MEMBACA DAN TRADISI PENDIDIKAN KITA
Kholid A.Harras
Boleh jadi masih belum banyak masyarakat kita, termasuk dari kalangan para pendidik di negeri ini, yang mengetahui bahwa pada setiap tanggal 8 September telah ditetapkan oleh Unesco sebagai hari “Membaca Internasional” (International Literacy Day). Padahal pencanangan hari membaca internasional tersebut telah dilakukan sejak beberapa puluh tahun lalu (tahun 2004 ini untuk yang ke-40 kalinya).Memang untuk peringatan hari membaca ini, jangankan yang levelnya internasional, bahkan yang nasional saja (yang jatuh pada setiap tanggal 17 Mei), masih banyak masyarakat dan para pendidik kita yang tidak mengetahuinya.
Di tengah gonjang-ganjing politik dan sosial serta keterpurukan ekonomi yang terus mendera bangsa saat ini, boleh jadi bagi sebagian besar bangsa ini persoalan membaca atau literasi ini masih belum dipandang sebagai masalah besar. Oleh karena itu harap maklum saja jika ekspos mengenainya nyaris tidak terdengar, termasuk dari kalangan media massa. Padahal kalau kita membaca data-data ihwal bagaimana gambaran kemampuan dan minat membaca (reading habit) dari bangsa ini sungguh sangat memprihatinkan.
Menurut data Unesco misalnya, konon dari sekira 220 juta penduduk Indonesia yang belum bisa membaca atau dikatagorikan illiterat jumlahnya masih sekira 34,5 persen. Artinya cuma 65,5 persen saja yang sudah mampu melek huruf. Dari jumlah tersebut sebagian besar mereka termasuk ke dalam katagori kelompok aliterat, yakni mereka bisa membaca tetapi memilih untuk tidak menjadikan aktivitas membaca sebagai bagian dari tradisi hidupnya. Sedangkan masyarakat kita yang berkatagori literat, yakni yang telah menjadikan aktivitas membaca sebagai bagian dari kebudayaan hidupnya, menurut sebuah hasil penelitian, jumlahnya tidak sampai 10 persen dari populasi bangsa ini. Bandingkan misalnya dengan kondisi Malaysia, di mana jumlah masyarakat yang sudah melek hurufnya telah mencapai 86,4 persen yang sudah berkatagori literatnya telah mencapai 50 persen.
Selain kondisi minat bacanya yang masih sangat memprihatinkan, kemampuan membaca dari para peserta didik kita juga juga pada umumnya masih sangat menyedihkan. Sebagaimana diinformasikan oleh hasil penelitian Tim Program of International Student Assessment (PISA) Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas (Republika, 4/7 2003) menyebutkan bahwa kemampuan membaca anak-anak Indonesia yang berusia 15 tahun (SLTP/SMU/SMK) berada di urutan 39 dari 41 negara. Sekitar 37,6 persen dari mereka hanya bisa membaca saja tanpa bisa menangkap maknanya dan 24,8 persen hanya bisa mengaitkan teks yang dibaca dengan satu informasi pengetahuan saja. Artinya, masih banyak anak-anak kita yang sesungguhnya tidak mempunyai bekal hidup untuk bisa belajar mandiri karena kemampuannya untuk menyerap pengetahuan melalui bahan bacaan masih sangat rendah.
Tulisan ini akan menyoroti seputar minat atau budaya baca (reading habit). Masalah yang ingin diurai adalah sejumlah hipotesis mengapa minat dan budaya baca bangsa ini masih juga belum beranjak dari kata “memprihatinkan”.
Tentang Minat Baca
Harus diakui minat baca bagi sebagian besar bangsa kita masih merupakan sebuah persoalan. Aktivitas membaca buku serta berbagai jenis bacaan lainnya masih belum menjadi bagian dari budaya masyarakat negeri ini. Indikator yang biasanya dijadikan tolok ukurnya antara lain rendahnya jumlah penerbitan buku yang dihasilkan oleh para penerbit serta sepinya masyarakat kita mengunjungi perpustakaan. Konon di negeri yang berpenduduk hampir 2020 juta jiwa ini setiap tahunnya hanya ada 12 judul baru untuk setiap sejuta penduduknya. Padahal di negara-negara berkembang lainnya sebanyak 55 judul. Sedangkan di negara-negara maju sebanyak 513 judul buku baru setahun untuk setiap sejuta penduduknya. Begitu pula dengan jumlah tiras surat kabar/majalah yang berhasil diterbitkannya, di negeri ini jumlahnya hanya untuk 2,8 persen dari penduduknya. Padahal menurut standar Unesco, di negara berkembang yakni sebanyak 10 persen dan di negara-negara maju di atas 30 persen. Kemudian di negeri ini pun sebuah buku terbitan domestik dengan tingkat penjualan di atas 75 ribu eksemplar dalam setahun, sudah dianggap larismanis alias buku dengan predikat bestseller. Padahal di negara-negara lain ukurannya harus di atas jutaan eksemplar. Sebagai contoh misalnya buku-bukunya J.K.Rawling. Konon bukunya yang terbit pada 21 Juni tahun lalu, Harry Potter and the Order of the Phoenix cetakan perdana berjumlah 6,8 juta eksemplar!
Begitu pula dengan aktivitas bangsa ini dalam mengunjungi tempat-tempat galeri ilmu. Menurut Pimpinan Perpustakaan Nasional, Hernandono, konon jumlah penduduk Indonesia yang mau mengunjungi perpustakaan hanya satu persen saja. Memang harus diakui secara umum kondisi perpustakaan di negeri ini, baik perpustakaan umum maupun perpustakaan sekolah masih sangat jauh dari memadai. Seorang teman dengan nada kelakar menggambarkannya “lebih luas gedung serta lebih banyak rak bukunya dibandingkan dengan jumlah buku yang dimilikinya”.
Masih menurut data Perpusnas (Republika, 21 Mei 2000), konon dari sekitar 70.000 desa dan 9.000 kecamatan yang ada di Indonesia, tak lebih dari setengah persen yang sudah memiliki perpustakaan standar. Sedangkan dari sekitar 316 Daerah Tingkat II yang memiliki baru 70 persen yang memiliki perpustakaan standar. Bagaiamana dengan perpustakaan sekolah? Ternyata masih belum beranjak dari kata memprihatinkan. Dari sekitar 200.000 jumlah SD kita, diperkirakan cuma satu persen yang memiliki perpustakaan standar. Sedangkan dari sekitar 70.000 unit SLTP, hanya 36 persen yang memenuhi standar. Dan dari sekitar 14.000 unit SLTA, hanya 54 persen saja yang mempunyai perpustakaan standar. Sementara di perguruan tinggi yang nota bene merupakan centre of excelence, dari sekitar 4.000 PT yang kita miliki hanya 60 persen saja yang memiliki perpustakaan standar.
Sejumlah Hipotesis
Ada sejumlah hipotesis yang kerap dimunculkan para pendidik serta pengamat ihwal rendahnya minat baca bangsa ini. Salah satunya misalnya menyatakan penyebab rendahnya minat baca bangsa ini karena tradisi kelisasnan (orality) masih merupakan bottle neck dalam kantong memori linguistik mereka. Seperti kita tahu secara historis-kultural masyarakat kita mengantongi warisan budaya lisan yang hampir memfosil. Hampir berabad-abad lamanya prilaku komunikasi masyarakat kita lebih banyak berlangsung dalam tataran lisan yang serba melisan (omong-dengar) ketimbang tradisi baca-tulis.
Tradisi literasi sendiri konon baru dikenal secara terbatas oleh bangsa kita mulai sekitar paruh abad VIII, sebagai akibat persentuhannya dengan agama serta kebudayaan Hindu, Budha kemudian Islam. Itu pun hanya terbatas pada sekelompok kecil masyarakat tertentu, yakni pada kalngan elit istana serta kaum agamawan. Kemudian pada sekitar paruh abad XIX aktivitas baca-tulis tersebut mulai dikenal (juga masih secara terbatas) pada sebagian besar masyarakat elit priyayi sebagai akibat didirikannya lembaga persekolahan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai pengejawantahan dari politic etic-nya. Kemudian baru setelah bangsa ini merdeka mendirikan persekolahan kegiatan membaca dan menulis mulai menyentuh secara lebih luas pada masyarakat umum.Namun belum lagi berkembang penuh dan merasuk budaya baca ini, sudah datang pula teknologi informasi baru yang lebih menggoda. Mulanya adalah radio, televisi, dan kini yang paling mutakhir adalah Internet. Akibat gempuran budaya ini meminjam istilah Taufik Abdullah, telah membuta corak baru tradisi lisan (new kind of orality), atau, dalam istilah Ignas Kleden, kelisanan sekunder (secondary orality). Dalam tradisi baru lisan atau kelisanan sekunder ini kemampuan baca dan tulis tidak begitu dibutuhkan lagi, karena sumber informasi lebih bersifat audio-visual. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia mengalami lompatan dari kelisanan primer ke kelisanan sekunder, dengan melangkahi budaya baca-tulis. Karena corak lama tradisi lisan belum terkikis benar oleh budaya baca-tulis, maka tawaran corak baru tradisi lisan yang disuguhkan media informasi elektronik, utamanya televisi, jauh lebih "merangsang" dan memiliki daya tarik yang lebih kuat.
Jadi perkenalan masyarakat kita dengan kegiatan membaca dan menulis memang masih belum lama. Padahal untuk mengubah tradisi lisan menuju tradisi literasi membutuhkan waktu yang lama. Konon masyarakat Eropa membutuhkan waktu kurang lebih dua abad lamanya untuk mengubah masyarakatnya dari budaya lisan menuju budaya literasi, yakni dimulai dari jaman renesans yang kemudian dilanjutkan jaman industrialisasi. Begitu pula dengan proses terbentuknya tradisi literasi masyarakat Jepang konon membutuhkan waktu hampir satu abad lamanya, yakni dimulai sejak pencangan Restorasi Meiji.
Hipotesis lainnya –ini yang cukup menarik sekaligus ironis-- penyebab rendahnya aktivitas litearsi masyarakat kita karena kehadiran lembaga-lembaga persekolahan formal kita yang seharusnya merupakan institusi penjebol dominasi tradisi lisan ternyata dalam praktiknya disinyalir justru berbalik menjadi penguat semakin suburnya tradisi tersebut. Dengan perkataan lain sistem persekolahan kita masih belum berhasil membentuk masyarakat yang literat (berkebudayaan baca-tulis), tetapi baru sekedar mampu menghasilkan masyarakat yang aliterat, yakni masyarakat yang bisa membaca dan menulis, tetapi tidak menjadikan kedua hal itu sebagai bagian dari tradsi hidupnya.
Mengapa gambarannya paradok semacam itu? Ada beberapa faktor yang diduga sebagai penyebabnya. Pertama, dunia persekolahan kita dianggap masih belum memberikan peluang yang cukup bagi hadirnya tradisi literasi. Sebagaimana kita ketahui hampier semua aktivitas para peserta didik kita bersekolah dari mulai TK hingga PT semuanya nyaris berjalanan dalam bentangan kelisasnan. Interaksi maupun proses belajar-mengajar yang dilakukan oleh para guru di dalam kelas misalnya, pada umumnya lebih banyak berlangsung dalam tataran yang serba melisan( guru bicara dan siswa atau mahasiswa menyimak) tinimbang dalam tataran keberaksaraan. Masih sangat sedikit guru yang secara sungguh-sungguh menjadikan aktivitas membaca buku dan menulis sebagai sumber acuan atau sebagai frame of reference pembelajarannya.
Sehubungan dengan kondisi tersebut kembali ada sebuah anekdot yang mengatakan bahwa untuk dapat sukses belajar di lembaga-lembaga pendidikan ini, termasuk di PT sekalipun tidak usah si murid atau mahasiswa memiliki kemahiran membaca yang mumpuni serta banyak membaca, apalagi memiliki banyak buku. Tetapi cukup rajin datang ke sekolah atau kampus kemudian menjadi pendengar yang baik saja. Sebab bukankah transfer ilmu yang dilakukan oleh sang guru atau dosen pun bukan bersumber dari dari buku melainkan dari omongan-omongannya yang disampaikan secara lisan? Jadi dengarkan saja baik-baik semua yang diomongkan oleh guru atau dosen tersebut, pasti tidak akan jauh dari sekitar yang diomongkannya di dalam kelas itulah hal-hal yang akan ditanyakannya ketika ujian. Selain itu untuk menjawab soal-soal ujian pun juga tidak harus banyak membaca. Sebab bukankah jenis soal-soal yang diberikan pun pada umumnya lebih banyak berupa pilihan ganda (multiple choice) yang alternatif jawaban-jawabannya sudah tersedia?
Sejauh mana kebenaran dari hipotesis-hipotesis tersebut, tentunya masih harus dibuktikan lewat penelitian. Yang pasti, upaya menghadirkan minat baca seseorang, terlebih menjadikannya sebagai bagian dari tradisi masyarakat atau bangsa memang bukan persoalan sederhana. Sebab sebagaimana dikemukakan dalam banyak literatur, faktor-faktor yang menggayuti minat membaca ini memang cukup kompleks. Selain berhubungan dengan faktor-faktor psikologis, juga bergayut dengan faktor-faktor sosiologis, bahkan politis. Oleh karena kompleksnya faktor-faktor yang turut mempengaruhi minat baca ini, maka pengupayaannya tidak dapat hanya bertumpu pada salah satu faktor saja dan mengupayakan faktor lainnya. Misalnya hanya mengandalkan instutusi persekolahan formal atau pada pemerintah saja. Keluarga dan masyarakat juga mutlak dituntut peran sertanya. Tanpa peran serta mereka mengharapkan masyarakat dan bangsa ini berbudaya membaca hanya akan menjadi sebuah utopia saja.****