Renungan
MELEPAS KEPERGIAN RAMADHAN
Berbeda dengan kebanyakan kita yang pada umumnya merasa gembira serta menampakkan wajah sumringah saat menghadapi hari-hari terakhir Ramadhan, syahdan apa yang diperlihatkan oleh para sahabat Rasulullah justru sebaliknya. Di saat-saat semacam itu justru mereka pada umumnya akan lebih banyak menunjukkan wajah yang sedih serta hati yang gundah-gulana. Mengapa? Berikut antara lain yang menjadi alasan-alasannya.
Pertama, mereka agaknya sungguh memahami dan menghayati benar serta benar-benar memahami dan menghayati atas sejumlah kekayaan kandungan hikmah bulan tersebut dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Seperti kita tahu Ramadhan bukan hanya merupakan bulan yang penuh dengan taburan hikmah, berkah, serta rahmat dan ampunan-Nya, tetapi ia juga merupakan hari-hari di mana Allah melipatgandakan nilai pahala bagi setiap kebajikan yang dilakukan serta menyediakan sebuah malam keberkahan (laitul qadr) yang nilainya lebih utama dibandingkan dengan seribu bulan. Nah, jika bulan yang sarat dengan keunggulan tersebut kini akan segera meninggalkannya ?padahal di tahun depan tidak ada jaminan sama sekali dari Allah apakah mereka masih diberi kesempatan untuk menikmatinya lagi-- wajarlah jika mereka menanggung kesedihan hati yang dalam. Oleh karena itu bagaikan orang yang masih dilanda rasa lapar dan di hadapannya tersedia semua makanan dan minuman yang lezat dan enak namun waktu yang
diberikan untuk menikmatinya tinggal beberapa menit lagi, di sisa-sisa penghujung Ramadhan dengan penuh kesungguhan mereka akan berusaha sekuat daya untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas amaliyah ibadahnya. Seperti dalam hal tadarus Al-Quran, qiyamulail, serta bagi mereka yang mampu dalam mengeluarkan infak, sadaqah, serta menyantuni fakir-miskin. Selain itu, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw., pada sepuluh hari terakhir mereka akan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk melakukan i?tikaf di masjid.
Kedua, penyebab kesedihan serta kegundahgulanaan mereka karena khawatir andai seluruh bentuk amaliyah Ramadhannya tidak ada nilainya dalam pandangan Allah. Kualitas shaum mereka khawatir sebagaimana disinyalir oleh Rasulullah hanyalah sekadar beroleh ?rasa haus dan lapar saja?. Begitu pula tadarus Al-Quran, qiyamulail, infak-sodaqohnya, mereka cemas --karena misalnya tercemari oleh unsur-unsur riya, takabur, dan sombong-- tidak ada nilainya sama sekali di mata Allah. Mereka sadar betul seandainya hal- hal yang sedemikian itu menghinggapi mereka, maka madrasah Ramadhan yang bertujuan untuk membentuk manusia taqwa sebagaimana yang dikehendaki dalam surat Al-Baqarah 183 pastilah akan jauh dari jangkauan Atas dasar kedua alasan di atas, syahdan pada setiap malam penghabisan Ramadhan Ali bin Abi Thalib r.a. sambil menampakkan wajah yang cemas serta berlinangan air mata menyampaikan pertanyaan-pernyata an retoris seperti ini: ?Wahai dapatkah kiranya aku mengetahui siapakah
gerangan orang yang telah pasti diterima amalan puasanya, supaya aku dapat mengucapkan selamat berbahagia kepadanya? Dan siapakah orang-orang yang bernasib malang, karena tidak diterima puasanya oleh Allah, supaya aku dapat menghibur hatinya??.
Hal serupa juga dilakukan oleh sahabat Ibnu Ma?sud dengan pernyataannya: ?Wahai saudaraku yang telah pasti diterima amaliyah puasanya, selamat dan berbahagialah dirimu. Dan wahai saudaraku yang yang ditolak amaliyah puasanya, aku turut berdoa semoga Allah akan menutup bencana yang akan menimpa dirimu?. Menurut para ulama atas dasar semacam itu pula maka menjadi dapat dimengerti jika tahniah (ucapan selamat) yang biasanya dilakukan oleh para sahabat saat bertemu dengan sesamanya saat berhari raya Idul Fitri, berupa saling menyampaikan doa: Taqabbala lahu minna waminka (minkum), yang artinya ?semoga Allah berkenan menerima (amaliyah Ramadhan) diriku dan dirimu?. Dan bukan ucapan: minal aidin wal faizin (yang artinya ?semoga kita menjadi orang yang kembali? tapi kerap disalahkaprahkan oleh sebagian kita menjadi ?mohon maaf lahir bathin?).
Begitu pula saat memasuki hari 1 Syawal (lebaran), cara-cara para sahabat Rasulullah bertakbir, takhmid dan tahlil --karena ruhani mereka ada dalam atmosfir sebagaimana digambarkan itu? lebih banyak dilakukan dengan penuh rasa penghayatan, tawadhu, serta jauh dari sikap arogan dan hingar-bingar. Dan sebagaimana dicontohkan oleh Rasulllah ucapan takbir, takhmid dan tahlil tersebut lebih banyak mereka lakukan saat mereka menuju ke tanah lapang untuk sholat Idul Fitri. Begitulah contoh yang diperlihatkan oleh para sahabat yang mulia kepada kita dalam melepas kepergian bulan Ramadhan dan menyambut kedatangan hari kemenangan. Sungguh, seandainya saja cara-cara para sahabat Rasulullah tersebut kita jadikan pedoman, niscaya setiap kali kita menghadapi hari-hari terakhir bulan Ramadhan kita tidak perlu melihat kumpulan manusia yang berjejalan mentawafi pasar dan pusat-pusat perbelanjaan, atau menyaksikan lautan orang di terminal-terminal bis dan stasiun kereta, serta kemacetan pada
hampir seluruh ruasan jalan. Begitu pula saat tibanya malam 1 Syawal kita tidak perlu melihat lagi sebagian kaum muslimin melakukan aktivitas takbiran dengan cara-cara yang dapat mengganggu ketentraman dan kenyamanan orang lain dan mengesankan sebuah kearoganan. Seperti melakukan konvoi takbir keliling semalam suntuk dengan menggunakan alat pengeras suara sambil menabuhi bedug yang tiada henti.
Idul Fitri memang merupakan hari kemenangan yang patut disyukuri dan dan dirayakan, khususnya bagi mereka yang berhasil melakukannya ibadah Ramadhannya penuh dengan kesungguhan dan perhitungan (ihtisaaban) . Akan tetapi perayaannya harus senantiasa tetap berada dalam koridor ajaran Al-Quran dan sunnah Nabawiyyah dan bukan dengan melakukan hal aneh-aneh, sehingga dapat mencoreng wajah Islam yang damai, ramah serta dan menawarkan kesejukan bagi semesta alam (rahmatan lilalamin).
Kholid A.Harras
Tidak ada komentar:
Posting Komentar