Selasa, 06 April 2010

GERAKAN KULTURAL MEMBENDUNG JUAL-BELI GELAR KODIAN

GERAKAN KULTURAL
MEMBENDUNG JUAL-BELI GELAR KODIAN


Kholid A.Harras

Ketika fenomena praktik obral jual-beli gelar akademik “kodian” melanda masyarakat dalam sepuluh tahun terakhir ini, selain mengeluh dan menyatakan keprihatinan, apa yang dilakukan oleh univeritas atau dunia perguruan tinggi (PT) kita untuk membendungnya? Jujur saja jawabannya nyaris tak ada. Alih-alih justru banyak di antara mereka yang justru ikut ambil bagian “meramaikannya”.
Memang modusnya tidak senaif dan senekad seperti yang dilakukan oleh lembaga penjual gelar-gelar “aspal” semacam AGU (American Global University), DiLI (Distance Learning Institute) atau AIMS (American Institute of Management Studies) yang dahulunya bernama JIMS (Jakarta Institut of Management Studies). Kabarnya bagi masyarakat yang menginginkan gelar dari lembaga-lembaga tersebut cukup menyerahkan daftar riwayat hidup, fotokopi KTP, pas foto dan tulisan beberapa lembar serta membayar uang administrasi sejumlah beberapa juta rupiah. Bila persyaratan itu bisa dipenuhi, kendati mereka hanya lulus SMP serta tak mampu berbahasa Inggris sekalipun, dalam sekejap akan segera diwisuda dan menyandang gelar kehormatan impiannya, dari mulai MBA, BBA, doktor bahkan profesor.
Cara yang dilakukan oleh sejumlah PTN dan PTS dalam meramaikan dan menangkap fenomena masyarakat yang tengah “mabok” gelar ini masih mengesankan tetap dalam koridor jalur akademik, yakni dengan membuka program pascasarjana “kelas jauh”. Begitu pula program yang ditawarkannya umumnya sebatas strata dua (kebanyakan disiplin ilmu magister manajemen). Namun bagi para pengamat dunia pendidikan tinggi pastilah paham praktik yang sesungguhnya terjadi pada kasus kelas-kelas jauh semacam itu.
Selain persyaratannya amat longgar, seperti boleh diikuti oleh siapa saja yang ijazah S1-nya disiplin ilmu apapun dan tidak tidak terlalu menyaratkan kepemilikan TOFEL kepada pesertanya, juga pada umumnya penyelenggaranya tidak didukung oleh perangkat sistem proses belajar-mengajar jarak jauh sebagaimana lazimnya. Misalnya mereka tidak menggunakan modul seperti yang dilakukan oleh UT (Universitas Terbuka). Begitu pula dengan waktu tempuhnya tidak lebih dari short course sehingga kurang mencerminkan proses individual learning para pesertanya. Waktu tempuh pada proses pendidikan program S2 yang benar dan wajar yang lazimnya berkisar antara 2 hingga 2,5 tahun bisa mereka singkat hanya setengahnya saja. Akibat praktik pascasarjana model "kelas jauh" semacam itu, banyak masyarakat yang meragukan kualitas keilmuan para lulusannya.
Bagaimana dengan upaya dari pihak pemerintah -dalam hal ini Ditjen Dikti Diknas- terhadap praktik jual-beli gelar yang jelas-jelas merupakan proses pembodohan masyarakat tersebut? Dengan alasan belum ada perangkat hukum yang mengaturnya, mereka juga tidak berdaya. Seperti diakui oleh Dirjen Dikti Satryo Soemantri Brojonogoro (Kompas 27 Juli 2001), kewenangan institusinya hanya sebatas memberikan teguran, sedangkan kewenangan hukum menutup lembaga-lembaga “maya” tersebut sepenuhnya berada di tangan kepolisian. Sementara itu pihak Polri juga tidak bisa seenaknya menindaknya secara hukum, baik terhadap lembaga yang memperdagangkan maupun para pengguna aneka gelar “aspal” tersebut, sejauh belum ada pengaduan dari masyarakat yang merasa menjadi korbannya. Selain itu itu kabarnya kepolsian sendiri menghadapi beban psikologis, karena sejumlah nama perwira tinggi Polri dan TNI serta sejumlah pejabat negara kita -termasuk Wapres Hamzah Haz-- menjadi konsumennya.
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang baru saja diputuskan tempo hari telah ada sejumlah pasal yang harapannya akan dapat menertibkan masalah yang sangat melecehkan martabat dunia pendidikan kita ini. Sebagaimana termaktub pada Bab XX pasal 67 ayat (1) dan (4) disebutkan bahwa terhadap para penyelenggara pendidikan gelar-gelar aspal tersebut diancam akan dikenakan sangsi pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sedangkan terhadap para penggunanya, sebagaimana termaktub pada pasal 68 ayat (2), (3) dan (4) serta pasal 69 ayat (1) dan (2), akan dikenakan sangsi pidana penjara paling lama lima tahuan dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (limaratus juta rupiah). Sejauh mana efektivitas pemberlakuan kedua bentuk sanksi tersebut, sejarah masih harus membuktikannya.
Memang di era globalisasi dan demokratisasi namun gaya hidup masyarakatnya masih menggemari feodalisasi, upaya penertiban hukum saja terhadap lembaga-lembaga penjual gelar tersebut menjadi tidak cukup serta tidak akan efektif. Sebab dalam hal ini agaknya berlaku hukum ekonomi permintaan-penawaran; sepanjang masyarakat membutuhkan gelar-gelar tersebut maka lembaga-lembaga penyedianya akan tetap ada. Begitu pula selagi masyarakat kita masih menganggap gelar sebagai sebuah prestise -meskipun dilarang hukum – tetap saja akan banyak orang yang akan mencarinya. Oleh karena itu untuk memberantasnya selain harus dibuat aturan-aturan hukum dan perundangan-undangan yang jelas dan tegas juga perlu dilawan lewat gerakan atau aksi kultural.
Aksi kultural ini bisa dilakukan oleh segenap komponen masyarakat; misalnya oleh organisasi-organisasi profesi, keilmuan, kecendendikiawanan, LSM, lembaga pers, dan juga dunia perguruan tinggi. Bentuknya bisa bermacam-macam; dari mulai himbauan, aksi penolakan, pembuatan aturan hingga melakukan gugatan class action.
Sejumlah organisasi profesi seperti PGRI atau IDI misalnya, secara aktif perlu menertibkan para anggotanya yang menggunakan gelar-gelar aspal semacam itu. Hal yang sama juga selayaknya dilakukan oleh organisasi keilmuan dan kecendikiawanan seperti, ISEI, ISPI, HISKI, MLI, MSI serta oleh ICMI dan PIKI. Bahkan dalam konteks organisasi-organisasi yang mengusung bendera “disiplin keilmuan dan kepakaran” tersebut mereka harus berani memecat para anggotanya yang kedapatan memakai gelar-gelar kodian tersebut. Karena tindakannya itu jelas-jelas telah melanggar dan melecahkan etika dan fatsoen keilmuan dan kepakaran.
Selain itu secara internal mereka juga dapat membuat tata aturan ihwal penggunaan gelar akademik ini. Menurut informasi konon kabarnya dalam lingkup ICMI penulisan gelar akademik hanya boleh dilakukan pada penulisan makalah, artikel di jurnal ilmiah serta saat seseorang tampil menjadi pembicara di forum-forum seminar dan diskusi yang benar-benar memiliki bobot akademis dan ilmiah. Sedangkan di luar konteks itu, seperti dalam surat-menyurat misalnya, tidak mereka lakukan.
Sementara lembaga-lembaga pers dengan kekuasaan yang dimilikinya juga dapat berperan meminimalisir bisnis jual-beli gelar ini. Misalnya kendati dari pemasukan iklan cukup menguntungkan tapi sebaiknya mereka menolak medianya menjadi corong pariwara oleh lembaga-lembaga maya tersebut. Termasuk dalam hal ini menjadi tempat mangkalnya iklan-iklan ucapan selamat kepada para pejabat yang mendapatkan gelar-gelar kodian. Selain itu mereka juga sebaiknya mengambil kebijakan tidak menuliskan gelar dari tokoh dan figur-figur publik dalam pemberitaannya. Sedangkan gerakan kultural yang dapat dilakukan oleh pihak LSM, seperti YLKI dan YLBHI misalnya, mereka dapat mengakomodir dan mewakili masyarakat yang merasa dirugikan dan berniat melakukan gugatan class action, baik terhadap lembaga maupun orang-orang yang menggunakan aneka gelar kodian tersebut.
Gerakan kultural yang dilakukan oleh berbagai elemen di atas mungkin akan menjadi tidak efektif andaikan dunia perguruan tinggi kita lantas hanya sekedar menjadi penonton belaka. Oleh karena itu PTS dan PTN kita, khususnya yang dianggap berada di garda depan, harus juga secara aktif melakukan gerakan kultural untuk membendungya. Salah satu caranya antara lain dengan merekomendasi serta ikut memberikan gelar-gelar akademik kehormatan kepada sejumlah anak bangsa yang memang layak mendapatkannya.
Harus kita akui dalam tradisi perguruan tinggi kita pemberian gelar-gelar akademik kehormatan semacam Dr. HC (honoris causa), baik terhadap anak bangsanya yang memiliki karya monumental dan bermanfaat bagi peradaban masih merupakan hal yang langka. Dalam bidang sastra misalnya, setelah almarhum kritikus H.B Yasin yang mendapatkannya dari UI berpuluh tahun yang lalu baru kemarin sastrawan Taufiq Ismail yang mendapatkannya dari UNY (Universitas Negeri Yogyakarta). Begitu pula dalam bidang jurnalistik, selama negeri ini berdiri baru pimpinan Kompas. Jakob Oetama yang mendapatkan gelar kehormatan tersebut dari UGM beberapa waktu yang lalu.
Akibat sikap bakhil perguruan tinggi kita ini tidak heran jika kondisinya menjadi ironi; sejumlah putra-putra terbaik bangsa kita justru mendapatkan aneka gelar kehormatan dari sejumlah perguruan tinggi bergengsi luar negeri. Almarhum Buya Hamka, pelukis Affandi serta budayawan Soedjatmoko misalnya ketiga tokoh kaliber internasional tersebut masing-masing mendapatkan gelar doktor kehormatan honoris causa-nya dari universitas-universitas terkemuka manca negara. Ke depan “tragedi” semacam ini tentunya tidak boleh lagi terjadi.
Dengan banyaknya perguruan tinggi kita yang pemberikan gelar-gelar kehormatan kepada anak-anak bangsa yang memang pantas menerimanya ini diharapkan akan dapat mengeliminir fenomena maraknya praktik jual-beli gelar yang tidak bertanggungjawab seperti sekarang ini. Selain itu gerakan kultural semacam ini juga merupakan tanggungjawab moral sekaligus sebuah “pendidikan” kepada masyarakat ihwal bagaimana seharusnya kita mengapresiasi dan menghargai prestasi anak bangsa sendiri. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang pandai dan tidak melupakan prestasi terbaik yang berhasil dicapai oleh anak- anak bangsanya? Sungguh apa yang telah dirintis oleh UNY dan UGM itu mendesak untuk segera ditiru oleh sejumlah perguruan tinggi lain di negeri ini.***

Staf Pengajar Universitas Pendidikan Indonesia
Alamat: Jln. Alamanda IX No. 4 Gempolsari Bandung 40215 Tlp. 022-6040942

Tidak ada komentar:

Pengikut

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia