Selama ini banyak di antara kita yang salah kaprah dalam memaknai frase ‘Idul Fitri’. Kata ‘Ied’diartikan ‘kembali’ dan kata kata ‘fitri’ karena dianggap berasal dari kata ‘FITHROH’ (dengan ha marbuthoh) yang artinya ‘asal’ atau ‘suci’ atau ‘bersih’. Jadi kata ‘Idul fitri’ diartikan ‘kembali ke asal kita yang bersih/suci’. Argumentasi fiqihnya, krna orang yang berpuasa oleh Allah dijanjikan akan diampuni seluruh dosa-dosanya, sehingga pada tanggal 1 syawal tsb dia ibarat bayi yang suci dari noda dan dosa.
Pemahaman yang semacam itu secara etimologi tidak tepat. Kata ‘fitri’ pada ‘Iedul Fitri’ bukan berasal dari ‘FITHROH’ tetapi dari kata ‘FITHR’ (fathoro-yafthuru-ifthor) yang artinya ‘berbuka’. Jadi frasa ‘Idul fitri’ artinya ‘kembali berbuka’. Maksudnya, kembali seorang yang tadinya berpuasa diperbolehkan melakukan makan-minum di pagi hari pada tanggal 1 Syawal tersebut atau tanda bhwa bln ramadhan tlh berakhir.
Karena salah satu sifat bahasa manasuka, kedua pemaknaan tersebut tentu saja sah dan boleh-boleh aja. Walaupun demikian, kalau direnungkan lebih dalam pemaknaan Idul Fitri versi pertama tersebut (kembali menjadi manusia yang suci) sesungguhnya sangat berat dan spekulatif. Betulkah puasa Ramadhan yang kita lakukan selama satu bulan tersebut diterima oleh Allah SWT, sehingga menggugurkan dosa2 kita dan mengantarkan kita menjadi manusia-manusia yang suci laksana seorang bayi? Padahal Rasulullah saw.menengarai melalui sabdanya, bahwa sungguh betapa banyak orang yang berpuasa –tetapi karena tidak dilakukan dengan keimanan dan perhitungan (ikhtisaban)—maka yang bakal dia peroleh hanyalah rasa lapar dan dahaga saja. Jadi persoalan diterima tidaknya amalan puasa ramadhan seorang hamba benar-benar hanya Allah saja yang mengetahuinya.
Atas dasar karena puasa ramadhan seseorang belum tentu diterima oleh Allah inilah, maka ucapan tahniah atau ucapan selamat yang diajarkan oleh rasulullah saat antarsesama muslim bersua di hari Iedul Fitri yakni ‘Taqobalallahu minna waminka (waminkum), waja’alana minal adin wal faizin”, yang artinya “Semoga Allah menerima amaliyah ramadhan saya dan ramdhan anda/kalian, dengan demikian kita akan menjadi orang yang kembali (kpd agama) dan orang yang berbahagia karena telah beroleh kemenangan”.
Sedangkan pada kebanyakan masyarakat kita tahniah Iedul Fitri minal aidin walfaizin= mohon maaf lahir batin. Selain penerjemahan seperti ini jelas ngawur juga frasa “mohon maaf lahir batin’ juga secara semantic sesungguhnya kabur. Apakah maaf lahir itu? Kata ‘lahir’ dalam bahasa Indonesia ini dipungut dari bahasa Arab ‘al-dhohiru’ yang artinya tampak wujudnya. Sedangkan kata ‘batin’ berasal dari kata ‘al-bathinu’, yang arttinya tidak tampak wujudnya. Jadi jika merunut arti semantiknya pernyataan ‘mohon maaf lahir dan batin’ berarti mohon maaf atas kesalahan yang tampak maupun yang tidak tampak. Benarkah demikian? ( Jadi diandaikan seolah-olah orang yang kita mintai maafnya itu peramal/ paranormal yang bisa memihat yang tampak dan yang tidakj tampak hehe…). Bukankah akan lebih pas jika kita memohon maaf itu atas kesalahan-kesalan yang disengaja atau yang mungkin tidak disengaja? Ini lebih manusiawi sekaligus rasional
Menurut saya boleh jadi akibat pemahaman-pemahan yang keliru inilah sesungguhnya pangkal mula mengapa ritual Idul Fitri dalam kantong memori umat Islam di negeri ini dan sekitarnya dipersepsi sebagai kegiatan budaya yang wajahnya seperti kita lihat saat ini; memunculkan terjadinya perpindahan manusia secara besar-besaran dari kota ke desa yang disebut mudik, tradisi sungkeman, tradisi halal bihalal dan sejenisnya.. Padahal andai saja pengartian Idul Fitri itu pada yang kedua , yakni ‘kembali berbuka’ mungkin persoalanya akan jauh lebih sederhana dan kedatangan hari raya Idul Fitri tidak harus menjadi perhelatan budaya kolosal seperti sekarang ini. Wallahu a’lam. (Kholid A.Harras)
Awas Kesalahan Penulisan
1. Minal ‘Aidin wal Faizin = Penulisan yang benar berdasarkan penulisan kaidah fonologis
2. Minal Aidin wal Faizin = Juga benar berdasarkan EYD
3. Minal Aidzin wal Faidzin = Salah, karena penulisan “dz” berarti huruf “dzal” dalam abjad arab
4. Minal Aizin wal Faizin = Salah, karena pada kata “Aizin” seharusnya memakai huruf “dal” atau dilambangkan huruf “d” bukan “z”
5. Minal Aidin wal Faidin = Juga salah, karena penulisan kata “Faidin”, seharusnya memakai huruf “za” atau dilambangkan dengan huruf “z” bukan “dz” atau “d”
Mengapa hal ini perlu diperhatikan? Karena kesalahan penulisan abjad juga berarti berimplikasi pada pemaknaan yang juga bisa salah. Seperti dalam bahasa inggris, antara Look dan Lock beda maknanya bukan? Padahal perbedaanya disebabkan oleh salah satu huruf saja..
Rabu, 16 September 2009
Sabtu, 12 September 2009
Doa di Penghujung Ramadhan
Ya Allah, sebentar lagi Ramadhanmu akan berakhir
Terima kasih atas kesempatan dan berbagai nikmat yang telah Engkau berikan
sehingga hamba dapat menjalankannya sesuai titah-Mu
Ya Allah, jika dalam pandanganMu puasa hamba tidak sempurna
maka sempurnakanlah
Jika hati dan panca indera hamba tidak ikut berpuasa dan menjalaninya kurang ikhlas mohon dimaafkan
Ya Allah, izinkan hamba medapatkan kesempatan lagi untuk bertemu
dengan ramadhanMu di tahun-tahun hadapan.
Namun jika ini akan menjadi Ramadhan yg terakhir bagi hamba,
jadikanlah amaliyah ramadhan ini sebagai sebaik2 amalan
untuk menjadi bekal hamba menjumpaiMu
dan Engkau berkenan menjadikan hamba kembali menjadi fitrah..
Amiiiiin
Terima kasih atas kesempatan dan berbagai nikmat yang telah Engkau berikan
sehingga hamba dapat menjalankannya sesuai titah-Mu
Ya Allah, jika dalam pandanganMu puasa hamba tidak sempurna
maka sempurnakanlah
Jika hati dan panca indera hamba tidak ikut berpuasa dan menjalaninya kurang ikhlas mohon dimaafkan
Ya Allah, izinkan hamba medapatkan kesempatan lagi untuk bertemu
dengan ramadhanMu di tahun-tahun hadapan.
Namun jika ini akan menjadi Ramadhan yg terakhir bagi hamba,
jadikanlah amaliyah ramadhan ini sebagai sebaik2 amalan
untuk menjadi bekal hamba menjumpaiMu
dan Engkau berkenan menjadikan hamba kembali menjadi fitrah..
Amiiiiin
Langganan:
Postingan (Atom)