Selasa, 06 April 2010

MAFIA PROYEK BUKU TEKS DI TAHUN AJARAN BARU

Sebagaimana diberitakan media massa, untuk menyukseskan pemberlakuan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) secara menyeluruh pada semua level jenjang pendidikan kita yang mulai efektif mulai tahun ajaran baru ini, pemerintah telah mengalokasikan dana sebanyak 3,175 trilyun kepada pihak sekolah untuk membeli buku teks atau pelajaran yang nantinya akan dipinjamkan (?) secara gratis kepada para siswa. Pola penyediaan buku-buku teks yang tersebut yakni dengan memanfaatkan sistem manajemen berbasis sekolah. Sedangkan anggarannya bisa berasal dari tiga alokasi, yakni DAU (Dana Alokasi Umum), DAK (Dana Alokasi Khusus), serta dari alokasi block grant, yang besarnya telah ditentukan (konon untuk SD, baik negeri maupun swasta masing-masing sebanyak Rp 4 juta rupiah).
Dalam proses pemilihan, penentuan serta pembelian buku buku teks tersebut pihak sekolah tidak boleh seenaknya sendiri, tapi harus melibatkan Komite Sekolah serta harus merujuk pada buku-buku teks yang telah direkomendasikan oleh pihak Pusbuk (Pusat Perbukuan). Sebagai cacatan, pada tahun 2003 yang lalu Pusbuk baru menstandardisasi buku-buku pelajaran pokok untuk jenjang SD/madrasah ibtidaiyah (MI). Itu pun baru mencakup empat mata pelajaran: Matematika, Bahasa Indonesia, Sains, dan Pengetahuan Sosial. Sedangkan untuk jenjang SMP dan SMA proses penilaian dan penyeleksiannya baru dimulai pertengahan bulan Juni ini. Itu pun baru terbatas hanya untuk bidang studi Matematika, Bahasa/Sastra Indonesia, dan Bahasa Inggris. Dengan adanya kebijakan seperti itu, selain sekolah bisa memilih buku yang berkualitas sesuai dengan keinginan pihak sekolah, juga harapannya setiap siswa dipastikan mendapat buku-buku teks wajib di setiap tingkat pendidikannya tanpa harus membebani lagi keuangan orang tuanya.
Di tengah keterpurukan kondisi ekonomi masyarakat kita seperti sekarang ini kita tentunya menyambut baik kebijakan pemerintah menyuplai buku-buku pelajaran gratis yang berkualitas ke sekolah. Sebab sebagimana dikemukakan oleh para pakar pendidikan peran buku teks atau buku pelajaran memegang peran yang cukup penting dalam kegiatan belajar-mengajar, karena ia merupakan salah satu sarana untuk mengomunikasikan ilmu pengetahuan. Oleh karena ketersediaan buku-buku teks atau buku pelajaran yang baik, baik dalam kualitas maupun kuantitas akan sangat besar perannya dalam menunjang keberhasilan KBM (Kegiatan Belajar Mengajar).
Persoalannya sekarang, bagaimana menyukseskan political will pemerintah tersebut di lapangan nanti? Karena seperti telah menjadi pengetahuan bersama, selama ini upaya pengadaan buku teks dalam perspektif dunia pendidikan di negeri ini lebih banyak dilihat dari sisi kepentingan bisnis, baik oleh penentu anggaran, penerbit, maupun pelaku pendidikan, dari mulai para pejabat di lingkungan Diknas, kepala sekolah dan para guru, dan bukan dalam perspektif yang lebih mulia, yakni sebagai sarana mewariskan pengetahuan dan ajaran dari generasi ke generasi. Oleh karena itu tidak heran jika dalam praktiknya upaya mewujudkan tersedianya buku-buku teks yang berkualitas dan gratis di sekolah lebih banyak merupakan sebuah impian ketimbang kenyataan.
***

Sebenarnya kebijakan Diknas menyuplai buku-buku pelajaran atau buku teks ke sekolah-sekolah bukan merupakan hal baru. Sejak tahun 1990-an upaya semacam ini sudah dilakukan lewat proyek pengadaan buku pelajaran sekolah. Saat itu hampir semua mata pelajaran pokok yang diajarkan di semua jenjang persekolahan kita, termasuk sekolah-sekolah kejuruan, secara bertahap diupayakan pengadaannya. Bahkan pada jenjang SD, semua mata pelajaran yang diajarkan, kecuali muatan lokal, buku-buku teksnya telah diproyekkan semua. Selain itu sejak tahun 1980-an Diknas juga secara rutin mengadakan tender pengadaan buku-buku bacaan penunjang, baik untuk siswa maupun untuk guru, untuk mengisi perpustakaan sekolah yang ada di seluruh Indonesia yang jumlahnya telah mencapai ribuan judul. Lewat proyek-proyek pengadaan buku sekolah tersebut semula diharapkan tercapai keseimbangan antara jumlah buku teks dengan jumlah siswa yang ada (1:1). Dengan begitu, selain akan sangat menunjang proses belajar-mengajar juga akan ikut membantu meringankan beban para orang tua.
Namun seperti kita semua tahu, cita-cita luhur nan mulia tersebut ternyata hanya tertulis dalam proposal proyek. Dalam praktiknya keberadaan buku teks gratis di sekolah-sekolah kita hanya sekedar impian belaka. Padahal dana yang dikeluarkan untuk pengadaan buku-buku teks tersebut jumlahnya mencapai trilyunan rupiah, baik dari APBN dalam bentuk rupiah murni maupun dari pinjaman lembaga donor semacam World Bank (Bank Dunia) dalam bentuk dollar AS. Besarnya dana tersebut dapat dimaklumi, karena konon kabarnya untuk menyediakan satu jenis buku teks mata pelajaran saja, biayanya tak kurang dari 70-an milyar rupiah!.
Mengapa semua itu terjadi? Jawabnya apalagi kalau bukan akibat merajalelanya praktik-praktik KKN serta lemahnya pengawasan. Atau dalam bahasa seorang rekan penulis yang telah banyak berkecimpung di dunia perbukuan, penyebab kegagalan proyek pengadaan buku sekolah di masa Orba (dan juga masih terjadi hingga saat ini) akibat bercokol kuatnya “mafia” perbukuan di lingkungan orang-orang Depdiknas sendiri.
Sebagai gambaran, menurut surat edaran Mendikbud tanggal 8 Mei 1987 tentang tugas Pusat Perbukuan (Pusbuk), seharusnya proses pengadaan buku (mulai dari seleksi hingga tendernya) ditangani secara terpadu oleh lembaga ini. Namun karena banyak oknum orang di lingkungan Dikdasmen Diknas (waktu itu bernama Direktorat Sarana Dikbud) sebagai “pemilik” proyek ingin ikut kecipratan fulus (baca: komisi dari penerbit pemenang tender) peran Pusbuk saat itu hanya sekedar pelengkap penderita saja.
Dalam praktiknya, dari mulai proses seleksi hingga tender pengadaan buku-buku teks sekolah yang saat itu mengusung bendera Kurikulum 1994 tersebut, nyaris semuanya dilakukan oleh Direktorat Sarana (kini statusnya telah direstrukturisasi). Selain itu seperti dikeluhkan oleh Ketua Pusat IKAPI), Makfudin Wirya Atmaja (Kompas 23/4 2003), proses tender terhadap buku-buku teks tersebut dinilai tidak pernah transparan. Selama ini ujar Makfudin, pengadaan buku teks pelajaran dimonopoli oleh pihak Balai Pustaka yang merupakan badan penerbitan milik pemerintah sendiri, sehingga selain tidak sehat juga telah menuai kecemburuan para penerbit swasta.
Di samping itu, karena kerangkanya proyek, kerap kali buku-buku teks tersebut dibuat secara instan dan asal jadi saja. Padahal seperti dikemukakan Chaedar Alwasilah (Pikiran Rakyat 10/9 2002), sebuah buku teks supaya dapat tampil dengan mantap dan dapat dipertanggungjawabkan mutu keilmiahannya, haruslah digarap lewat proses dan urutan langkah profesional; dimulai dari penulisan naskah, telaah dan revisi naskah, uji coba (try out) di lapangan, evaluasi hasil uji coba, revisi naskah berdasar hasil evaluasi, baru kemudian diproduksi secara massal. Pada tahap evaluasi tersebut mencakup dokumentasi kesan guru dan siswa sewaktu menggunakan buku teks tersebut. Karena dibuat secara “kilat”, jelas buku-buku teks tersebut pada umumnya mengabaikan tahap-tahap tersebut.
Hal lain yang juga memprihatinkan penulisnya pun kerapkali pula bukan orang-orang yang betul-betul pakar di bidang penulisan buku ajar (tidak semua pakar mampu menjadi penulis buku ajar -pen). Begitu pula penggarapannya pun umumnya dilakukan secara single fighter. Padahal kembali merujuk pendapat Chaedar Alwasilah, buku teks yang baik merupakan hasil sinerji sejumlah otak: penulis, editor, ilustrator, pakar kurikulum, pakar pendidikan bahasa, jago-jago multimedia, sejumlah konsultan dan peneliti, serta penerbit yang profesional.
Akibat rangkaian dari “keburukan” di atas --seperti bisa diduga-- baik kualitas (isi dan penampilan wujudnya) maupun kuantitas (tiras dan persebarannya ke sekolah-sekolah) dari buku-buku teks proyek tersebut yang tidak sesuai dengan harapan. Sekedar sebuah contoh kasus misalnya, menurut hasil penelitian Sri Winarti,dkk.(Pusat Bahasa,1997) diketahui bahwa dilihat dari segi bahasa (struktur dan ejaannya) dari buku-buku teks IPA dan IPS di kelas VI SD yang dihasilkan oleh berbagai penerbit (termasuk terbitan Balai pustaka yang merupakan buku paket hasil proyek-pen) banyak yang memprihatinkan. Misalnya kalimat-kalimatnya banyak yang rancu serta ejaannya berantakan.
Begitu pula mengenai isi dan konsep penyajian dari buku-buku tersebut. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Widiarsih (Universitas Terbuka,2000), ternyata dari empat buah buku IPA kelas VI SD yang ia kaji hampir semuanya (termasuk buku yang berjudul Alam Sekitar Kita yang merupakan hasil proyek-pen) tidak secara maksimal mampu mengekspresikan IPA sebagai inkuiri. Dengan demikian menurutnya sesungguhnya buku-buku tersebut sesungguhnya masih belum layak digunakan sebagai buku ajar IPA di SD.
Kemudian akibat adanya praktik KKN jumlah dari buku-buku teks tersebut kerap mengalami penyunatan (karena penerbit pemenang tender pengadaan buku sengaja hanya mencetak di bawah kewajiban seharusnya). Begitu pula distribusinya pun menjadi tidak merata. Juga tidak setiap sekolah menerima buku tersebut sebagaimana yang telah dijatahkan. Oleh karena itu tidak heran jika menurut sebuah hasil survei tentang ketersediaan buku teks di sekolah (Kompas, 8/4 2003) hasilnya menunjukkan persentase ketersediaannya hanya 20 persen saja. Artinya, satu set buku teks digunakan untuk lima siswa. Padahal, semula harapan pemerintah dari memprogramkan tersebut, rasio ketersediaan satu buku teks wajib untuk satu siswa.
Kedua kondisi sebagaimana digambarkan tersebut pada gilirannya kerap dijadikan alasan pembenaran oleh sebagian oknum guru atau kepala sekolah untuk tidak menggunakan buku-buku yang dihasilkan oleh pemerintah tersebut. Kemudian dengan alasan agar terjadi keseragaman, mereka meminta kepada para siswanya untuk menggunakan buku-buku teks terbitan swasta tertentu yang jumlah nyaris tak terbatas serta kualitasnya banyak yang lebih baik. Akibatnya, kembali para orang tua harus merogoh koceknya dalam-dalam untuk membeli buku-buku teks bagi anak-anaknya setiap kali datang tahun ajaran baru.
Selain akibat faktor-faktor sebagaimana dikemukakan di atas, hal lain yang juga diduga kuat ikut serta membuat program buku gratis seolah sulit diwujudkan di sekolah-sekolah kita, yakni akibat adanya sebagian oknum guru dan kepala sekolah serta para pejabat Diknas, baik di tingkat kecamatan maupun di atasnya (umumnya berupa surat sakti yang ditunjukkan kepada pihak-pihak sekolah yang berada di daerah kekuasaannya) yang tergiur oleh iming-iming rabat besar serta berbagai hadiah yang pada umumnya dijanjikan oleh para penerbit buku swasta.
Hal yang semacam itu sebenarnya sudah bukan lagi rahasia. Seperti kita semua tahu hampir semua penerbit pada umumnya minimal memberikan potongan rabat 30 persen kepada pemasarannya. Bahkan menurut penuturan seorang rekan guru tidak sedikit yang mengobralnya sampai dengan 40 persen ditambah bonus aneka hadiah jika mereka mampu memasarkan hingga mencapai jumlah eksemplar tertentu. Jadi bisa dibayangkan jika seorang guru misalnya mampu memasarkan 300 eksemplar buku teks yang harganya lima belas ribu, maka keuntungan yang bisa mereka kantongi sebesar satu juta tigaratus lima puluh ribu rupiah: sebuah profit sampingan yang jumlahnya mungkin jauh lebih besar dibandingkan dengan gaji yang mereka terima setiap bulannya. Akibat mentalitas sebagian oknum guru atau kepala sekolah yang seperti ini, kendati misalnya jumlah buku-buku paket yang didistribusikan oleh pemerintah ke sekolah cukup memadai kerap tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Sebenarnya krtik pedas terhadap praktik-praktik tidak terpuji yang dilakukan oleh sebagian guru atau sekolah menjual paksa buku-buku terbitan swasta kepada para peserta didiknya ini telah banyak disuarakan oleh masyarakat. Sebab dengan adanya praktik semacam itu selain akan menjadi beban berat para orangtua, juga telah membuat guru terjebak melakukan bisnis yang tidak jarang akan mengganggu konsentrasinya mengajar (karena boleh jadi waktu mengajar mereka banyak tersita untuk mengumpulkan uang angsuran dari murid-muridnya).
Bahwa keberadaan buku-buku teks memiliki kedudukan yang cukup vital dalam mengusung proses KBM yang baik, rasanya kita semua sepakat. Namun selain buku masih ada sejumlah komponen lain yang juga ikut menentukan keberhasilan suatu proses KBM, seperti kurikulum maupun metode pembelajaran. Akan tetapi banyak pakar pendidikan yang percaya, semua komponen tersebut pun sesungguhnya kembali menjadi tidak bermakna manakala guru sebagaima man behind the gun-nya tidak profesional. Di hadapan guru yang profesional betapapun jeleknya konsep kurikulum atau mutu dan minimnya buku-buku teks, tetap ia akan mampu menggelar KBM yang baik di kelas. Namun tidak demikian sebaliknya. Dengan demikian betapapun baiknya sebuah konsep pelajaran sesungguhnya ia tidak akan pernah mampu menggantikan kedudukan seorang guru yang profesional. Jadi mengapa harus terpaku pada buku semata?****

Penulis adalah pensyarah pada Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

Tidak ada komentar:

Pengikut

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia