KOMIK: ANTARA MANFAAT DAN MADARAT
Oleh Kholid A.Harras
Hingga saat ini di mata sebagian besar orang tua, para pendidik, serta kaum moralis kita, jenis bacaan berbentuk komik tampaknya masih dianggap sebangun dengan buku-buku roman picisan; sebuah bacaan yang dinilai lebih banyak mendatangkan madarat tinimbang manfaat. Oleh karenanya, tidak heran jika kebanyakan mereka bukan hanya akan menunjukan sikap yang kurang bersahabat terhadap jenis bacaan ini. Mereka akan berupaya sekuat daya menjauhkannya dari jangkauan anak-anaknya atau peserta didiknya.
Di lingkungan keluarga misalnya, banyak orang tua yang akan menghardik anak-anaknya yang ketahuan membaca, apalagi sampai menjadi kolektor bacaan komik. Sedangkan di lingkungan sekolah banyak para guru tak segan-segan akan melakukan perampasan terhadap siswanya yang kedapatan membawa jenis bacaan ini ke sekolah.
Mengenai bagaimana perlakuan protektif sekolah terhadap bacaan komik, ada cerita yang cukup tragik seperti ini. Seorang rekan penulis yang bertugas di salah satu SLTP di Bandung mengatakan bahwa salah satu cara untuk menseterilkan lingkungan sekolah tempat dia bertugas dari jenis bacaan cerita bergambar ini, Kepala Sekolahnya kerap menugasi para guru untuk melakukan razia tas sekolah para siswa. Mereka yang ketahuan membawa buku komik, selain bukunya disita juga orang tua siswa tersebut akan dipanggil pihak sekolah untuk diberikan peringatan.
Menurut Marcel Bonneff (1998), seorang peneliti komik Indonesia asal Perancis, sejak pertama kemunculannya komik memang telah menjadi sasaran kritik dan tundingan para orang tua serta ahli-ahli pendidikan. Salah satu alasannya, karena komik dianggap sebagai jenis bacaan yang tidak memberikan nilai-nilai pendidikan serta gagasan-gagasan yang ada di dalamnya dianggap dapat membahayakan perkembangan para pembacanya. Selain itu bacaan komik juga kerap dituduh mengganggu kegiatan belajar anak-anak.
Selain alasan-alasan di atas, karakteristik komik yang lebih banyak didominasi oleh unsur visual (gambar) tinimbang unsur teks naratif, --sehingga dinilai sebagai bacaan yang kurang memberi tantangan pada pengembangan daya imajinasi/fantasi kepada para pembacanya yang kebanyakan anak-anak-- juga dijadikan hujah oleh mereka yang bersikap protektif terhadapnya. Begitu pula tindakan yang digambarkan dalam sebagian komik yang menampilkan adegan-adegan agresif (keras dan brutal), bahkan tidak jarang mempertontonkan hal-hal yang porno atau tabu -- sehingga kerap menyertakan ragam bahasa yang naif dan kotor (seperti sumpah-serapah, makian, hujatan atau kata-kata keji lainnya) -- menurut mereka dianggap potensial merangsang anak untuk menirunya. Sebagai catatan, atas dasar asumsi semua jalan ceritanya dianggap “baik”, di masa lalu semua buku komik harus mendapatkan rekomendasi dari pihak Seksi Bina Budaya POLRI. Keterangan rekomendasi tersebut umumnya dicantumkan pada bagian sampul dalam atau pada salah satu gambarnya.
Fenomena persepsi negatif dan sikap memusuhi komik yang dilakukan oleh para orang tua dan para pendidik kita sebenarnya bukan hanya terjadi di negara kita saja. Menurut Marcel Bonneff, antara tahun 1950-an hingga 1960-an di Perancis sendiri –sebuah negara yang saat ini telah menjadi kiblat perkomikan dunia-- fenomena semacam itu pernah menggenjala. Dan baru sekitar tahun 1970-an setelah sejumlah lembaga, seperti Societe d’ Etude et de Recherches des Litteratures dessinees (Masyarakat Pengkaji dan Peneliti Sastra Bergambar) melakukan berbagai kegiatan yang bertujuan membela keberadaannya serta beberapa pihak universitas menyelenggarakan kuliah “Sejarah dan Estetika Komik”, keberadaan komik mendapat tempat yang layak, baik di lingkungan para akademisi maupun masyarakat Perancis pada umumnya..
Gambaran buruk terhadap pengaruh bacaan komik tentu saja tidak semuanya disepakati oleh para pakar. Cukup banyak di antaranya yang menilai komik bukan merupakan bacaan yang membahayakan sehingga harus dijauhkan dari anak-anak. Seperti dinyatakan oleh psikolog Heny Supolo Sitepu (Media Indonesia, 24 Januari 1998), komik tidak berbahaya dan tidak merusak minat baca anak-anak. Bahkan sebaliknya, menurutnya komik dapat memperkaya kecerdasan visual serta mengembangkan daya imajinasi mereka. Heny memberikan ilustrasi, ketika seorang anak tengah membaca komik dia tidak hanya melihat gambaran visualnya atau teksnya saja, tetapi juga dia memperhatikan detil gambarnya. Misalnya bagaimana karakter dan mimik dari para tokohnya, latar belakang gambar dan jalan ceritanya dan seterusnya.. Hal-hal tersebut, menurut Heny, dapat memperkaya pengetahuan dan mendorong anak-anak belajar mencocokan antara latar belakang dengan kejadian yang dipaparkan dalam cerita.
Pendapat senada Heny juga dikemukakan oleh Rahayu S.Hidayat, ketua Lembaga Kajian Komik Indonesia. (Media Indonesia, 24 Januari 1998). Menurut salah seorang staf pengajar pada Fakultas Sastra UI ini, walau bagaimanapun komik, karena keunggulan visualnya serta tokoh-tokohnya cenderung menghibur, merupakan dunia yang lekat dengan anak-anak. Sejauh diperlakukan dalam batas-batas yang wajar, komik sebenarnya cukup positif dalam menumbuhkan minat membaca pada anak-anak, khususnya pada anak-anak yang belum dapat membaca huruf atau usia pra sekolah.
Begitu pula pendapat Seto Mulyadi (Femina No.29/XXIII 27 Juli-2 Agustus 1995). Menurutnya, bagi anak-anak yang belum dapat membaca di mana pada umumnya imajinasi mereka masih sangat terbatas, bacaan komik akan dapat membantu memvisualisasikan imajinasi mereka itu. Kak Seto juga menambahkan bagi anak-anak usia belajar dan tengah dalam perkembangan mental dan intelegensia serta kreativitasnya, membaca komik, seperti halnya menonton televisi, jika dilakukan dengan kadar secukupnya dan dengan fungsi sekedar untuk hiburan atau syukur jika untuk memperoleh informasi, sesungguhnya tidak usah begitu dikhawatirkan. Meskipun demikian psikolog yang dikenal dekat dengan dunia anak ini buru-buru menambahkan bahwa sebaiknya begitu anak dianggap lancar membaca, orang tua sebaiknya mulai memperkenalkan mereka pada buku teks (termasuk buku cerita), kemudian perlahan-lahan mulai ‘menyapih’-nya dari buku-buku bergambar atau komik.
Mengenai bahasa yang digunakan dalam komik, Marcel Bonneff memberi catatan bahwa sesungguhnya bahasa komik sangat bervariasi dan kaya, karena memiliki sejumlah fungsi khas yang tidak terdapat dalam jenis bacaan non-komik. Pertama, fungsi bahasa unntuk memberikan komentar lakuan (action). Kedua, fungsi bahasa dalam dialog yang repliknya ditempatkan dalam balon (atau di samping), yang mengungkapkan sekaligus monolog batin. Ketiga fungsi bahasa untuk mengungkapkan perasaan (interjection), yang juga ditaruh dalam balon yang terkadang seperti gelembung meledak. Kemudian keempat fungsi bunyi-bunyian. Dengan demikian dengan membaca komik secara tidak disadari anak akan dikenalkan dengan aneka fungsi bahasa atau bentuk-bentuk kalimat (kalimat langsung-tidak langsung, kalimat berita, kalimat tanya dan sejenisnya).
Selain sebagai alat penyebaran bahasa Indonesia Bahasa Indonesia komik mempunyai peranan yang positif dalam mengembangkan kebiasaan membaca. Bahkan ujar Bonneff, bagi anak-anak yang putus sekolah, komik merupakan wahana utama untuk tetap berhubungan dengan bahasa tulis. Berdasarkan hal-hal yang disebutkan tersebut peneliti komik ini merekomendasikan bahwasanya buku- buku bacaan komik bukan hanya baik untuk dibaca oleh anak-anak pra sekolah tetapi juga dapat menjadi salah satu media pengajaran yang efektif yang dapat digunakan oleh para guru bahasa.
Dari uraian di atas tampaklah betapa hingga saat ini keberadaan bacaan komik, khususnya yang menyangkut dampak yang ditimbulkan pada pembacanya, masih menjadi sebuah perdebatan. Persoalannya sekarang sebagai orang tua atau pendidik ke kubu manakah kita seharusnya berpihak? Pilihannya tentu akan berpulang pada diri kita masing-masing. Meskipun demikian sebelum kita menentukan sikap ada baiknya jika kita mempertimbangkan realitas berikut.
Menurut informasi masyarakat Jepang yang terkenal sangat hobi membaca itu pada umumnya adalah penggemar berat bacaan komik. Saking gandrungnya masyarakat negeri Sakura ini terhadap jenis bacaan ini hingga hampir 50% industri perbukuan mereka dikuasai oleh buku-buku berjenis komik. Bahkan saat ini ada semacam kecenderungan baru dalam industri perbukuan di negeri ini, semua hal yang menyangkut kehidupan mereka, baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik hingga petunjuk cara masak-memasak dibuat dalam bentuk buku komik.
Buku-buku serial komik semacam Doraemon, Sailor Moon, Dragon Ball, Candy-Candy, atau Krayon Sinchan yang saat ini sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa serta telah dibuatkan serial animasinya, di Jepang bukan hanya digemari oleh kalangan anak-anak tetapi juga oleh para orang dewasanya. Bahkan mengenai serial komik Krayon Sinchan yang saat ini ramai dipersoalkan oleh masyarakat kita karena dianggap adegan-adegannya dinilai banyak yang vulgar serta menjurus ke arah pornografi, walaupun tokoh utamanya anak-anak, namun sejatinya di Jepang sendiri komik tersebut merupakan komiknya kalangan orang dewasa. Jadi seperti serial kartun Burt Simpson, walaupun salah satu tokohnya anak-anak tetapi serial tersebut sesungguhnya bukan diperuntukkan untuk kalangan anak-anak, setidaknya yang kurang dari usia 12 tahun. Dengan demikian wajar saja jika di dalam serial Krayon Sinchan terdapat sejumlah adegan yang ramai diributkan itu, serta salah kita sendiri jika serial animasinya disuguhkan kepada anak-anak.
Kemudian, seperti dilaporkan dalam buku Jepang Dewasa Ini (1996), di negara tersebut terdapat sebuah majalah mingguan komik yang mempunyai sirkulasi sebanyak 4 juta eksemplar lebih setiap kali terbit. Dan yang cukup mencengangkan, mereka yang menginginkannya harus pesan terlebih dahulu kepada para agen atau toko buku. Kegandrungan anak-anak Jepang melahap jenis bacaan komik ternyata tidak membuat mereka menjadi rusak minat bacanya atau terganggu aktivitas belajarnya. Setidaknya hingga setakat ini penulis belum menemukan hasil-hasil penelitian yang menyatakan hal yang dikhawatirkan itu.
Sementara di Indonesia menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Dian Rohaeni lewat skripsinya yang berjudul “Bacaan Anak-anak Bercorak Komik: Analisis Deskriptif atas Minat Baca Anak-anak pada Komik Elex Media Komputindo” (FSUI,1995), antara lain menyatakan sebanyak 91,5 % dari responden penelitiannya (100 anak-anak) dapat dikatagorikan sebagai kelompok komik-mania atau penggemar berat bacaan komik. Dan yang lebih penting lagi Dian Rohaeni juga tidak menemukan fakta bahwa anak-anak yang menggemari jenis bacaan komik tersebut hancur minat bacanya terhadap bacaan non-komik. Kegemaran mereka membaca komik umumnya beriringan dengan kegemaran membaca buku-buku non-komik, termasuk buku-buku pelajaran. Kemudian aktivitas belajar anak-anak penggemar bacaan komik tersebut juga sama sekali tidak terganggu, apalagi menjadi amburadul karenanya. ****