konsep-konsep koherensi di atas.


Tanpa Koherensi


Memakai Koherensi Positif


Memakai Koherensi Negatif



Tanpa Koherensi Pembeda


Memakai Koherensi Pembeda



Tanpa Pengingkaran


Memakai Pengingkaran




















Handout Matakuliah
DASAR-DASAR JURNALISTIK



Kholid A.Harras

Pengikut

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia