Selasa, 06 April 2010

TAWURAN PELAJAR DAN BUKU SASTRA

Aksi tawuran antarpelajar, khususnya yang terjadi di kota-kota besar di negeri ini semakin mencemaskan kita. Betapa tidak. Di Jakarta misalnya, hari Sabtu telah ditetapkan oleh sebagian pelajarnya sebagai Hartanas: Hari Tawuran Nasional. Oleh karenanya jangan heran jika di setiap Sabtu Jakarta terjadi hingga beberapa tawuran pelajar di tempat yang berbeda-beda. Celakanya, seperti sering diwartakan harian ini, prilaku destruktif para pelajar ibukota tersebut kini mulai ditiru oleh teman-temannya di berbagai belahan daerah lainnya di negeri ini.

Tentu saja kerugian akibat prilaku destruktif para pelajar tersebut cukup banyak, baik harta-benda hingga nyawa sia-sia. Menurut data Polda Metro Jaya, akibat seringnya tawuran pelajar di ibukota ini setiap tahun puluhan pelajar harus dibawa ke rumah sakit. Beberapa di antaranya menemui ajalnya. Sedangkan kurugian materi kalau dihitung hingga mencapai ratusan juta rupiah.

Faktor apakah yang telah menyebabkan sebagian pelajar kita gampang sekali berprilaku brutal? Mengapa hati dan jiwa anak-anak muda pewaris masa depan negeri ini seolah nyaris tidak menyisakan kelembutan sedikit pun? Sebaliknya hanya karena hal-hal sepele mereka menjadi sangat gampang terbakar amarahnya, seraya menabuh genderang perang antarsesamanya?

Hipotesis terhadap perkara itu sangat beragam, bergantung dari sudut tinjauannya masing-masing. Misalnya menurut temuan Tim Pokja Diknas yang mengkaji masalah tersebut beberapa tahun yang lalu, aksi tawuran antarpelajar merupakan gejala tingkah laku kolektif yang dipicu oleh berbagai faktor yang sangat kompleks, baik secara sosio-psikologis maupun sosio-kriminologis.

Secara sosio-psikologis masa remaja merupakan masa pencarian jati diri sekaligus eksistensinya ingin diakui. Namun sayangnya apa yang mereka persepsikan eksistensi tersebut tidak selamanya merupakan hal-hal yang positif. Sebaliknya justru hal-hal yang negatif (karena hal yang semacam itu lebih mudah mendapatkan perhatian). Salah satu di antaranya yakni aksi tawuran itu. Sedangkan dilihat dari sosio-kriminologis terjadinya budaya desstruktif tersebut sebagai dampak dari semakin meruncingnya budaya kekerasan yang melanda masyarakat kita, baik pada kalangan masyarakat bawah (secara fisik) maupun pada kalangan masyarkat atas atau elit politik kita (lewat berbagai pernyataan keras mereka).

Lantas apa hubungannya antara tawuran pelajar dan buku sastra sebagaimana yang menjadi judul tulisan ini? Jika pertanyaan ini kita ajukan kepada sastrawan Dr.Taufiq Ismail, dengan tegas beliau akan menyatakan bahwa keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Menurutnya, salah satu faktor yang turut pemicu maraknya tawuran pelajar di negeri ini akibat mereka tidak membaca buku-buku sastra. Berikut dasar-dasar yang menjadi asumsi penulis kumpulan puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia ini.

Menurut Taufiq Ismail, dalam karya sastra, baik prosa, puisi, maupun drama, digambarkan secara lebih kongkret ihwal bagaimana prilaku, watak dan karakter manusia, baik yang baik maupun yang jahat, dalam latar kehidupan ini. Dengan demikian dengan membaca sastra berarti kita bertemu dengan bermacam-macam orang dengan bermacam-macam masalahnya. Bahkan kita juga bertemu dengan orang-orang yang tidak ingin kita temui dalam kehidupan nyata serta masalah yang tidak diinginkan.
Selain itu, sastra dalam banyak hal memberi peluang kepada kita untuk mengalami posisi orang lain. Melalui membaca sastra, seseorang dapat menjalani posisi sebagai ulama, penjahat, pejuang, penghianat, pecinta, pecundang, konglomerat, koruptor, pemerkosa dan sebagainya. Dari pengalaman menjalani hidup yang berbagai-bagai dengan bermacam-macam situasi, tantangan, dan masalahnya, pembaca sastra akan mudah berempati kepada nasib manusia dalam berbagai macam masalahnya.

Di sisi lain, karya sastra --lewat energi kata yang membangunnya-- pada dasarnya merupakan ‘rekaman’ terhadap peristiwa-peristiwa kebudayaan yang telah terjadi, bahkan yang bakal terjadi ke depan. Kata-kata yang diciptakan oleh para sastrawan memiliki aspek dokumenter yang dapat menembus ruang dan waktu, melebihi aspek-aspek kebudayaan yang lain. Melalui kualitas hubungan paradigmatis, sistem tanda dan sistem simbol, kata-kata yang mereka ciptakan akan membentuk citra tentang dunia tertentu, sebagai dunia yang baru, yang sarat dengan nilai-nilai kebenaran maupun kejujuran yang bersifat universal. Jadi bukan hanya sebatas kaidah normatif seperti yang diajarkan dalam pelajaran PPKn atau atau pelajaran sejarah.

Dari penjelasan tersebut jelaslah, dengan membaca karya-karya sastra yang baik pembaca diajak berhadapan dan mengalami secara langsung kategori moral dan sosial dengan segala parodi dan ironinya. Di sisi lain, ruang yang tersedia dalam karya sastra juga membuka peluang bagi pembaca untuk tumbuh menjadi pribadi yang kritis dan pribadi yang bijaksana, karena pengalaman membaca sastra telah membawanya bertemu dengan berbagai macam tema dan latar karakter, maupun ideologi. Dengan demikian, dengan mengapresiasi buku-buku sastra sesungguhnya akan dapat mendekatkan kita pada nilai-nilai kearifan, kebaikan sekaligus kecendikiaan.

Sayangnya keberadaan warisan budaya yang berisikan pelajaran nilai-nilai luhur tersebut saat ini nyaris dipinggirkan dalam dunia pendidikan kita. Kegiatan membaca dan mengapresiasi karya sastra merupakan barang langka dalam dunia persekolahan kita. Kalaupun sastra diajarkan dalam kurikulum sekolah kita hanya barang tempelan serta diajarkan oleh para gurunya dengan sangat teoretis, seperti penjelasan ihwal nama-nama angkatan, nama-nama pengarang dan judul bukunya serta hal-hal yang serupa dengan itu yang dianggap bakal keluar dalam soal-soal UN atau SPMB. Selain itu yang namanya buku-buku karya sastra, baik karya sastrawan kita apalagi karya sastrawan mancanegeara, baik ragam maupun jumlahnya, pada umumnya juga masih merupakan barang langka di berbagai perpustakaan persekolahan negeri ini. Oleh karena itu tidak heran jika para pelajar tamatan SMP dan SMA/SMK kita banyak yang belum pernah mempunyai pengalaman membaca dan mengapresiasi sebuah buku karya sastra satu pun tamat, apalagi hingga mengulanginya hingga beberapa kali.

Nah, tidak buku-buku karya sastra sudah tidak lagi dibaca oleh para pelajar kita, bahkan oleh sebagian besar gurunya, sebaliknya yang secara masif mereka saksikan di sekililingnya fenomena dan budaya kekerasan , baik yang secara kasat mata di depan hidungnya atau lewat tayangan TV seperti smack-down itu, masih anehkah jika pada gilirannya mereka akan juga menerapkan budaya kekerasan dalam menyelesaikan berbagai persoalan keseharian mereka? Untuk ikut mengatasi tawuran antarpelajar kita yang kian hari kian tak terkendali di negeri ini, mungkin ada baiknya jika saran Taufiq Ismail itu dikaji secara sungguh-sungguh untuk kemudian dijadikan salah satu kebijakan oleh Depdiknas, juga oleh para orang tua di negeri ini.***

Kholid A.Harras

Tidak ada komentar:

Pengikut

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia