Jumat, 14 Mei 2010

KONSEP KESANTUNAN BERBAHASA MENURUT Al-QURAN

KONSEP KESANTUNAN BERBAHASA
MENURUT Al-QURAN

Kholid A.Harras *)

Seperti kita mafhumi, fungsi bahasa bagi manusia bukan hanya sebatas alat penyampai pesan semata. Bahasa juga merupakan alat berfikir, alat bernalar, alat berasa, dan bahkan alat berbudaya. Hal itu berarti terkandung makna, bahasa yang digunakan oleh seseorang sesungguhnya dapat dijadikan sebagai parameter untuk mengukur sejauh mana tingkat kecendikiaan dan tingkat keberadaban dari orang tersebut.

Dalam tradisi Melayu hal yang semacam itu diwadahi lewat sebuah ungkapan yang sudah sangat masyhur, yakni ”Bahasa menunjukkan bangsa”. Jadi dalam bahasa Melayu dan juga bahasa-bahasa di Nusantara lainnya, cakupan medan semantik yang terkandung dari kata bahasa atau basa (dalam bahasa Sunda) atau boso (dalam bahasa Jawa) tidak sama persis dengan kata language dalam bahasa Inggris. Cakupan medan semantik dari kata bahasa mengandung makna bahasa yang sesuai dengan prinsip-prinsip penggunaannya (the proper conduct of language usage), baik berdasarkan kaidah kebenaran (correctness) maupun kecocokannya (appropriacy).

Dalam masyarakat Jawa dan Sunda misalnya, ada ungkapan Ora mboso atau Teu basa yang ditunjukkan terhadap orang yang menggunakan kedua bahasa tersebut tetapi mengabaikan prinsip-prinsip pengunaannya. Misalnya, dia menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Sunda tetapi tidak sesuai dengan konteks undak-usuknya, atau yang bersangkutan menggunakan kosa kata yang tidak tepat atau kasar.

Begitu pula halnya dengan kata bangsa, dalam tradisi Melayu rujukan medan semantiknya tidak sama dengan kata nation dalam bahasa Inggris. Kata “bangsa” mengandung makna status atau derajat sosial yang terhormat. Oleh karena itu dalam bahasa Melayu dikenal ungkapan “Orang yang berbangsa” atau kata bangsawan, yang mengandung pengertian seseorang yang memiliki status, derajat, atau kedudukan yang terhormat.

Akhir-akhir ini banyak kalangan yang memprihatinkan mulai terkikisnya pilar-pilar keluhuran budaya bangsa ini pada berbagai level masyarakat kita (yang antara lain dicirikan dari kepiawaian dalam menggunakan bahasa tersebut). Misalnya, banyak orang di negeri ini yang secara formal-akademik merupakan golongan terpelajar, tetapi dalam praktik berbahasa mereka tidak mampu menunjukkan keterpelajarannya.

Contoh yang cukup mudah untuk melacak mengenai ihwal ini dapat dilihat dari bahasa tulis yang mereka gunakan pada berbagai karya ilmiah yang mereka hasilkan, baik skripsi, tesis maupun disertasi. Banyak hasil penelitian mengenai hal itu menunjukkan fakta yang sangat memprihatinkan tersebut. Misalnya struktur kalimat yang mereka susun tidak beraturan, logika bahasanya tidak runut, pilihan kosakatanya tidak tepat, penggunaanan ejaannya yang tidak sesuai dengan kaidah yang sudah ditetapkan dan seterusnya.

Begitu pula banyak orang yang memiliki status sosial serta derajat yang terhormat di dalam masyarakat negeri ini, tetapi dalam berkomunikasi mereka tidak mampu menujukkan kehormatan dirinya. Contoh yang paling aktual mengenai ihwal ini antara lain berbagai kerincuhan yang setakat ini sering dipertontonton para elit politik kita saat mereka menggelar berbagai persidangan di gedung DPR/MPR. Dalam banyak kasus ternyata pemicu terjadinya berbagai kericuhan di antara mereka tersebut bukan karena persoalan substansinya yang memang cukup krusial, tetapi lebih dikarenakan akibat mereka tidak tertib dalam menggunakan bahasa serta kurang piawai dalam beretorika.

Konsep Santun Menurut Al-Quran

Sebagai agama yang sempurna ajaran Islam mengajarkan kepada kita para pemeluknya mengenai kesantunan berbahasa ini. Menurut Al-Quran ada enam acuan yang seyogianya dijadikan pegangan saat seorang muslim berkomunikasi dengan sesamanya. Enam prinsip tersebut sebagai berikut.

Pertama, qaulan sadida (Q.S. 4 an-Nisa: 9), yaitu berkomunikasi, baik yang menyangkut substansi maupun medium bahasa yang digunakannya dengan benar. Kedua, qaulan ma'rufa, (Q.S.4 An-Nisa: 8), yaitu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang menyedapkan hati, tidak menyinggung atau menyakiti perasaan mitra tutur, sesuai dengan kriteria kebenaran, kejujuran, tidak mengandung kebohongan, dan tidak berpura-pura.

Ketiga, qaulan baligha, (Q.S. 4 An-Nisa: 63), yaitu berkomunikasi dengan menggunakan ungkapan yang mengena, mencapai sasaran dan tujuan, atau membekas, bicaranya jelas, terang, tepat, atau efektif.Keempat, qaulan maysura, (Q.S.17 Al-Isra: 28), yaitu berkomunikasi dengan baik dan pantas, agar orang tidak kecewa.

Kelima, qaulan karima, (Q.S. 17 Al-Isra: 23), yaitu berkomunikasi dengan menggunakan kata-kata mulia yang menyiratkan kata yang isi, pesan, cara serta tujuannya selalu baik, terpuji, penuh hormat, mencerminkan akhlak terpuji dan mulia. Kemudian keenam, qaulan layyina, (Q.S. 20 Thaha: 44), yaitu berkomunikasi dengan sikap yang lemah-lembut.

Enam prinsip yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Quran di atas, selain menunjukkan keagungan Allah, juga merupakan acuan untuk mengetahui bagaimana kita seharusnya melakukan trasanksi berkomunikasi. Jika enam prinsip berbahasa tersebut diterapkan secara konsisten, insya Allah setiap trasaksi komunikasi antarmanusia di mana saja dan kapan saja akan senantiasa berjalan dengan baik, serta pada gilirannya akan membuahkan ketentraman. Hal itu sesuai dengan apa yang diisyaratkan Nabi lewat ungkapannya, "Muslim yang baik adalah jika Muslim lain merasa tenteram dari perkataan dan perbuatannya" (As-Suyuti, 1983). Dan jika ternyata kita belum (tidak?) mampu menggunakan bahasa yang semacam itu, bersikap diam itu jauh lebih baik. Demikian kata sebuah hadist Nabi pula.

Wawallahu a’lam bishawab ***

Tidak ada komentar:

Pengikut

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia