Selasa, 25 Agustus 2009

Apa Kata Kyai Apa Kata Politisi tentang Ramadhan

Di bawah ini ada sebuah tulisan dari K.H.A.Mustofa Bisri yang menurut saya sangat layak untuk dibaca dan direnungkan isinya oleh kita semua.

Apa Kata Kyai Apa Kata Politisi
RAMADAN YA RAMADAN
Oleh: A. Mustofa Bisri
"Mustofa, Ramadan adalah bulan-Nya yang Ia serahkan kepadamu dan bulanmu serahkanlah semata-mata untuk-Nya. Bersucilah untuk-Nya. Bersalatlah untuk-Nya. Berpuasalah untuk-Nya. Berjuanglah melawan dirimu sendiri untuk-Nya." (A. Mustofa Bisri dalam Nasihat Ramadan buat A. Mustofa Bisri)
Gegap-gempita menyambut kedatangan Ramadan dan hiruk-pikuk kaum muslimin menjalani Ramadan, di satu sisi bisa dipandang sebagai pertanda maraknya kehidupan beragama, khususnya di negeri ini. Namun, di lain pihak, bisa sebagai bahan perenungan kita semua, terutama bagi peningkatan mutu keberagamaan kita.
Lihatlah, bagaimana repotnya pemerintah mengoordinasikan pihak-pihak yang diajak bersama-sama menghitung dan meneropong hilal untuk menetapkan awal Ramadan. Bahkan, tahun ini masyarakat umum pun dilibatkan dalam kegiatan rukyah.
Lihatlah spanduk-spanduk menyambut kedatangan Ramadan yang terpampang di seantero jalan. Lihatlah kesibukan para produser dan insan-insan pertelevisian serta para pemilik PH yang bahkan jauh-jauh hari menyusun program-program Ramadan.
Lihatlah ingar-bingar masjid-masjid dan musala serta meriahnya acara buka bersama di mana-mana. Lihatlah kepedulian instansi-instansi, termasuk kepolisian, yang dengan serius berusaha menghormati Ramadan. Luar biasa.
Pendek kata pada Ramadan ini, Indonesia seolah-olah menjadi milik kaum muslimin. Lautan, daratan, dan udara boleh dikata dikuasai kaum muslimin. Subahanallah! kata Ilham dan ustad-ustad dengan takjub.
Fenomena ini bisa kita saksikan setiap tahun. Setiap Ramadan. Hanya pada Ramadan. Inilah acara rutin tahunan kita selama ini.
Seakan-akan kita hanya menunggu datang dan perginya Ramadan, lalu setelah itu kembali kepada kesibukan lain yang biasa kita lakukan di sebelas bulan yang lain. Seakan-akan kita menghormati Ramadan hanya pada Ramadan. Kita berpuasa, menahan diri, hanya pada Ramadan. Termasuk berakrab-akrab dengan keluarga pun hanya pada Ramadan.
Itu pun -kehidupan Ramadan yang seperti itu-masih menyisakan sekian tanda tanya bagi mereka yang benar-benar ingin mendapatkan keridaan Tuhan mereka. Tanda tanya itu antara lain, di manakah posisi Allah dalam diri kita di tengah-tengah kesibukan kita yang khas itu?
Seberapa murnikah niat kita dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan ibadah kita? Atau seberapa jauh dorongan nafsu yang samar menyusupi keinginan kita mendapatkan rida Allah?
Dengan perenungan yang agak dalam, kita mungkin akan menyadari bahwa nafsu begitu halus tersembunyi di dalam diri kita, sering berimpitan dengan kehendak mendapatkan rida Allah. Kita berzikir atau membaca Quran, misalnya, tentulah dengan kehendak ingin mendapatkan rida-Nya. Namun, bersamaan dengan itu, sering tanpa kita sadari nafsu justru mendorong kita untuk berlebih-lebihan, sehingga kehendak yang mulia itu malah melenceng melanggar anggar-anggar-Nya.
Kita berzikir atau membaca Quran tidak lagi murni bagi Allah Yang Mahadekat, tapi kita keraskan suara kita sedemikian rupa seolah-olah kita sedang menyeru orang tuli.
Bahkan, di negeri ini, kebiasaan berzikir, membaca Quran, dan sebagainya, dengan pengeras suara sudah merupakan hal jamak lumrah. Tak ada seorang kiai pun yang memperingatkannya.
Saya sendiri pernah menyinggung masalah kemaruk pengeras suara ini, di koran ini. Besoknya ada penelepon yang marah-marah, "MUI saja, Gus Dur saja, tidak mempersoalkan, kok sampeyan mempersoalkan!" Saya mempersoalkan hal ini justru karena MUI dan Gus Dur tidak terang-terangan mempersoalkannya, jawab saya ketika itu.
Biasanya orang yang membenarkan zikir dsb dengan pengeras suara beralasan bahwa itu merupakan syi’ar. Saya tidak tahu apakah maksud mereka dengan syi’ar itu?
Apakah Rasulullah SAW yang melarang berzikir keras-keras itu tidak mengerti syi’ar? Apakah para sahabat, Imam Syafi’i dan ulama-ulama besar yang mengecam zikir dengan suara keras itu tidak mengerti syi’ar?
Lagi pula apakah, karena kita merasa besar, lalu kita merasa merdeka dan menafikan hak mereka yang lain -sekecil apa pun- untuk tidak diganggu dengan suara-suara keras?
Kehendak untuk diterima amal kita sering juga disusupi nafsu yang samar, lalu kita menjadi egois; ingin agar amal kita sendiri yang diterima tanpa mengindahkan hak orang lain untuk berkehendak diterima amalnya. Bahkan, sering karena kita terlalu ingin mendapatkan rida Allah, lalu kita mempersetankan hak orang lain untuk menjadi hamba-Nya sesuai kemampuannya.
Tengoklah mereka yang karena ingin menghormati Ramadan, lalu ingin memaksakan para pemilik warung untuk menutup warung. Mereka lupa bahwa tidak semua orang muslim wajib melaksanakan puasa pada Ramadan. Di sana ada musafir-musafir yang diperkenankan tidak puasa dan perempuan-perempuan yang datang bulan yang malah tidak boleh berpuasa. Maraknya kehidupan beragama secara lahiriah seharusnya diikuti dengan maraknya spiritualitas kaum beragama secara batiniah. Dengan demikian, Ramadan tidak begitu saja berlalu sebagaimana momen-momen rutin lain yang tidak membekas.
Apalagi justru menjadikan kita hamba-hamba yang bangga diri terhadap kebesaran semu kita. Selamat berpuasa Ramadan!
Semoga Allah mengampuni kekurangan-kekurangan kita dan menerima amal ibadah kita. Amin.
KH Mustofa Bisri, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlotul
Sumber: Jawa Pos dotcom

Tidak ada komentar:

Pengikut

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia