Sementara itu anak-anak kita
Enam puluh juta banyaknya
Dihantam kekerasan pornografi
Dua ratus ribu website syahwat,
Novel dan komik cabul
Dua puluh juta keping VCD biru
Akibatnya anak SMP yang menontonnya
Memperkosa anak SD
Pergi ke PSK
Dan mereka ini tidak dilindungi
Generasi ini tidak dilindungi
Saya yakin setiap orang tua yang peduli terhadap masa depan anak-anaknya, pasti perasaannya akan dibuat campur aduk antara prihatin, miris, galau, gusar, takut, sedih saat membaca kutipan bait puisi Taufiq Ismail yang berjudul ’’Gerakan Syahwat Merdeka’’ (GSM) di atas. Ya, lewat puisi yang aslinya cukup panjang itu, tokoh sastrawan angkatan 66 tersebut menggambarkan dua kondisi paradoksal yang kini sangat menggalaukan hati dan perasaan kita. Yakni bagaimana dahsyatnya serbuan gelombang GSM, yang saat ini tengah mengepung dan memprovokasi generasi muda bangsa ini di satu sisi, dan di sisi lain kita sebagai bangsa dinilai nyaris tidak melakukan upaya apa-apa untuk membendungnya. Alih-alih --dengan mengatasnamakan kebebasan HAM--, ada sebagian kelompok masyarakat yang justru sangat lantang melakukan penolakan terhadap upaya untuk meminimalisir GSM (misalnya penentangan terhadap konsep RUU APP).
Di era globalisasi saat ini serbuan kecabulan GSM, baik berupa pornografi maupun pornoaksi memang sudah sangat luar bisa. Begitu juga sikap tidak perduli kita sudah sangat kelewatan. Mengutip tamsil sosiolog AS sebagaimana dikatakan Taufiq Ismail pada Pidato Kebudayaan di forum Akademi Jakarta akhir tahun 2006 yang lalu : ‘’bagaikan gelombang tsunami yang tingginya 30 meter dan kita melawannya dengan hanya dengan dua telapak tangan saja’’.
Betapa tidak, sekedar ilustrasi syahdan jumlah situs porno yang bertaburan di dunia internet saat ini telah menjapai sekira 4,2 juta buah. Dan yang membuat kita mengelus dada, seratus ribu situs porno berasal dari Indonesia. Sementara itu negeri ini merupakan tempat bercokolnya berbagai industri VCD/DVD porno bajakan terbesar di dunia. Dengan hanya mengeluarkan uang beberapa lembar ribuan saja para pelajar dan anak-anak muda kita dapat membelinya di mana-mana tempat dengan sangat mudahnya. Begitu juga dengan terbitan koran dan majalah cabul tanpa risih diperjual-belikan orang laiknya surat kabar dan majalah biasa. Dan yang membuat kita mengelus dada, terhadap kondisi yang menggalaukan tersebut nyaris semua komponen bangsa: pemerintah, politisi, masyarakat, termasuk dunia pendidikan, seolah-olah diam seribu basa. Tak ada kesungguhan kita untuk menangkalnya.
Akibat meruah dan massifnya GSM dan sikap diam kita, tidak heran jika menurut keterangan beberapa hasil survey banyak para pelajar dan generasi muda kita yang menjadi korbannya. Sebagai gambaran, berdasarkan hasil survei Center for Human Resources Studies and Devlopment FISIP Unair, Surabaya, terhadap 300 responden remaja usia 15-19 tahun dilaporkan sebanyak 56,5 persen remaja pria di kota itu pernah melihat film porno dan 18,4 persen remaja putri pernah membaca buku porno. Sedangkan dari survei Yayasan Kita dan Buah Hati terhadap 1.705 responden di Jadebotabek pada 2005, dilaporkan lebih dari 80 persen anak usia 9-12 tahun telah mengakses materi pornografi. Usia murid kelas 4-6 itu mayoritas (25 persen), mendapatkan materi pornografi melalui handphone, situs pornografi di internet (20 persen), dan majalah serta film/VCD/DVD (masing-masing 12 persen) (Kompas, 19 Mei 2006).
Kemudian seperti sudah menjadi pengetahuan kita bersama, bahwa terdapat kausalitas antara GSM sebagai pemicu terjadinya berbagai penyimpangan prilaku seks para pelajar atau generasi muda. Sebagai salah satu bukti, menurut hasil suvey BKKBN pada tahun 2002 terhadap 2.880 remaja usia 15-24 tahun di enam kota di Jawa Barat, dilaporkan sebanyak 39,65 persen pernah melakukan hubungan seks sebelum nikah.
Melihat fakta-fakta yang menggalaukan di atas semestinya semua komponen bangsa ini segera menyadarinya, untuk selanjutnya melakukan berbagai upaya antisipasi dan langkah-langkah nyata melakukan pembendungan. Tentunya sesuai dengan tugas dan kewenangan yang dimilikinya. Kepada para orang tua dan juga barisan pendidik misalnya, tidak boleh lagi sungkan membukakan ruang diskusi atau dialog secara proporsional dan edukatif dengan putra-putrinya atau para peserta didiknya ihwal berbagai dampak negatif serbuan GSM ini. Saya percaya, lewat jalan dialog dan diskusi secara edukatif akan lebih mudah dalam memberikan pemahaman dan pengertian sekaligus membentengi mereka dari serbuan GSM ini, khususnya pada tataran anak-anak usia SMP dan SMA. Di sekolah upaya ini bisa dilakukan baik secara formal di sela-sela PBM di dalam kelas maupun secara informal di luar kelas.
Kepada pemerintah harus segera melakukan pemblokiran terhadap berbagai situs porno di internet, sebagaimana yang dilakukan oleh sejumlah negara tetangga, Singapura, Malaysia maupun Korea Selatan. Kalau mereka bisa kenapa kita tidak? Kemudian pemerintah juga harus melakukan tindakan tegas dan memberikan sangsi hukum yang berat terhadap para produsen, pengedar serta pembeli VCD/DVD porno bajakan yang belum cukup umur. Hal yang sama juga perlu dilakukan terhadap berbagai penerbitan majalah dan tabloid yang isinya hanya sekedar mengumbar syahwat dan tidak ada nilai edukatifnya.
Akhirnya kepada semua komponen bangsa, khususnya kepada siapa saja yang memproduksi maupun yang mengedarkan berbagai media kecabulan (pornografi dan pornografi) dalam berbagai modusnya, saya sepakat dengan himbauan Taufiq Ismail, yakni untuk segera menguji rasa malunya. Caranya sederhana saja, yakni bagaimana seandainya yang dipampang dalam berbagai media pornografi atau prilaku pornoaksi itu merupakan orang-orang dekat keluarganya. Misalnya ibunya, istri atau suaminya, atau anak-anaknya. Mereka akan tega dan merasa malu tidak? Kalau jawabannya ya, maka segera hentikan. Jika tidak, silakan teruskan. Dan kita pasti akan sepakat, jika ada orang yang memberikan pilihan yang kedua itu, pastilah dia orang yang tidak waras! ***
Kholid A.Harras
Penulis adalah pensyarah pada FPBS Universitas Pendidikan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar