Jumat, 17 Juni 2011

FAMILY LITERACY :
KIAT MENUMBUHKAN POTENSI DAN KEMAMPUAN
LITERASI ANAK-ANAK


Kholid A.Harras
FPBS, Universitas Pendidikan Indonesia

A. Kisah Anak-anak Indonesia dengan Kemampuan Literasi yang luar Biasa


Pada akhir tahun 2003, khazanah buku anak-anak kita ditandai oleh terbitnya buku-buku sastra anak buah karya dari anak-anak Indonesia (usia 6 sampai 12 tahun). Penerbitan buku-buku yang jenisnya berupa kumpulan cerita pendek, novel, puisi, illustrasi, komik, serta cerita-cerita yang diangkat dari kisah nyata tersebut dilakukan oleh DAR! Mizan yang merupakan salah satu devisi penerbit Mizan Bandung.
Setiap bulannya, DAR! Mizan menerbitkan buku-buku karya anak-anak yang mereka namakan “Kecil-kecil Punya Karya” (KKPK) tersebut, antara 4-5 judul, dengan tiras rata-rata 1.000-2.000 eksemplar per judulnya. Hingga April tahun 2010 ini, DAR! Mizan telah berhasil menerbitkan 120 judul karya 75 penulis belia kita.
Menurut Dadan Ramadhan Editor buku Mizan seri Kecil-kecil Punya Karya, pasca sukses serial KKPK. Konon setiap minggu DAR! Mizan menerima hampir seratusan naskah buku karya anak-anak yang datang dari berbagai daerah di tanah air (www.mizan.com/v2/index.php?fuseaction=news_det&id=26-).

Fakta bermunculannya anak-anak Indonesia yang memiliki kemampuan literasi (baca-tulis) yang sangat membanggakan sebagaimana dibuktikan lewat penerbitan buku-buku bacaan anak serial KKPK tersebut, sungguh telah menjadi novum yang tak terbantahkan bahwasanya kemampuan literasi anak-anak Indonesia saat ini tidak seburuk sebagaimana yang disimpulkan dalam berbagai penelitian lembaga-lembaga asing, yang kemudian diamninkan dan dikutipi tanpa sikap kritis oleh sejumlah pengamat dan peneliti kita (periksa laporan PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) tahun 2001, IEA (International Asociation for the Evaluation of Educationig Achevment) tahun 2006); sedangkan pada tataran anak SMP dan SMA (periksa laporan penelitian PISA (Programme for International Student Assesment) tahun 2000, tahun 2003, dan tahun 2006). Dengan perkataan lain, fenomena penerbitan buku-buku bacaan serial KKPK tersebut memberikan jawaban bahwasanya “stigmatisasi” bahwasanya anak-anak Indonesia kurang piawai menghasilkan karya tulis sudah saatnya dievalusi kembali.

Meskipun demikian, jika dihubungankan dengan dunia pendidikan formal atau atau persekolahan, kehebatan literasi anak-anak KKPK tersebut --sayangnya-- bukan merupakan akibat dari hasil kerja keras lembaga-lembaga persekolahan kita. Berdasarkan penelusuran dan kajian penulis terhadap karya dan proses kreatif kepenulisan sejumlah penulis anak-anak tersebut, potensi dan kemampuan literasi mereka tumbuh dengan baik sebagai dampak dari pendidikan literasi keluarga (family literacy) yang mereka alami.

Sebagaimana gambaran mari kita perhatikan bagaimana proses kreatif Ramya (8 tahun) dan Putri Salsa (9 tahun); dua orang anak penulis cerpen yang cukup produktif. Proses kreatif Ramya, sebagaimana dikatakan Marcapada Sukardi (ayah) dan Gitawati Setianingrum (ibu) pada Kata Pengantar buku karya Ramya Dunia Es Krim (DAR! Mizan, 2008: 7-15), faktor pendorongnya akibat dari kebiasaan putrinya mendengarkan berbagai cerita yang dibacakan oleh keduanya. Sejak masih balita dan masih belum bisa membaca putrinya itu sangat gemar membolak-balikan halaman buku dan mengamati gambar serta tulisan dengan saksama. Ramya juga konon suka “mendalang” bersandiwara sendiri dengan tokoh-tokoh hayalannya dengan menggunakan alat-alat peraga yang berada di sekitarnya, entah selembar sapu tangan atau setangkai kembang ilalang. Menurut orang tuanya, saking hobinya Ramya “mengobrol”, di sekolah Ramya kerap mendapat teguran dari gurunya . Kemudian pada usia 6 tahun Ramya sudah bisa menulis. Sejak itu Ramya rajin menulis diary. Dia menulis pengalaman sehari-harinya secara sederhana pada diary-nya dalam sebaris atau dua baris kalimat. Kemudian lambat laut Ramya menuliskanya dalamn beberapa kalimat dan menjadi karangan yang panjang. Dari satu halaman menjadi dua halaman dan selanjutnya.
Sedangkan proses kreatif Putri Salsa (9 tahun), sebagaimana yang dituliskan oleh Asma Nadia, bunda Putri Salsa, pada pengantar buku “My Candy”(DAR! Mizan, 2008:11-17), Putri Salsa mulai menulis saat usianya mendekati tujuh tahun. Syahdan salah satu faktor pendorong putri sulungnya ini ingin menulis antara lain setelah menyaksikan sepupunya, Abdurahman Faiz, meluncurkan buku kumpulan puisi pertamanya (Untuk Bunda dan Dunia).

Peristiwa tersebut rupanya membuat Putri Salsa sangat terobsesi untuk juga menjadi penulis dan menerbitkan buku. Hal itu terang-terangan ia ungkapkan kepada bundanya, “Karena Mas Faiz menulis. Caca (Salsa-pen) sama-sama makan nasi. Jadi Caca pasti juga bisa menulis, asalkan Caca mau, Bunda!” (2008:11). Setelah itu menurut Asma Nadia, ia mulai rajin menemani putrinya menulis (mengetik di komputer). Biasanya Putri Salsa menulis di pangkuanya. Kadang-kadang kalau putrinya itu lelah dia mendiktekanya kepada dirinya, laiknya dirinya sekretarisnya. Putrinya kerap kali melakukan aktivitas menulis sambil bermain, melompat-lompat, berputar-putar atau sambil menggoda adiknya. Demikian perjalanan awal putrinya menulis . Saat menulis putrinya itu harus selalu ditemani oleh dirinya dan proses menulisnya lebih banyak dilakukan sambil bermain-main, hingga buku pertamnaya Dunia Caca diterbitkan oleh DAR!Mizan (2004).

Seiring perjalanan waktu, gadis kecilnya mulai mandiri saat menulis. Dia sudah mulai mengetik sendiri halaman-halaman ceritanya tanpa bantuan bundanya. Di samping itu sesekali putrinya mengajak mendiskusikan jalan cerita yang sudah ada di kepala putrinya itu, meminta pendapatnya. Saat putrinya kehabisan ide, Asma Nadia kerap berperan sebagai pemancing ide kreatifnya atau memberikan buku-buku cerita dari penulis lain.Sepertti yang dituliskan oleh Asma Nadia, bunda Putri Salsa, pada pengantar buku My Candy (DAR! Mizan, 2008:11-17) Putri Salsa mulai menulis saat usianya mendekati tujuh tahun. Syahdan salah satu faktor pendorong putri sulungnya ini ingin menulis antara lain setelah menyaksikan sepupunya, Abdurahman Faiz, meluncurkan buku kumpulan puisi pertamanya. Peristiwa tersebut rupanya membuat Putri Salsa sangat terobsesi untuk juga menjadi penulis dan menerbitkan buku. Hal itu terang-terangan ia ungkapkan kepada bundanya, “Karena Mas Faiz menulis. Caca (Salsa-pen) sama-sama makan nasi. Jadi Caca pasti juga bisa menulis, asalkan Caca mau, Bunda!” (2008:11).

Berdasarkan uraian proses kreatif dari keempat penulis anak- anak di atas, kiranya dapat dikumukakan hal-hal sebagai berikut. Pertama, para penulis anak-anak tersebut semuanya berasal dari keluarga yang terpelajar (well educated) sekaligus keluarga yang memiliki budaya literasi (baca-tulis) yang kokoh. Kondisi keluarga yang seperti itu telah membawa anak-anak tersebut, dari sejak dini telah berkenalan dengan budaya membaca dan menulis, sebelum secara teknis mereka bisa melakukannya. Mereka telah dibacakan buku-buku cerita oleh orang tuanya serta difasilitasi menggambar benda-benda sebagai manifestasi ekspresi dirinya.

Seperti Ramya, menurut pengakuan orang tuanya, karena di rumah mereka tersedia banyak buku, maka sejak masih balita dan masih belum bisa membaca putrinya itu sangat gemar membolak-balikan halaman buku dan mengamati gambar serta tulisan dengan saksama. Dari situ kemudian Ramya mulai bisa mengekspresikan idea tau imajinasinya lewat gambar-gambar yang dibuatnya. Begitu pula halnya dengan Sri Izzati, penulis novel yang sangat produktif yang kini mulai memasuki usia remaja ini menurut penuturan orang tuanya, sudah dikenalkan dengan buku konon sejak ia masih bayi.
Perkenalan dan pergaulan anak-anak dengan aktivitas literat pada usia dini seperti itu pada akhirnya telah menjadikan kedua kegiatan tersebut sebagai kebiasaan sekaligus kegemaran. Dari buku-buku yang mereka baca dan atau dibacakan oleh orang tua mereka, pelan tapi pasti, jiwa, pikiran, serta imajinasi mereka mendapatkan asupan aneka muatan nilai-nilai edukatif yang sangat berharga dan mereka butuhkan, seperti bahasa, moral, sosial, serta kepribadian. Selain itu hal itu juga berperan besar dalam melejitkan daya khayali atau imajinasi mereka. Kemudian yang sangat penting ialah, seperti diakui oleh para orang tua anak-anak tersebut, kebiasaan membaca dan atau dibacakan buku sangat berpengaruh besar dalam menumbuhkembangkan potensi menulis anak-anaknya.

Fakta di atas kiranya semakin meneguhkan teori yang hingga saat ini diyakini oleh para pendidikan pakar literasi, bahwasnya membaca dan menulis bak dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan serta berbaku-peran dalam hal mencapai kemahirannya. Dengan membaca, bukan hanya akan wawasan seseorang akan semakin berkembang, tepai juga, sebagaimana dikemukakan Jordan E. Ayan (Hernowo 2003: 37), bahwa membaca juga dapat memicu kreativitas. Buku mengajak kita membayangkan dunia beserta isinya, lengkap dengan segala kejadian, lokasi, dan karakter. Tiap buku yang melekat dalam pikiran, membangun sebuah bentang ide dan perasaan yang menjadi dasar dari ide kreatif. Padahal salah satu faktor yang mendorong agar anak mempunyai minat menulis ialah kebiasaan membacanya.

Alasan lainnya, sebagaimana ditunjukkan oleh hasil riset Prof. Benyamin Bloom yang mengungkapkan bahwasanya saat anak-anak berada pada masa Balita mereka tengah berada pada periode suka meniru perbuatan orang tuanya tanpa terkecuali. Apapun yang dilakukan oleh orang tuanya sangat potensial untuk ditiru oleh anak-anak. Dengan demikian jika orang tua suka membaca, anak juga akan melakukan hal yang sama. Oleh karena itu sebagaimana disarankan oleh pakar pendidikan anak, sedari kecil, anak-anak perlu didekatkan pada bacaan supaya kelak mereka bisa menghasilkan tulisan.

Kedua, kemampuan menulis anak-anak tersebut diperoleh tidak secara tiba-tiba, tetapi setelah melalui proses latihan yang cukup panjang. Kemampuan bercerita Ramya misalnya, pada awalnya karena ia masih belum bisa menuangkannya secara tertulis tetapi disampaikan secara lisan (didongengkan). Baru setelah Ramya bisa membaca huruf-huruf, lantas ia tuangkan secara tertulis.

Kenyataan tersebut selaras dengan teori yang juga dikemukan oleh para pakar literasi, bahwasanya menulis merupakan sebuah proses. Kemampuan tersebut diperoleh secara bertahap, sedikit demi sedikit. Kualitas kemampuan menulis seseorang, baik yang menyangkut teknis redaksional maupun kedalaman isinya akan berbanding lurus dengan kuantitas latihan yang dilakukannya. Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat Gary Provost sebagaimana dikutip Hernowo (2002:11), bahwasanya yng dibutuhkan dari seorang penulis adalah 10% bakat, sisanya 90% adalah kemauan dan latihan.
Sehubungan hal tersebut para orang tua hendaknya menyadari bahwasanya setiap anak pada dasarnya mempunyai potensi untuk bisa menulis. Anak-anak juga memiliki imajinasi yang luar biasa pada otaknya. Untuk menumbuhkan potensi menulis anak-anaknya yang perlu dilakukan oleh para orang tua adalah menyediakan berbagai fasilitas. Seperti, alat tulis, computer, serta buku-buku bacaan yang baik dan sesuai dengan usia mereka.

Ketiga, proses menulis anak-anak tersebut acap kali dilakukan sambil bermain (learning by doing). Hal tersebut misalnya dialami pada proses menulis Putri Salsa. Menurut penuturan ibunya, hingga buku pertamnaya Dunia Caca diterbitkan oleh DAR!Mizan (2004), Putri Salsa lebih banyak dilakukan sambil bermain-main. Dia kerap kali melakukan aktivitas menulis sambil melompat-lompat, berputar-putar atau sambil menggoda adiknya. Seringkali pula ia menulis sambil duduk di pangkuan ibunya.
Sehubungan hal tersebut maka para orang tua dan guru dalam membantu menumbuhkembangkan potensi menulis anaknya-anaknya, perlu memahami dan lebih dekat kepada “dunia” anak-anak mereka. Selain itu para orang tua juga harus melakukan pembimbingan dengan penuh kesabaran, ketelatenan, serta dengan lebih mengedepankan belajar sambil bermain.

Keempat, dalam meniti dan mengasah kemampuan menulisnya anak-anak tidak jarang sangat dipengaruhi oleh faktor moody mereka. Seperti dituturkan Asma Nadia, pada awal-awal tahun proses kepenulisannya, faktor moody sangat mempengaruhi putrinya. Saat sedang mood-nya naik, tanpa disuruh Putri Salsa bisa menulis berlembar-lembar halaman, namun saat mood-nya buruk, berhari-hari, bahkan berminggu-minggu dia tidak menulis selembar pun.

Sehubungan hal tersebut, maka dibutuhkan juga kesediaan orang tua untuk menjadi “teman” sekaligus motivator untuk memancing atau membangkitkan kembali semangat menulis anak-anaknya. Bila perlu dengan menyuntikkan berbagai “reward” atau hadiah yang mendidik kepada mereka. Jurus semacam itu tampaknya cukup berhasil.


B.Ihwal Family Literacy


Secara sederhana, literasi (literacy) dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis, atau kadang disebut juga dengan istilah ‘melek aksara’ atau keberaksaraan. Namun saat ini literasi juga kerap diartikan secara lebih luas, sehingga Literasi jauh lebih dari yang mampu membaca dan menulis. Literasi memungkinkan orang untuk membaca dunia bukan hanya kata. Ini melibatkan penggunaan berbagai bentuk komunikasi yang memberikan kita kesempatan lebih lanjut dalam masyarakat kita - untuk diri kita, keluarga kita, dan masyarakat kita.

Literasi membantu kita memahami dunia kita tinggal masuk Hal ini juga membantu kita memahami diri kita sendiri dan mengungkapkan identitas kita, ide-ide kita dan budaya kita. Dengan perkataan lain literasi bukan lagi bermakna tunggal melainkan mengandung beragam arti (multi literacies). Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Seseorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya.

Terbentuknya generasi yang literat merupakan sebuah keniscayaan, agar bangsa kita bisa bangkit dari keterpurukan bahkan bersaing dan hidup sejajar dengan bangsa lain. Atau menurut Seto Mulyadi (Annida online, Selasa, 30 Juni 2009), kesadaran literasi itu penting untuk ditumbuhkembangkan, karena bisa membuat anak-anak kita menjadi cerdas dalam melihat masalah dalam kehidupannya. Orang-orang yang memahami masalah secara otomatis mampu mencarikan solusi atas masalah-masalah tersebut. Anak-anak yang cerdas akan membuat bangsa kita maju.

Para pakar pendidikan sepakat bahwa tingkat literasi yang rendah berkaitan erat dengan tingginya tingkat drop-out sekolah, kemiskinan, dan pengangguran. Ketiga kriteria tersebut adalah sebagian dari indikator rendahnya indeks pembangunan manusia. Menciptakan generasi literat merupakan jembatan menuju masyarakat makmur yang kritis dan peduli. Kritis terhadap segala informasi yang diterima sehingga tidak bereaksi secara emosional dan peduli terhadap lingkungan sekitar.

Dalam buku Hand Book of Family Literacy (2008:5) literasi keluarga (family literacy) merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Danny Taylor (1983) sebagai program mengajarkan kemampuan literasi (baca-tulis-pen) dengan menggunakan hubungan keluarga peserta didikdan keterlibatan mereka dalam praktek literasi di dalam masing-masing keluarga (family literacy programs to teach literacy that acknowledge and make use of learner's family relationships and engagements in family literacy practices).

Alasan munculnya gagasan tersebut antara lain, walaupun kemampuan literasi itu memegang peranan penting namun faktanya banyak sekali anak-anak AS yang belum memilikinya, apalagi menjadikannya sebagai kebiasaan (habit). Sebagai gambaran, pada tahun 1995, seperempat (atau sekira 300.000 orang) dari pemuda dan orang dewasa penduduk negara bagian Nevada masih buta huruf. Mereka tidak mampu membaca atau menulis secara memadai untuk melakukan tugas-tugas sederhana keseharian mereka, seperti mengisi aplikasi pekerjaan atau membaca koran. (http://www.aflo.on.literacy.ca/famlit/models.htm).

Alasan lainnya menurut Taylor, yakni bahwasanya untuk menumbuhkembangkan kemampuan literasi pada anak merupakan persoalan yang cukup kompleks, karena berhubungan dengan sejumlah faktor, seperti status sosial,ekonomi, bahasa, serta faktor-faktor budaya lainnya. Oleh karena itu menurut Taylor, perhatian program pendidikan literasi seharusnya tidak hanya bertumpu pada sekolah formal, tetapi juga harus melibatkan sumber daya keluarga, seperti mempertimbangkan bahasa dan budaya literasi masing-masing keluarga.

Tentang hubungan antara program pendidikan literasi keluarga dengan pendidikan yang berlangsung di sekolah, secara tamsil Taylor (1997: 2)menggambarkannya --dalam sejumlah kasus tentu saja-- justru secara paradoksal. Taylor mengatakan, "Benih-benih kegagalan pengajaran literasi di sekolah justru mulai ditanamnya di rumah-rumah setiap keluarga, dan dalam banyak kasus sekolah menjadi cukup kesulitan untuk mencabutnya.

Keluarga dalam segala kelebihannya merupakan ruang praksis sekaligus kunci penting dalam konteks perolehan dan penumbuhan kemampuan serta menanamkan tradisi literasi kepada anak-anak. Ruang praksis dimaksud yakni kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas bahasa lisan, aktivitas berhitung, membaca dan menulis, pengenalan atau pengenalan ilmu dan penggunaan teknologi tepat guna lainnya.Lebih lanjut Taylor mengatakan bahwa penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua pada program pendidikan literasianak-anaknya pada semua tahapan memiliki dampak positif padaanak kemampuan akademis anak-anak tersebut.

LiterasiKeluarga (Family literacy) adalah tentang uapaya yang dilakukan oleh keluarga menggunakan aktivitas literasi dan bahasa dalam kehidupan sehari-hari mereka. Literasi keluarga adalah tentang bagaimana suatu keluarga belajar, menggunakan aktivitas baca-tulis untuk melakukan tugas-tugas sehari-hari mereka, membantu anak-anak mengembangkan kemampuan baca-tulisnya, menggunakan aktivitas literasi untuk menjaga hubungan dengan satu sama lain dan dengan masyarakat, serta bagaimana meningkatkan kemampuan seseorang untuk berinteraksi, baik dengan organisasi dan institusi

Program literasi Keluarga mempromosikan kerjasama masyarakat untuk memberikan sistem pelayanan yang fleksibel dan mudah diakses di bidang literasi untuk keluarga dengan anak-anaknya. Program literasi Keluarga memberikan kesempatan berarti bagi anak-anak, orang tua mereka, anggota keluarga lainnya dan pengasuh untuk belajar dan tumbuh bersama. Menurut Taylor, program program pendidikan literasi keluarga akan membantu para orang tua dan wali murid dapat memahami dan mengembangkan peran mereka terhadap anak-anak mereka sebagai pendidik pertama, meningkatkan kemampuan dan kepercayaan mereka, serta dukungan bahasa dan keaksaraan belajar dan menemukan lebih banyak tentang bagaimana anak-anak dan orang dewasa belajar.

Secara lebih rinci program literasi keluarga bertujuan untuk membantu membangun rasa percaya diri, khususnya para orang tua maupun anak-anak meningkatkan potensi dan kemampuan literasi mereka sehingga mereka menuai keberhasilan di sekolah, menawarkan pengembangan lebih hubungan yang lebih dekat dan lebih kuat dalam keluarga, , membantu mempersiapkan anak-anak untuk sekolah, membantu keluarga memahami sistem sekolah dan peran mereka di dalamnya, serta menjaga dan melestarikan nilai-nilai luhur budaya keluarga lewat penggunaan literasi pada bahasa pertama. (http://www.aflo.on.literacy.ca/famlit/models.htm).

Menurut Lamb et al dalam bukunya yang berjudul At home with literacy: A study of family literacy practices (National Adult Literacy Agency, 2010: 5), secara ringkas, program program pendidikan literasi keluarga yakni sebagai berikut : (1) mempromosikan keluarga sebagai lingkungan belajar; (2) membangun budaya rumah dan pengalaman;(3) mendorong pembelajaran partisipatif; (4) mempromosikan pembelajaran sebagai perubahan dalam atau penegasan keterampilan, sikap dan pengetahuan; (5) mempromosikan hubungan keluarga sebagai pendukung kesejahteraan dan kesiapan untuk belajar; serta (6) mempromosikan budaya aspirasi pada orang dewasa dan anak-anak, dan memberikan kesempatan dan membangun kepercayaan diri untuk mencoba keterampilan dan ide-ide baru.

Menurut Adele Thomas, Ph.D dari Faculty of Education, Brock University, Ontario, Canada, pada situs http://www.aflo.on.literacy.ca/famlit/models.htm, hingga setakat ini sedikitnya terdapat sejumlah prototipe atau framework program literasi keluarga telah dikembangkan di sejumlah negara, khususnya di AS dan Canada. Antara lain Books for Babies, Book Mates, Centre for Expertise in Family Literacy, Come Read With Me, From Lullabies to Literacy, Home-Based Family Literacy: Parents As Teachers, Parent-Child Mother Goose Program, Parents' Roles Interacting with Teacher Support (PRINTS), Reading and Parents Program (RAPP)

Sebuah program literasi keluarga seyogyanya memiliki kriteria sebagai berikut: dikonseptualisasikan untuk memenuhi kebutuhan dan keprihatinan keluarga terhadap masalah-masalah pengembangan literasi anak-anak; berisi komponen pendidikan yang secara formal maupun informal yang mempengaruhi perkembangan literasi anak; berisi komponen pendidikan bagi orang dewasa, baik menyediakan kegiatan literasi dan pendidikan yang memungkinkan mereka mencapai kemahiran keterampilan literasi dasar; serta kegiatan-kegiatan yang berfokus pada pertukaran pengetahuan dan informasi antara orang dewasa dan anak-anak.

Jenis-jenis program literasi keluarga bervariasi, tergantung pada kebutuhan masyarakat. Beberapa di antaranya merupakan program kecil dan berbasis kelompok kecil masyarakat, sementara yang lain lebih besar lagi. Program-programnya diorientasikan untuk pengaturan pendidikan anak-anak keluarga mereka. Selain itu, programnya bisa juga ditunjukkan untuk memberikan dukungan di luar tujuan literasi dasar. Misalnya, untuk membantu pemahaman anak terhadap mata pelajaran-mata pelajaran untuk persiapan UN atau masuk PT. Apapun jenis programnya, upaya proaktif dari seluruh anggota keluaga ini merupakan elemen kunci dari suksesnya program literasi keluarga.


PUSTAKA RUJUKAN

Hannon Pater and Viv Bird.2008.”Family Literacy in England: Theory, Practice,
Research and Policy” dalam Hand Book of Family Literacy Tylorand Frances.
e-library

Muakhir, Ali. 2006. “Kecil-Kecil Punya Karya”, dalam Matabaca Vol.4/No.7/Maret 2006. Hlm. 11.

Mulyadi.Seto "Kecerdasan Literasi Anak Tanggung Jawab Orang Tua" (Annida online, Selasa, 30 Juni 2009

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak : Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Norton. Donna, 1993. Through the Eyes of a Child: An Introduction to Children Literature. Boston

Olson, David and Nancy Torrance.1991 Literacy and Orality.Cambridge University

Olson, David et all. 1985 Literacy, Language and Learning: The Nature and Concequences of Reading and Writing Cambridge University
Sarumpaet. Riris K. 2010 Pedoman Penelitian Sastra Anak. Jakarta: Balai Pustaka

Suyatno. 2009. Struktur Narasi Novel Karya Anak. Surabaya: Jaring Pena


Stewig, John, Warren, 1980.Children and Literature. Chicago: Rand College Publishing

Wasik.Barbara Hanna.2008 Hand Book of Family Literacy Tylorand Frances.e-library

Situs internet:
http://www.aflo.on.literacy.ca/famlit/models.htm.
http://www.joe.org/joe/2001august/iw2.php.
http://www.ruangbaca.com/berita_buku/?action=b3Blbg==&linkto=NDM=&when=MjAwNTEyMDU=.

Minggu, 12 Juni 2011

Rekomendasi IKA UPI pada Kongres IV di Bandung

oleh Kholid A. Harras

Otonomi daerah (Otda) boleh saja dianggap sebagai langkah maju dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia. Sayangnya, langkah tersebut kurang ramah bagi dunia pendidikan. Bahkan, otda menambah karut marut tata kelola pendidikan. Boleh dibilang, otda hanya memindahkan masalah dari pusat ke daerah. Demikian salah satu poin rekomendasi Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (IKA UPI) yang disampaikan dalam Kongres IV IKA UPI di Savoy Homann Bidakara Hotel Bandung akhir pekan kemarin (26 Maret 2001).

Sekretaris Jenderal IKA UPI Aim Abdulkarim yang membacakan rekomendasi tersebut menegaskan, otda memicu mismanagement alias salah urus pendidikan akibat kurang profesionalnya pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pendidikan. Di lain pihak, tambah Aim, politisasi dan birokratisasi lembaga pendidikan tampak jelas di daerah. Dia mencontohkan, posisi dan pengangkatan kepala sekolah atau posisi kepala dinas dari orang yang tidak memahami pendidikan. Mutasi kepala sekolah cenderung bergantung pada keinginan kepala daerah sehingga tidak lagi didasarkan pada pertimbangan profesionalisme.

“Demikian pula persoalan pembangunan fisik fasilitas pendidikan yang tidak menunjukkan keadaan lebih baik. Besarnya kucuran dana pendidikan tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas dan sarana pendidikan. Otda melahirkan birokrasi ketat di bidang pendidikan sehingga sekolah melembaga menjadi birokrasi di level sekolah,” tegas Aim.

“IKA UPI merekomendasikan agar dilakukan kajian terhadap pembagian tugas dan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sehingga adanya ketegasan tugas dan wewenang pada masing-masing pemerintah. Kewenangan pemerintah kota/kabupaten yang terlalu besar saat ini berimplikasi pada tidak terbangunnya tata kelola pendidikan dengan baik. Perlu adanya penegasan wilayah kewenangan yang sesuai dengan kapasitas pemerintah kota dan kabupaten yang akan menentukan tata kelola yang baik dalam penjaminan mutu pendidikan di Indonesia, “ Aim menambahkan.

Di bagian lain, IKA UPI menyoroti persoalan rekruitmen guru. Menurut Aim, rekruitmen guru saat ini tidak dilakukan secara profesional yang hanya menggunakan cara-cara koneksitas dan kolusi. Banyaknya kasus yang mengemuka tentang pencaloan pegawai negeri sipil (PNS), termasuk pengangkatan guru, menunjukkan pemerintah daerah tidak serius melakukan seleksi calon guru untuk menghasilkan para pendidik profesional.

Di beberapa daerah, tambah Aim, banyak calon PNS guru yang diterima berasal dari perguruan tinggi yang tidak jelas akreditasinya. Lebih buruk lagi, beberapa daerah dengan alasan otonomi daerah, lebih banyak mengangkat PNS guru dari perguruan tinggi daerah yang kualitasnya kurang memadai.

“Cara-cara demikian, bukan saja merugikan masa depan pendidikan secara umum, tetapi merugikan pembangunan pendidikan di daerah tersebut. Karena itu, IKA UPI merekomendasikan agar pemerintah menata kembali rekruutmen PNS guru agar diselenggarakan secara profesional oleh lembaga pendidikan yang memahami dunia pendidikan. Seleksi PNS guru hendaknya berbeda dengan seleksi PNS lain, karena PNS guru tidak hanya berdasarkan kemampuan akademik, tetapi juga menuntuk adanya kemampuan metodologi dan psikologi pendidikan,” papar guru besar UPI ini.

Menyoroti profesionalisme guru dan dosen, IKA UPI menilai saat ini belum fokus dilaksanakan. Juga, belum bermuara pada kesejahteraan tenaga pendidik. Sejauh ini, profesionalisme masih dipahami setengah hati dan basa-basi, bahkan lebih bernuansa politis. Dengan kata lain, penyelenggaraan profesi guru belum menyentuh terciptanya profesionalisme di lapangan. Yang menyedihkan, kesejahteraan yang merupakan implikasi dari guru profesional banyak dihambat birokrasi pusat dan daerah.

“Banyak guru belum menikmati hasil kerja kerasnya mengikuti pendidikan profesi karena rumitnya birokrasi pemerintahan. Karena itu, IKA UPI merekomendasikan agar pembinaan profesi guru dilakukan secara tegas dan jelas arahnya dengan melibatkan LPTK yang benar-benar memiliki kemampuan sumber daya dan kapasitas. Pemerintah juga harus memberikan pelayanan birokrasi yang jelas dan terencana dalam penyaluran kesejahteraan guru, dengan tidak memperpanjang birokrasi yang memperlambat proses kerja profesionalitas pendidikan,” tandas Aim.

Karut marut pendidikan juga ditandai dengan munculnya permasalahan bantuan operasional sekolah (BOS) dan rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI). Dua kebijakan tersebut dianggap keluar dari komitmen peningkatan kualitas pendidikan. Fakta menunjukkan, dua kebijakan tersebut bukti bahwa komunikasi dalam pelaksanaan aturan penyelenggaraan pendidikan dipahami secara parsial oleh penyelenggara pendidikan.

“IKA UPI mendesak agar pemerintah lebih konsentrasi dan konsisten dalam menata dan mengelola pendidikan. Pemerintah juga harus mengacu pada UUD 1945 dalam mengelola pendidikan sehingga pendidikan dapat dinikmati dan diakses seluruh lapisan masyarakat Indonesia,” tegas Aim.

“Kami merekomendasikan agar pemerintah mengkaji kembali beberapa program pendidikan yang bersifat ekslusif demi tercapaikan kesetaraan dan kesejajaran dalam mendapatkan akses pendidikan. Pemerintah juga harus menciptakan budaya transparansi dan akuntabilitas dalam dunia pendidikan pada setiap jenjangnya,” pungkas Aim.

MENGAPA KITA GAGAL MERAIH KEUTAMAAN RAMADHAN?

oleh Kholid A. Harras

Dalam sebuah hadist Rasulullahbersabda "Berapa banyak orang yangberpuasa namun ia tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari puasanya tersebutkecuali rasa lapar dan dahaga saja...". Dari keterangan hadist tersebut jelaslah bahwasanya tidak setiap kita yangmelakukan ibadah puasa dapat mengantarkannya meraih derajat taqwa sebagaimana yangmenjadi tujuan dari ibadah shaum ramadhan ini ..

Menurut para ulama, penyebabutama terjadinya kondisi yang paradoksal seperti itu antara lain karena ibadahshaum atau puasa yang banyak dilakukan mengabaikan dua syarat utamanya, yakni penuh keimanan(imanan) serta perhitungan dan kesungguhan (ikhtisaban). Ketika kedua syarattersebut tidak secara sungguh-sungguh diperhatikan maka sudah pasti kita akangagal meraih keutamaan Ramadhan. Berikut sembilan indikator penyebab kita gagal meraih keutamaanRamadhan.

PERTAMA,ketika berpuasa tidak menghalangi dirinya untuk tidak menjaga mulutnya, seperti bergunjing membicarakan keburukanorang lain, mengeluarkan kata-kata kasar, membuka rahasia, mengadu domba, sertaberdusta. Rasulullah SAW menyatakan bahwa dusta akan menjadikan puasa sia-sia.(HR. Bukhari)

KEDUA, ketika target pembacaan Al-Qur'an yang dicanangkan minimal satu kali khatam, tidakterpenuhi selama bulan ramadhan. Kenapa minimal harus dapat mengkhatamkan satukali sepanjang bulan ini? Karena itulah terget minimal pembacaan Al-Qur'an yangdiajarkan oleh Rasulullah SAW. Di bulan ini, pembacaan Al-Qur'an merupakanbentuk ibadah tersendiri yang sangat dianjurkan. Pada bulan inilah tersebutmalam lailatul qadar. Pada bulan ini pula Jibril as biasa mengulang-ulangbacaan Al-Qur'an kepada Rasulullah SAW. Orang yang berpuasa sangat dianjurkan memiliki wirid Al-Qur'anyang lebih baik dari bulan-bulan selainnya.

KETIGA, ketika puasa tak bisa menjadikan pelakunya berupaya memelihara mata dari melihat yangharam. Mata adalah penerima informasi paling efektif yang bisa memberi rekamankedalam otak dan jiwa seseorang. Memori informasi yang tertangkap oleh mata,lebih sulit terhapus daripada informasi yang diperoleh oleh indra yang lainnya.Karenanya, memelihara mata menjadi sangat penting untuk membersihkan jiwa danpikiran dari berbagai kotoran. Ini sebabnya Islam mewasiatkan sikap hati-hatidalam menggunakan nikmat mata.

KEEMPAT, ketika malam-malam ramadhan menjadi tak ada bedanya dengan malam-malam selainRamadhan. Salah satu ciri khas bulan Ramadhan adalah, Rasulullah menganjurkanumatnya untuk menghidupkan malam dengan shalat dan do'a-do'a tertentu. Ibadahshalat di bulan Ramadhan yang biasa disebut shalat tarawih, merupakan amalibadah khusus di bulan ini. Tanpa menghidupkan malam dengan ibadah tarawih,tentu seseorang akan kehilangan momentum berharga.

KELIMA, jika saat berbuka puasa menjadi saat melahap semua keinginan nafsunya yang tertahan sejakpagi hingga petang. Menjadikan saat berbuka sebagai kesempatan "balas dendam"dari upaya menahan lapar dan haus selama siang hari. Bila ini terjadi, berartinilai pendidikan puasa akan hilang. Puasa, pada hakikatnya, adalah pendidikanbagi jiwa (tarbiyatun nafs) untuk mampu mengendalikan diri dan menahan hawanafsu. Puasa menjadi kecil tak bernilai dan lemah dalam unsur pendidikannyaketika upaya menahan dan mengendalikan nafsu itu hancur oleh pelampiasan nafsuyang dihempaskan saat terbuka.

KEENAM, ketika bulan ramadhan tidak dioptimalkan untuk banyak mengeluarkan infaq dan shadaqah.Rasulullah SAW seperti digambarkan dalam hadits, menjadi sosok yang palingmurah dan dermawan di bulan Ramadhan. Di bulan inilah, satu amal kebajikan bisabernilai puluhan bahkan ratusan kali lipat di banding bulan-bulan lainnya.Momentum seperti ini sangat berharga dan tidak boleh disia-siakan.

KETUJUH, ketika hari-hari menjelang idul fitri sibuk dengan persiapan lahir, tapi tidak sibukdengan memasok perbekalan sebanyak-banyaknya pada 10 malam terakhir untukmemperbanyak ibadah. Lebih banyak berfikir untuk bisa merayakan idul fitridengan berbagai kesenangan, tapi melupakan suasana akan berpisah dengan bulanmulia tersebut.Rasulullah dan para shabat mengkhususkan 10 hari terakhir untukberdiam didalam masjid, meninggalkan semua kesibukan duniawi. Merekamemperbanyak ibadah, dzikir dan berupaya meraih keutamaan malam seribu bulan,saat diturunkannya Al-Qur'an. Pada detik-detik terakhir menjelang usainyaramadhan, mereka merasakan kesedihan mendalam karena harus berpisah denganbulan mulia itu. Sebagian mereka bahkan menangis karena akan berpisah denganbulan mulia.

KEDELAPAN, ketika Idul Fitri dan selanjutnya dirayakan laksana hari"merdeka" dari penjara untuk melakukan berbagai penyimpangan. Fenomena inisebenarnya hanya akibat dari pelaksanaan puasa yang tidak sesuai denganadabnya. Orang yang berpuasa dengan baik tentu tidak akan menyikapi Ramadhansebagai beban dan keterkungkungan.

KESEMBILAN, setelah ramadhan, nyaris tidak ada ibadah yang ditindaklanjutipada bulan-bulan selanjutnya. Misalnya memelihara kesinambungan puasa sunnah 6hari di bulan Syawal dan puasa-puasa sunah lainnya, shalat malam, membacaAl-Qur'an, ataupun bersedekah dan berinfak.

Amal-amal ibadah satu bulanramadhan, adalah bekal pasokan agar ruhani dan keimanan seseorang meningkatkanuntuk menghadapi sebelas bulan setelahnya. Namun, orang akan gagal meraihkeutamaan Ramadhan, saat ia tidak berupaya menghidupkan dan melestarikanamal-amal ibadah yang pernah ia jalankan dalam satu bulan di bulan ramadhan.marilah kita perbaiki diri kita di bulan ramadhan ini, dan kita tingkatkankualitas kepribadian kita agar kita mampu meraih keutamaan bulan ramadhan. (KAH)



Tiga Catatan di Akhir Ramadhan

oleh Kholid A. Harras


Ramadan sebentar lagi akan meninggalkan kita. “Madu” ramadhan sudah sampai di tetes terakhir untuk kita nikmati. Minimal minimal ada tiga catatan yang patut kita garisbawahi setelah kita menapaki hari-hari Ramadhan tahun ini. Tentu saja masing-masing kita bisa menambahkan catatan tersebut sesuai hasil perenungan kita masing-masing.

Pertama, seliar apa pun nafsu kita, sesungguhnya ia bisa didewasakan. Momentum Ramadan telah menyediakan tarbiyah khusus buat pengendali nafsu yang bersemayan pada diri manusia. Mungkin pada hari-hari di luar bulan Ramadhan nafsu kerap kali mendiktekita. Di balik tuntutan lapar materi, nafsu bisa mencipta seribu satu dalih agar orang mencuri atau melakukan korupsi. Nafsu jugalah yang kerap mengelabui manusia mengumbar libido syahwat. Dan dibalik tuntutan nafsu ingin istirahat, kerap mengungkung orang menjadi penyantai dan pemalas dan melakukan ibadah.

Lewat Ramadhan Allah SWT Yang Maha Pengasih telah menghadiahi kita dengan kewajiban melaksanakan shaum atau puasa agar setiap muslim bisa mendewasakan nafsu-nafsu duniawinya. Bisa menutup-buka pintu-pintu energinya. Hingga, nafsu tidak lagi seperti anak kecil yang bisa dapat apa pun ketika merengek dan menuntut. Nafsu harus dipaksa. Agar, ia bisa dewasa. Inilah salah satu tarbiyah Rabbaniyah atas kehadiran bulan Ramadhan ini, ia telah memdewasakan nafsu kita.

Kedua, sekotor apa pun jiwa kita, sesungguhnya ia bisa dibersihkan. Selama sebelas bulan, tubuh, jiwa juga indria kita boleh jadi begitu longgar dalam menerima masukan dari luar. Semuanya bisa masuk. Mulai dari yang samar, kotor, bahkan yang beracun sekalipun. Akibatnya, tubuh, jiwa maupun indria kita tidak lagi peka dan mata hati kita pun menjadi buta. Ramadhan telah menyediakan semacam “saringan alami” bagi ketiganya. Karena telah mendapat saringan akan membuat berbagai amaliyah ibadah yang sebelumnya terasa berat menjadi ringan. Bahkan sangat ringan!. Semoga kita termasuk orang-orang yang beruntung karena telah berusaha membersihkan jiwa kita selama sebulan di Ramdhan tahun ini.

Ketiga, sepicik apa pun ego kita, ternyata ia bisa dicerdaskan.Karena ego, orang bisa menganggap kalau dirinyalah yang terbaik. Tak perlu masukan dan sumbang saran. Karena ego pula, orang menjadi tak perlu berjamaah. Ego menghias kepicikan diri menjadi prestasi besar. Ramadhan telah memaksa ego kita untuk tunduk dengan kenyataan. Bahwa, yang ego banggakan ternyata tak sekuat yang dibayangkan.Lewat Ramadhan telah memaksa ego kita untuk melihat kenyataan diri. Bahwa, kita hanyalah seorang hamba, yang harus tunduk dan taan kepada-Nya.

Inilah momentum Ramadan yang begitu mahal. Semoga kita masih diberikan kesempatan oleh Allah bertemu lagi dengan Ramadhan di tahun hadapan.Amien.

CITRA GURU PADA SINETRON KITA

oleh Kholid A. Harras

Bagaimananakah sosok guru dicitrakan dalam film-film atau sinetron yang setakat ini ditayangkan oleh sebagian besar stasiun televisi kita? Memprihatinkan, mengenaskan, bahkan cenderung terjadi ‘pelecehan’ terhadap profesi yang konon layak “digugu dan ditiru” ini. Supaya pernyataan tersebut tidak dianggap mengada-ada atau dinilai fitnah, berikut penulis akan sajikan sejumlah hujah serta bukti-buktinya.

Sosok peran guru yang banyak dimunculkan pada film atau sinetron dan ditayangkan oleh stasiun-stasiun televisi kita, baik yang berformatkan film televisi (FTV), layar miniseri (LMS) dan sinetron mini seri (SMS). pada umumnya dikaitkan pada cerita-cerita dunia cinta remaja. Mereka pada umumnya juga merupakan para guru yang mengajar di sekolah-sekolah ‘bonafide’ di kota besar, khususnya Jakarta, baik di SMP maupun di SMU. Namun yang harus segera dicatat, kehadiran peran guru dalam seabrek sintron dunia cinta remaja tersebut pada umumnya bukanlah tokoh sentral. Sebaliknya, keberadaan mereka hanya sekadar peran tempelan alias ‘pelengkap penderita’ bagi penggambaran dari gaya hidup para pelajar atau remaja kota besar yang serba wah dan hedonis, yang memang merupakan mainstream dari sinetron-sinetron tersebut.

Walaupun peran minimalis para guru tersebut tidak mewakili fakta yang sesungguhnya, tapi hal itu bukanlah masalah benar. Yang justru menjadi soal adalah bagaimana para pembuat sinetron tersebut selama ini mencitrakan posisi kaum guru dalam sinetron mereka. Jika kita coba cermati secara saksama, maka tampaklah bahwasanya dalam banyak sinetron remaja tersebut para guru pada umumnya selalu digambarkan dalam posisi yang artifisail serta nyaris tanpa wibawa, baik dari sisi penampilan fisik maupun tingkah-paripolahnya.

Sebagai sebuah contoh misalnya pada sinetron Opera SMU dan Amanda. Di situ digambarkan bagaimana dandanan serta penampilan fisik dari tokoh-tokoh ibu guru yang laiknya para tante yang akan pergi ke pesta dansa, dan bukannya sebagai orang yang hendak mengajar di sekolah. Make up dari para ibu guru tersebut tampak habis-habisan: berbedak tebal, berlipstik menyala, memakai pinsil alis, eye shadow, mascara, sampai ber-blush-on segala. Begitu pula busana dan aksesoris yang digunakan pun pada umumnya juga tampak berlebihan.

Rupanya, seperti halnya yang telah menjadi ciri khas pada sinetron-sinetron kita dimana penampilan pemeran wanitanya harus tampak cantik, menarik serta menor, penampilan para ibu guru pun demikian. Dalam sinetron mereka, penampilan ibu guru pun tidak boleh tampak biasa-biasa saja, apalagi kumuh, sekalipun ia baru bangun tidur. Begitu pula penggambaran prilaku mereka, khususnya dalam menghadapi ulah dari para peserta didiknya, baik di dalam maupun di luar kelas juga pada umumnya nyaris tak tampak kewibawaannya sebagai seorang pendidik.

Dalam salah satu sinetron remaja, digambarkan sang guru meminta muridnya berpidato di depan kelas. Ketika seorang murid berpidato dengan tergagap-gagap, teman-temannya justru melemparinya dengan potongan-potongan kertas yang pasti menjadi sampah di kelas. Bagaimana si guru menghadapi situasi tersebut? Marahkah dia? Oh tidak, sang guru hanya digambarkan menggeleng-gelengkan kepala, cemberut, lalu menyuruh si murid gagap tersebut duduk kembali. Pada episode yang lain, muncul seorang guru yang arogan ketika menghadapi muridnya yang terlambat masuk kelas. Dengan judesnya sang guru mengusir si murid, tanpa perlu bertanya penyebab keterlambatannya.

Betapa tak adanya wibawa guru dalam sinetron juga muncul antara lain lewat adegan di mana murid seenaknya bicara pada sang guru sambil mengolah permen karet di mulutnya! Adegan lainnya, ketika guru memanggil ke ruangannya seorang murid yang melakukan kesalahan, si murid justru menantang mata sang guru. Dengan seenaknya si murid membantah perintah sang guru karena hal itu tak sesuai dengan keinginan hatinya. Adegan in jelas menunjukkan betapa “berkuasanya” si murid yang dalam cerita itu merupakan anak seorang pejabat dan betapa rendahnya wibawa guru tersebut sampai-sampai muridnya bisa seenaknya melecehkannya.

Hal lain yang juga bisa dianggap sebuah pelecehan, yakni bagaimana bebasnya pakaian seragam para murid, baik SMP maupun SMA dalam sinetron-sinetron tersebut. Umumnya murid yang berakting pada sinetron pakaian seragamnya seenaknya sendiri. Misalnya yang laki2 bajunya tidak dimasukan ke dalam celana atau roknya, potongan celana atau roknya tidak sesuai aturan atau menggunakan asesoris yang diluar kepatutan. Hal itu jelas tidak realistis. Mungkin memang ada anak sekolah seperti itu, tetapi mayoritas murid SMU saya yakin tidak seperti apa yang digambarkan dalam sinetron- sinetron tersebut.

Itulah antara lain penggambaran citra dan sosok guru dalam sinetron remaja yang bertebaran di layar kaca kita. Di tengah krisis pada semua segi bangsa ini, realitas dunia sinetron itu seperti menggambarkan krisis etika kita, krisis budi pekerti kita. Tragis memang! ****

SBY, PRESIDEN PERUSAK BAHASA INDONESIA

oleh Kholid A. Harras

Sewaktu SBY menjabat sebagai Menko Polkam dalam Kabinet Gotong Royong era Presiden Megawati, pada perayaan bulan bahasa Oktober 2003 Pusat Bahasa (kini statusnya ditingkatkan menjadi Badan Bahasa Nasional, mengganjarnya sebagai tokoh publik berbahasa Indonesia lisan terbaik.

Salah satu dasar pertimbanganya, karena dalam setiap pidatonya di hadapan publik atau pers SBY akan senantiasa menggunakan bhs.Indonesia yang tertib, runut dan cerdas.Sejak SBY menjadi orang nomor satu di negeri ini, terlebih-lebih setelah dia menyandang gelar doktor, SBY tampaknya sudah tidak lagi istiqomah. Menurut saya, saat ini dia merupakan tokoh publik yang paling buruk dalam menggunakan bahasa Indonesia.

Ingin bukti? Coba saja simak pidatonya pada acara pembukaan perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (3/1/2011). Dalam pidatonya tersebut, SBY begitu 'jor-joran' melontarkan istilah-istilah atau kalimat-kalimat dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Hanya dalam 30 menit pertama pidatonya, SBY menggelontorkan istilah dalam bahasa Inggris sebanyak 24. kali Padahal, pidato SBY hari ini berdurasi lebih dari satu jam. Jadi dapat dibayangkan akan berapa banyak istilah-istilah bahasa Inggris yang keluar dari mulut presiden kita ini.

Berikut beberapa contoh kutipan Bhs Indonesianya SBY yang banyak disoroti publik tersebut.

"Dalam melakukan evaluasi, kita harus merujuk pada parameterdan ukuran yang jelas. Correct measurement". Selanjutnya SBY mengatakan, "Pemulihan ekonomi untuk menjaga kesejahteraan rakyat, atau dengan bahasa bebas saya katakan minimizing the impact of the global economic crisis.". Menurut SBY, keberhasilan perekonomian Indonesia di tahun 2010 ini mencapai 6 persen lebih. Tak lupa, ungkapan ini juga dia sampaikan dalam bahasa Inggris. "Insya Allah tahun 2010 ini kita bisa mencapai enam persen, close to six percent," ujar Presiden.

Selain itu dalam pidato tsb SBY mengutip kata maupun istilah-istilah dari bahasa Inggris yang fungsinya hanya sebatas penggaya saja, karena dia terlebih dahulu mengutip istilah bhs. Indonesianya. Antara lain “Kita tetapkan sejumlah kebijakan, policies, dan tindakan nyata, actions.” “Menuju sebuah anggaran yang berimbang, balance badget.” “Tetapi, secara umum, in general.” “Yang menyakitkan, yang painful.” “Tapi, kami pemerintah mengatakan, it is achievable, bisa dicapai.”

Atas dasar kenyataan tersebut, saya mengusulkan kepada Badan Bahasa Nasional untuk mencabut kembali gelar SBY sebagai "Tokoh Publik Pengguna Bahasa Indonesia Lisan Terbaik". Kini SBY sudah tidak tepat lagi menyandang gelar tersebut. Bahkan bila perlu, SBY perlu diganjar sebagai presiden pelanggar UU Nomor 24 Tahun 2009 yang mewajibkan pejabat negara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tindakan ini penting dilakukan untuk menjaga harkat dan martabat Badan Bahasa Nasional.

Emansipasi yang Salah Kaprah?

oleh Kholid A. Harras

Banyak wanita saat ini yang kerap mengartikan emansipasi secara salah kaprah sehingga kadang mengorbankan kemulyaan wanita itu sendiri. Ironisnya semua itu kerap dinisbatkan seolah2 sebagai bagian dari perjuangan wanita berhati emas RA Kartini. Padahal kalau kita baca surat2 RA Kartini sebagaimana yang ia tulis kepada sahabat2nya cita-cita beliau (kalau itu disebut emansipasi) sesungguhnya sangat sederhana. Coba kita simak misalnya surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902 di bawah ini.

Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.

Begitu juga banyak orang yang tidak tahu bahwasanya pikiran-pikiran RA Kartini sesungguhnya merupakan buah dari hasil kekritisannya dalam mempelajari ajaran Islam, khususnya Al-Quran. Kartini syahdan sering berdiskusi dengan para ulama di daerahnya. Antara lain beliau pernah berdialog dengan Kiyai Soleh Darat.

Berikut antara lain dialog antara Kartini dengan Kyai Sholeh Darat

”Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”.

Menurut K.H.Ahmad Chalwani Nawawi, pengasuh Ponpes Al-Nawawiyah Purworejo Jateng dan mantan anggota DPD RI Wakil jawa Tengah, Kartini lantas mengusulkan kepada Kiyai Sholeh Darat untuk menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Konon dari usulan Kartinilah, akhirnya Kiyai Sholeh Darat menjadi orang pertama yang menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Jawa (lihat majalah Mataair edisi VI,2007.)

Kata-kata minazh zhulumaati ilan nuur [Q.S: 2:257] ini sering diulang-ulangnya, dari gelap kepada cahaya. Bagi Kartini, terasa benar pengalaman pribadi tersebut, dari kegelisahan dan pemikiran tak berketentuan kepada pemikiran hidayah.

Dalam surat-suratnya kemudian, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat ”Dari Gelap Kepada Cahaya” ini. Istilah ini yang dalam Bahasa Belanda adalah ”Door Duisternis Tot Licht”, kemudian menjadi kehilangan maknanya setelah diterjemahkan oleh Armijn Pane menjadi ”Habis Gelap Terbitlah Terang”


Wallahu a'lam

Pengikut

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia