Senin, 23 Maret 2009

KOMPAS JABAR, Kamis, 23 Maret 2006

Mengatasi Krisis Air Bersih di Wilayah Bandung

Ironis, tidak masuk akal jika diberitakan masyarakat di wilayah Bandung (Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan Cimahi) mengalami krisis air bersih. Alam yang mengitari wilayah ini tingkat curah hujannya tinggi, sekitar 2.000 mm/tahun. Selain itu, wilayah ini berupa cekungan yang memiliki banyak sungai.

Namun, fakta menunjukkan hampir sepanjang tahun masyarakat didera krisis air bersih. Seperti masyarakat perkotaan lainnya, andalan utama sebagian besar masyarakat Kota Bandung untuk mendapatkan air bersih sehari-hari berasal dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Sejak zaman kolonial Belanda hingga pertengahan tahun 1970-an, PDAM Kota Bandung mampu memenuhi seluruh kebutuhan air bersih warga kotanya. Bahkan, pasokan air bersih dari PDAM dapat dinikmati hampir semua warga kota terus-menerus selama 24 jam.

Namun, masa-masa indah itu tinggal kenangan. Seiring semakin tingginya tingkat pertumbuhan penduduk serta pesatnya perluasan kota, PDAM Kota Bandung kini hanya mampu melayani 53 persen saja dari kebutuhan air bersih penduduknya. Itu pun dengan kualitas pelayanan yang jauh dari memadai.

Penyebab ketidakmampuan PDAM Kota Bandung memenuhi kebutuhan air bersih warganya adalah penurunan debit air baku ke bak-bak penampungan dan pengolahan air PDAM yang hanya sekitar 2.200 liter/detik saja. Dari sejumlah sumur bor artesis 5-30 liter/detik. Rendahnya kontribusi dari sumur-sumur bor artesis yang dimiliki PDAM karena jumlahnya yang terus menerus menurun.

Upaya penyelamatan

Untuk mengatasi masalah air bersih itu, para pengambil kebijakan di wilayah Bandung harus membuat tata aturan dan perangkat hukumnya (rule of law), kemudian menegakkan aturan main yang sudah ada yang berkait, baik langsung maupun tidak langsung dengan persoalan sumber daya air.

Misalnya, perda yang telah dikeluarkan oleh Pemkot Bandung menyebutkan maksimal 60 persen dari lahan yang ada boleh didirikan bangunan, sedangkan sisanya 40 persen harus dibiarkan menjadi ruang terbuka supaya masih ada lahan untuk penghijauan dan tempat air meresap ke dalam tanah. Aturan ini harus diterapkan konsisten.

Begitu pula masing-masing pemkot yang ada di wilayah Bandung juga harus melakukan tindakan hukum yang tegas kepada yang melanggar perda mengenai peruntukan ruang terbuka hijau (RTH), yang terdapat di wilayahnya masing-masing.

Hal yang sama juga dikenakan kepada pelanggar Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 63/1993, yang mengatur sempadan sungai di perkotaan selebar 15- 20 meter, serta kepada pelaku industri yang melanggar perda yang mengatur proses pembuangan limbah industri. Masyarakat yang seenaknya membuang limah ke sungai pun harus ditindak tegas.

Sekarang ini pemanfaatan maupun pengamanan sumber daya air di berbagai daerah kerap kali masih dilihat secara administratif. Belum tercipta sebuah kebijakan yang koordinatif, dan lintas sektoral. Bahkan dengan berlakunya otonomi daerah, daerah seolah berlomba- lomba mengelola sumber daya air semata-mata sebagai potensi mengeruk pendapatan asli daerah (PAD).

Kerja sama antarinstansi atau antarsektor dalam menangani persoalan sumber daya air masih dilakukansendiri-sendiri. Misalnya, air sungai ditangani Departemen Kimpraswil atau Pekerjaan Umum, air tanah ditangani Biro Tata Lingkungan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal), air minum oleh PDAM, sedangkan daerah aliran sungai dikelola Departemen Kehutanan. Antar- sesama mereka seolah tidak mau tahu, dan memunculkan egonya masing-masing.

Upaya-upaya lain yang perlu dilakukan dalam menyelamatkan krisis air bersih di Kota Bandung adalah segera merealisasikan gerakan hemat air (GHA), yang selama ini lebih banyak diperlakukan sekadar slogan. GHA telah dicanangkan sejak Oktober 1994, namun hingga kini hanya sekadar wacana. Untuk merealisasikannya dibutuhkan keteladanan, termasuk dari jajaran pejabat maupun para stakeholder Kota Bandung. Selain itu, yang juga perlu dilakukan dalam merealisasikan GHA adalah melibatkan secara pro-aktif dunia pendidikan, dari tingkat terendah hingga tertinggi, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Hal ini sangat penting.

Berdasarkan pencatatan penduduk tahun 2000, jumlah penduduk Bandung yang saat ini berusia 5-24 tahun tercatat 746.073 jiwa, atau sekitar 39,1 persen dari total penduduk ibu kota Provinsi Jawa Barat ini. Hampir setengah dari penduduk Kota Bandung saat ini berstatus pelajar atau mahasiswa.

Jika pembudayaan GHA diterapkan secara sungguh-sungguh di semua lapisan jenjang pendidikan, budaya perilaku GHA diharapkan juga akan menjadi tradisi dari para peserta didik saat mereka dewasa.

KHOLID A HARRAS Staf Pengajar FPBS Universitas Pendidikan Indonesia

Tidak ada komentar:

Pengikut

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia