Jumat, 17 Juni 2011

FAMILY LITERACY :
KIAT MENUMBUHKAN POTENSI DAN KEMAMPUAN
LITERASI ANAK-ANAK


Kholid A.Harras
FPBS, Universitas Pendidikan Indonesia

A. Kisah Anak-anak Indonesia dengan Kemampuan Literasi yang luar Biasa


Pada akhir tahun 2003, khazanah buku anak-anak kita ditandai oleh terbitnya buku-buku sastra anak buah karya dari anak-anak Indonesia (usia 6 sampai 12 tahun). Penerbitan buku-buku yang jenisnya berupa kumpulan cerita pendek, novel, puisi, illustrasi, komik, serta cerita-cerita yang diangkat dari kisah nyata tersebut dilakukan oleh DAR! Mizan yang merupakan salah satu devisi penerbit Mizan Bandung.
Setiap bulannya, DAR! Mizan menerbitkan buku-buku karya anak-anak yang mereka namakan “Kecil-kecil Punya Karya” (KKPK) tersebut, antara 4-5 judul, dengan tiras rata-rata 1.000-2.000 eksemplar per judulnya. Hingga April tahun 2010 ini, DAR! Mizan telah berhasil menerbitkan 120 judul karya 75 penulis belia kita.
Menurut Dadan Ramadhan Editor buku Mizan seri Kecil-kecil Punya Karya, pasca sukses serial KKPK. Konon setiap minggu DAR! Mizan menerima hampir seratusan naskah buku karya anak-anak yang datang dari berbagai daerah di tanah air (www.mizan.com/v2/index.php?fuseaction=news_det&id=26-).

Fakta bermunculannya anak-anak Indonesia yang memiliki kemampuan literasi (baca-tulis) yang sangat membanggakan sebagaimana dibuktikan lewat penerbitan buku-buku bacaan anak serial KKPK tersebut, sungguh telah menjadi novum yang tak terbantahkan bahwasanya kemampuan literasi anak-anak Indonesia saat ini tidak seburuk sebagaimana yang disimpulkan dalam berbagai penelitian lembaga-lembaga asing, yang kemudian diamninkan dan dikutipi tanpa sikap kritis oleh sejumlah pengamat dan peneliti kita (periksa laporan PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) tahun 2001, IEA (International Asociation for the Evaluation of Educationig Achevment) tahun 2006); sedangkan pada tataran anak SMP dan SMA (periksa laporan penelitian PISA (Programme for International Student Assesment) tahun 2000, tahun 2003, dan tahun 2006). Dengan perkataan lain, fenomena penerbitan buku-buku bacaan serial KKPK tersebut memberikan jawaban bahwasanya “stigmatisasi” bahwasanya anak-anak Indonesia kurang piawai menghasilkan karya tulis sudah saatnya dievalusi kembali.

Meskipun demikian, jika dihubungankan dengan dunia pendidikan formal atau atau persekolahan, kehebatan literasi anak-anak KKPK tersebut --sayangnya-- bukan merupakan akibat dari hasil kerja keras lembaga-lembaga persekolahan kita. Berdasarkan penelusuran dan kajian penulis terhadap karya dan proses kreatif kepenulisan sejumlah penulis anak-anak tersebut, potensi dan kemampuan literasi mereka tumbuh dengan baik sebagai dampak dari pendidikan literasi keluarga (family literacy) yang mereka alami.

Sebagaimana gambaran mari kita perhatikan bagaimana proses kreatif Ramya (8 tahun) dan Putri Salsa (9 tahun); dua orang anak penulis cerpen yang cukup produktif. Proses kreatif Ramya, sebagaimana dikatakan Marcapada Sukardi (ayah) dan Gitawati Setianingrum (ibu) pada Kata Pengantar buku karya Ramya Dunia Es Krim (DAR! Mizan, 2008: 7-15), faktor pendorongnya akibat dari kebiasaan putrinya mendengarkan berbagai cerita yang dibacakan oleh keduanya. Sejak masih balita dan masih belum bisa membaca putrinya itu sangat gemar membolak-balikan halaman buku dan mengamati gambar serta tulisan dengan saksama. Ramya juga konon suka “mendalang” bersandiwara sendiri dengan tokoh-tokoh hayalannya dengan menggunakan alat-alat peraga yang berada di sekitarnya, entah selembar sapu tangan atau setangkai kembang ilalang. Menurut orang tuanya, saking hobinya Ramya “mengobrol”, di sekolah Ramya kerap mendapat teguran dari gurunya . Kemudian pada usia 6 tahun Ramya sudah bisa menulis. Sejak itu Ramya rajin menulis diary. Dia menulis pengalaman sehari-harinya secara sederhana pada diary-nya dalam sebaris atau dua baris kalimat. Kemudian lambat laut Ramya menuliskanya dalamn beberapa kalimat dan menjadi karangan yang panjang. Dari satu halaman menjadi dua halaman dan selanjutnya.
Sedangkan proses kreatif Putri Salsa (9 tahun), sebagaimana yang dituliskan oleh Asma Nadia, bunda Putri Salsa, pada pengantar buku “My Candy”(DAR! Mizan, 2008:11-17), Putri Salsa mulai menulis saat usianya mendekati tujuh tahun. Syahdan salah satu faktor pendorong putri sulungnya ini ingin menulis antara lain setelah menyaksikan sepupunya, Abdurahman Faiz, meluncurkan buku kumpulan puisi pertamanya (Untuk Bunda dan Dunia).

Peristiwa tersebut rupanya membuat Putri Salsa sangat terobsesi untuk juga menjadi penulis dan menerbitkan buku. Hal itu terang-terangan ia ungkapkan kepada bundanya, “Karena Mas Faiz menulis. Caca (Salsa-pen) sama-sama makan nasi. Jadi Caca pasti juga bisa menulis, asalkan Caca mau, Bunda!” (2008:11). Setelah itu menurut Asma Nadia, ia mulai rajin menemani putrinya menulis (mengetik di komputer). Biasanya Putri Salsa menulis di pangkuanya. Kadang-kadang kalau putrinya itu lelah dia mendiktekanya kepada dirinya, laiknya dirinya sekretarisnya. Putrinya kerap kali melakukan aktivitas menulis sambil bermain, melompat-lompat, berputar-putar atau sambil menggoda adiknya. Demikian perjalanan awal putrinya menulis . Saat menulis putrinya itu harus selalu ditemani oleh dirinya dan proses menulisnya lebih banyak dilakukan sambil bermain-main, hingga buku pertamnaya Dunia Caca diterbitkan oleh DAR!Mizan (2004).

Seiring perjalanan waktu, gadis kecilnya mulai mandiri saat menulis. Dia sudah mulai mengetik sendiri halaman-halaman ceritanya tanpa bantuan bundanya. Di samping itu sesekali putrinya mengajak mendiskusikan jalan cerita yang sudah ada di kepala putrinya itu, meminta pendapatnya. Saat putrinya kehabisan ide, Asma Nadia kerap berperan sebagai pemancing ide kreatifnya atau memberikan buku-buku cerita dari penulis lain.Sepertti yang dituliskan oleh Asma Nadia, bunda Putri Salsa, pada pengantar buku My Candy (DAR! Mizan, 2008:11-17) Putri Salsa mulai menulis saat usianya mendekati tujuh tahun. Syahdan salah satu faktor pendorong putri sulungnya ini ingin menulis antara lain setelah menyaksikan sepupunya, Abdurahman Faiz, meluncurkan buku kumpulan puisi pertamanya. Peristiwa tersebut rupanya membuat Putri Salsa sangat terobsesi untuk juga menjadi penulis dan menerbitkan buku. Hal itu terang-terangan ia ungkapkan kepada bundanya, “Karena Mas Faiz menulis. Caca (Salsa-pen) sama-sama makan nasi. Jadi Caca pasti juga bisa menulis, asalkan Caca mau, Bunda!” (2008:11).

Berdasarkan uraian proses kreatif dari keempat penulis anak- anak di atas, kiranya dapat dikumukakan hal-hal sebagai berikut. Pertama, para penulis anak-anak tersebut semuanya berasal dari keluarga yang terpelajar (well educated) sekaligus keluarga yang memiliki budaya literasi (baca-tulis) yang kokoh. Kondisi keluarga yang seperti itu telah membawa anak-anak tersebut, dari sejak dini telah berkenalan dengan budaya membaca dan menulis, sebelum secara teknis mereka bisa melakukannya. Mereka telah dibacakan buku-buku cerita oleh orang tuanya serta difasilitasi menggambar benda-benda sebagai manifestasi ekspresi dirinya.

Seperti Ramya, menurut pengakuan orang tuanya, karena di rumah mereka tersedia banyak buku, maka sejak masih balita dan masih belum bisa membaca putrinya itu sangat gemar membolak-balikan halaman buku dan mengamati gambar serta tulisan dengan saksama. Dari situ kemudian Ramya mulai bisa mengekspresikan idea tau imajinasinya lewat gambar-gambar yang dibuatnya. Begitu pula halnya dengan Sri Izzati, penulis novel yang sangat produktif yang kini mulai memasuki usia remaja ini menurut penuturan orang tuanya, sudah dikenalkan dengan buku konon sejak ia masih bayi.
Perkenalan dan pergaulan anak-anak dengan aktivitas literat pada usia dini seperti itu pada akhirnya telah menjadikan kedua kegiatan tersebut sebagai kebiasaan sekaligus kegemaran. Dari buku-buku yang mereka baca dan atau dibacakan oleh orang tua mereka, pelan tapi pasti, jiwa, pikiran, serta imajinasi mereka mendapatkan asupan aneka muatan nilai-nilai edukatif yang sangat berharga dan mereka butuhkan, seperti bahasa, moral, sosial, serta kepribadian. Selain itu hal itu juga berperan besar dalam melejitkan daya khayali atau imajinasi mereka. Kemudian yang sangat penting ialah, seperti diakui oleh para orang tua anak-anak tersebut, kebiasaan membaca dan atau dibacakan buku sangat berpengaruh besar dalam menumbuhkembangkan potensi menulis anak-anaknya.

Fakta di atas kiranya semakin meneguhkan teori yang hingga saat ini diyakini oleh para pendidikan pakar literasi, bahwasnya membaca dan menulis bak dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan serta berbaku-peran dalam hal mencapai kemahirannya. Dengan membaca, bukan hanya akan wawasan seseorang akan semakin berkembang, tepai juga, sebagaimana dikemukakan Jordan E. Ayan (Hernowo 2003: 37), bahwa membaca juga dapat memicu kreativitas. Buku mengajak kita membayangkan dunia beserta isinya, lengkap dengan segala kejadian, lokasi, dan karakter. Tiap buku yang melekat dalam pikiran, membangun sebuah bentang ide dan perasaan yang menjadi dasar dari ide kreatif. Padahal salah satu faktor yang mendorong agar anak mempunyai minat menulis ialah kebiasaan membacanya.

Alasan lainnya, sebagaimana ditunjukkan oleh hasil riset Prof. Benyamin Bloom yang mengungkapkan bahwasanya saat anak-anak berada pada masa Balita mereka tengah berada pada periode suka meniru perbuatan orang tuanya tanpa terkecuali. Apapun yang dilakukan oleh orang tuanya sangat potensial untuk ditiru oleh anak-anak. Dengan demikian jika orang tua suka membaca, anak juga akan melakukan hal yang sama. Oleh karena itu sebagaimana disarankan oleh pakar pendidikan anak, sedari kecil, anak-anak perlu didekatkan pada bacaan supaya kelak mereka bisa menghasilkan tulisan.

Kedua, kemampuan menulis anak-anak tersebut diperoleh tidak secara tiba-tiba, tetapi setelah melalui proses latihan yang cukup panjang. Kemampuan bercerita Ramya misalnya, pada awalnya karena ia masih belum bisa menuangkannya secara tertulis tetapi disampaikan secara lisan (didongengkan). Baru setelah Ramya bisa membaca huruf-huruf, lantas ia tuangkan secara tertulis.

Kenyataan tersebut selaras dengan teori yang juga dikemukan oleh para pakar literasi, bahwasanya menulis merupakan sebuah proses. Kemampuan tersebut diperoleh secara bertahap, sedikit demi sedikit. Kualitas kemampuan menulis seseorang, baik yang menyangkut teknis redaksional maupun kedalaman isinya akan berbanding lurus dengan kuantitas latihan yang dilakukannya. Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat Gary Provost sebagaimana dikutip Hernowo (2002:11), bahwasanya yng dibutuhkan dari seorang penulis adalah 10% bakat, sisanya 90% adalah kemauan dan latihan.
Sehubungan hal tersebut para orang tua hendaknya menyadari bahwasanya setiap anak pada dasarnya mempunyai potensi untuk bisa menulis. Anak-anak juga memiliki imajinasi yang luar biasa pada otaknya. Untuk menumbuhkan potensi menulis anak-anaknya yang perlu dilakukan oleh para orang tua adalah menyediakan berbagai fasilitas. Seperti, alat tulis, computer, serta buku-buku bacaan yang baik dan sesuai dengan usia mereka.

Ketiga, proses menulis anak-anak tersebut acap kali dilakukan sambil bermain (learning by doing). Hal tersebut misalnya dialami pada proses menulis Putri Salsa. Menurut penuturan ibunya, hingga buku pertamnaya Dunia Caca diterbitkan oleh DAR!Mizan (2004), Putri Salsa lebih banyak dilakukan sambil bermain-main. Dia kerap kali melakukan aktivitas menulis sambil melompat-lompat, berputar-putar atau sambil menggoda adiknya. Seringkali pula ia menulis sambil duduk di pangkuan ibunya.
Sehubungan hal tersebut maka para orang tua dan guru dalam membantu menumbuhkembangkan potensi menulis anaknya-anaknya, perlu memahami dan lebih dekat kepada “dunia” anak-anak mereka. Selain itu para orang tua juga harus melakukan pembimbingan dengan penuh kesabaran, ketelatenan, serta dengan lebih mengedepankan belajar sambil bermain.

Keempat, dalam meniti dan mengasah kemampuan menulisnya anak-anak tidak jarang sangat dipengaruhi oleh faktor moody mereka. Seperti dituturkan Asma Nadia, pada awal-awal tahun proses kepenulisannya, faktor moody sangat mempengaruhi putrinya. Saat sedang mood-nya naik, tanpa disuruh Putri Salsa bisa menulis berlembar-lembar halaman, namun saat mood-nya buruk, berhari-hari, bahkan berminggu-minggu dia tidak menulis selembar pun.

Sehubungan hal tersebut, maka dibutuhkan juga kesediaan orang tua untuk menjadi “teman” sekaligus motivator untuk memancing atau membangkitkan kembali semangat menulis anak-anaknya. Bila perlu dengan menyuntikkan berbagai “reward” atau hadiah yang mendidik kepada mereka. Jurus semacam itu tampaknya cukup berhasil.


B.Ihwal Family Literacy


Secara sederhana, literasi (literacy) dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis, atau kadang disebut juga dengan istilah ‘melek aksara’ atau keberaksaraan. Namun saat ini literasi juga kerap diartikan secara lebih luas, sehingga Literasi jauh lebih dari yang mampu membaca dan menulis. Literasi memungkinkan orang untuk membaca dunia bukan hanya kata. Ini melibatkan penggunaan berbagai bentuk komunikasi yang memberikan kita kesempatan lebih lanjut dalam masyarakat kita - untuk diri kita, keluarga kita, dan masyarakat kita.

Literasi membantu kita memahami dunia kita tinggal masuk Hal ini juga membantu kita memahami diri kita sendiri dan mengungkapkan identitas kita, ide-ide kita dan budaya kita. Dengan perkataan lain literasi bukan lagi bermakna tunggal melainkan mengandung beragam arti (multi literacies). Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Seseorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya.

Terbentuknya generasi yang literat merupakan sebuah keniscayaan, agar bangsa kita bisa bangkit dari keterpurukan bahkan bersaing dan hidup sejajar dengan bangsa lain. Atau menurut Seto Mulyadi (Annida online, Selasa, 30 Juni 2009), kesadaran literasi itu penting untuk ditumbuhkembangkan, karena bisa membuat anak-anak kita menjadi cerdas dalam melihat masalah dalam kehidupannya. Orang-orang yang memahami masalah secara otomatis mampu mencarikan solusi atas masalah-masalah tersebut. Anak-anak yang cerdas akan membuat bangsa kita maju.

Para pakar pendidikan sepakat bahwa tingkat literasi yang rendah berkaitan erat dengan tingginya tingkat drop-out sekolah, kemiskinan, dan pengangguran. Ketiga kriteria tersebut adalah sebagian dari indikator rendahnya indeks pembangunan manusia. Menciptakan generasi literat merupakan jembatan menuju masyarakat makmur yang kritis dan peduli. Kritis terhadap segala informasi yang diterima sehingga tidak bereaksi secara emosional dan peduli terhadap lingkungan sekitar.

Dalam buku Hand Book of Family Literacy (2008:5) literasi keluarga (family literacy) merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Danny Taylor (1983) sebagai program mengajarkan kemampuan literasi (baca-tulis-pen) dengan menggunakan hubungan keluarga peserta didikdan keterlibatan mereka dalam praktek literasi di dalam masing-masing keluarga (family literacy programs to teach literacy that acknowledge and make use of learner's family relationships and engagements in family literacy practices).

Alasan munculnya gagasan tersebut antara lain, walaupun kemampuan literasi itu memegang peranan penting namun faktanya banyak sekali anak-anak AS yang belum memilikinya, apalagi menjadikannya sebagai kebiasaan (habit). Sebagai gambaran, pada tahun 1995, seperempat (atau sekira 300.000 orang) dari pemuda dan orang dewasa penduduk negara bagian Nevada masih buta huruf. Mereka tidak mampu membaca atau menulis secara memadai untuk melakukan tugas-tugas sederhana keseharian mereka, seperti mengisi aplikasi pekerjaan atau membaca koran. (http://www.aflo.on.literacy.ca/famlit/models.htm).

Alasan lainnya menurut Taylor, yakni bahwasanya untuk menumbuhkembangkan kemampuan literasi pada anak merupakan persoalan yang cukup kompleks, karena berhubungan dengan sejumlah faktor, seperti status sosial,ekonomi, bahasa, serta faktor-faktor budaya lainnya. Oleh karena itu menurut Taylor, perhatian program pendidikan literasi seharusnya tidak hanya bertumpu pada sekolah formal, tetapi juga harus melibatkan sumber daya keluarga, seperti mempertimbangkan bahasa dan budaya literasi masing-masing keluarga.

Tentang hubungan antara program pendidikan literasi keluarga dengan pendidikan yang berlangsung di sekolah, secara tamsil Taylor (1997: 2)menggambarkannya --dalam sejumlah kasus tentu saja-- justru secara paradoksal. Taylor mengatakan, "Benih-benih kegagalan pengajaran literasi di sekolah justru mulai ditanamnya di rumah-rumah setiap keluarga, dan dalam banyak kasus sekolah menjadi cukup kesulitan untuk mencabutnya.

Keluarga dalam segala kelebihannya merupakan ruang praksis sekaligus kunci penting dalam konteks perolehan dan penumbuhan kemampuan serta menanamkan tradisi literasi kepada anak-anak. Ruang praksis dimaksud yakni kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas bahasa lisan, aktivitas berhitung, membaca dan menulis, pengenalan atau pengenalan ilmu dan penggunaan teknologi tepat guna lainnya.Lebih lanjut Taylor mengatakan bahwa penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua pada program pendidikan literasianak-anaknya pada semua tahapan memiliki dampak positif padaanak kemampuan akademis anak-anak tersebut.

LiterasiKeluarga (Family literacy) adalah tentang uapaya yang dilakukan oleh keluarga menggunakan aktivitas literasi dan bahasa dalam kehidupan sehari-hari mereka. Literasi keluarga adalah tentang bagaimana suatu keluarga belajar, menggunakan aktivitas baca-tulis untuk melakukan tugas-tugas sehari-hari mereka, membantu anak-anak mengembangkan kemampuan baca-tulisnya, menggunakan aktivitas literasi untuk menjaga hubungan dengan satu sama lain dan dengan masyarakat, serta bagaimana meningkatkan kemampuan seseorang untuk berinteraksi, baik dengan organisasi dan institusi

Program literasi Keluarga mempromosikan kerjasama masyarakat untuk memberikan sistem pelayanan yang fleksibel dan mudah diakses di bidang literasi untuk keluarga dengan anak-anaknya. Program literasi Keluarga memberikan kesempatan berarti bagi anak-anak, orang tua mereka, anggota keluarga lainnya dan pengasuh untuk belajar dan tumbuh bersama. Menurut Taylor, program program pendidikan literasi keluarga akan membantu para orang tua dan wali murid dapat memahami dan mengembangkan peran mereka terhadap anak-anak mereka sebagai pendidik pertama, meningkatkan kemampuan dan kepercayaan mereka, serta dukungan bahasa dan keaksaraan belajar dan menemukan lebih banyak tentang bagaimana anak-anak dan orang dewasa belajar.

Secara lebih rinci program literasi keluarga bertujuan untuk membantu membangun rasa percaya diri, khususnya para orang tua maupun anak-anak meningkatkan potensi dan kemampuan literasi mereka sehingga mereka menuai keberhasilan di sekolah, menawarkan pengembangan lebih hubungan yang lebih dekat dan lebih kuat dalam keluarga, , membantu mempersiapkan anak-anak untuk sekolah, membantu keluarga memahami sistem sekolah dan peran mereka di dalamnya, serta menjaga dan melestarikan nilai-nilai luhur budaya keluarga lewat penggunaan literasi pada bahasa pertama. (http://www.aflo.on.literacy.ca/famlit/models.htm).

Menurut Lamb et al dalam bukunya yang berjudul At home with literacy: A study of family literacy practices (National Adult Literacy Agency, 2010: 5), secara ringkas, program program pendidikan literasi keluarga yakni sebagai berikut : (1) mempromosikan keluarga sebagai lingkungan belajar; (2) membangun budaya rumah dan pengalaman;(3) mendorong pembelajaran partisipatif; (4) mempromosikan pembelajaran sebagai perubahan dalam atau penegasan keterampilan, sikap dan pengetahuan; (5) mempromosikan hubungan keluarga sebagai pendukung kesejahteraan dan kesiapan untuk belajar; serta (6) mempromosikan budaya aspirasi pada orang dewasa dan anak-anak, dan memberikan kesempatan dan membangun kepercayaan diri untuk mencoba keterampilan dan ide-ide baru.

Menurut Adele Thomas, Ph.D dari Faculty of Education, Brock University, Ontario, Canada, pada situs http://www.aflo.on.literacy.ca/famlit/models.htm, hingga setakat ini sedikitnya terdapat sejumlah prototipe atau framework program literasi keluarga telah dikembangkan di sejumlah negara, khususnya di AS dan Canada. Antara lain Books for Babies, Book Mates, Centre for Expertise in Family Literacy, Come Read With Me, From Lullabies to Literacy, Home-Based Family Literacy: Parents As Teachers, Parent-Child Mother Goose Program, Parents' Roles Interacting with Teacher Support (PRINTS), Reading and Parents Program (RAPP)

Sebuah program literasi keluarga seyogyanya memiliki kriteria sebagai berikut: dikonseptualisasikan untuk memenuhi kebutuhan dan keprihatinan keluarga terhadap masalah-masalah pengembangan literasi anak-anak; berisi komponen pendidikan yang secara formal maupun informal yang mempengaruhi perkembangan literasi anak; berisi komponen pendidikan bagi orang dewasa, baik menyediakan kegiatan literasi dan pendidikan yang memungkinkan mereka mencapai kemahiran keterampilan literasi dasar; serta kegiatan-kegiatan yang berfokus pada pertukaran pengetahuan dan informasi antara orang dewasa dan anak-anak.

Jenis-jenis program literasi keluarga bervariasi, tergantung pada kebutuhan masyarakat. Beberapa di antaranya merupakan program kecil dan berbasis kelompok kecil masyarakat, sementara yang lain lebih besar lagi. Program-programnya diorientasikan untuk pengaturan pendidikan anak-anak keluarga mereka. Selain itu, programnya bisa juga ditunjukkan untuk memberikan dukungan di luar tujuan literasi dasar. Misalnya, untuk membantu pemahaman anak terhadap mata pelajaran-mata pelajaran untuk persiapan UN atau masuk PT. Apapun jenis programnya, upaya proaktif dari seluruh anggota keluaga ini merupakan elemen kunci dari suksesnya program literasi keluarga.


PUSTAKA RUJUKAN

Hannon Pater and Viv Bird.2008.”Family Literacy in England: Theory, Practice,
Research and Policy” dalam Hand Book of Family Literacy Tylorand Frances.
e-library

Muakhir, Ali. 2006. “Kecil-Kecil Punya Karya”, dalam Matabaca Vol.4/No.7/Maret 2006. Hlm. 11.

Mulyadi.Seto "Kecerdasan Literasi Anak Tanggung Jawab Orang Tua" (Annida online, Selasa, 30 Juni 2009

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak : Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Norton. Donna, 1993. Through the Eyes of a Child: An Introduction to Children Literature. Boston

Olson, David and Nancy Torrance.1991 Literacy and Orality.Cambridge University

Olson, David et all. 1985 Literacy, Language and Learning: The Nature and Concequences of Reading and Writing Cambridge University
Sarumpaet. Riris K. 2010 Pedoman Penelitian Sastra Anak. Jakarta: Balai Pustaka

Suyatno. 2009. Struktur Narasi Novel Karya Anak. Surabaya: Jaring Pena


Stewig, John, Warren, 1980.Children and Literature. Chicago: Rand College Publishing

Wasik.Barbara Hanna.2008 Hand Book of Family Literacy Tylorand Frances.e-library

Situs internet:
http://www.aflo.on.literacy.ca/famlit/models.htm.
http://www.joe.org/joe/2001august/iw2.php.
http://www.ruangbaca.com/berita_buku/?action=b3Blbg==&linkto=NDM=&when=MjAwNTEyMDU=.

Tidak ada komentar:

Pengikut

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia