Minggu, 12 Juni 2011

CITRA GURU PADA SINETRON KITA

oleh Kholid A. Harras

Bagaimananakah sosok guru dicitrakan dalam film-film atau sinetron yang setakat ini ditayangkan oleh sebagian besar stasiun televisi kita? Memprihatinkan, mengenaskan, bahkan cenderung terjadi ‘pelecehan’ terhadap profesi yang konon layak “digugu dan ditiru” ini. Supaya pernyataan tersebut tidak dianggap mengada-ada atau dinilai fitnah, berikut penulis akan sajikan sejumlah hujah serta bukti-buktinya.

Sosok peran guru yang banyak dimunculkan pada film atau sinetron dan ditayangkan oleh stasiun-stasiun televisi kita, baik yang berformatkan film televisi (FTV), layar miniseri (LMS) dan sinetron mini seri (SMS). pada umumnya dikaitkan pada cerita-cerita dunia cinta remaja. Mereka pada umumnya juga merupakan para guru yang mengajar di sekolah-sekolah ‘bonafide’ di kota besar, khususnya Jakarta, baik di SMP maupun di SMU. Namun yang harus segera dicatat, kehadiran peran guru dalam seabrek sintron dunia cinta remaja tersebut pada umumnya bukanlah tokoh sentral. Sebaliknya, keberadaan mereka hanya sekadar peran tempelan alias ‘pelengkap penderita’ bagi penggambaran dari gaya hidup para pelajar atau remaja kota besar yang serba wah dan hedonis, yang memang merupakan mainstream dari sinetron-sinetron tersebut.

Walaupun peran minimalis para guru tersebut tidak mewakili fakta yang sesungguhnya, tapi hal itu bukanlah masalah benar. Yang justru menjadi soal adalah bagaimana para pembuat sinetron tersebut selama ini mencitrakan posisi kaum guru dalam sinetron mereka. Jika kita coba cermati secara saksama, maka tampaklah bahwasanya dalam banyak sinetron remaja tersebut para guru pada umumnya selalu digambarkan dalam posisi yang artifisail serta nyaris tanpa wibawa, baik dari sisi penampilan fisik maupun tingkah-paripolahnya.

Sebagai sebuah contoh misalnya pada sinetron Opera SMU dan Amanda. Di situ digambarkan bagaimana dandanan serta penampilan fisik dari tokoh-tokoh ibu guru yang laiknya para tante yang akan pergi ke pesta dansa, dan bukannya sebagai orang yang hendak mengajar di sekolah. Make up dari para ibu guru tersebut tampak habis-habisan: berbedak tebal, berlipstik menyala, memakai pinsil alis, eye shadow, mascara, sampai ber-blush-on segala. Begitu pula busana dan aksesoris yang digunakan pun pada umumnya juga tampak berlebihan.

Rupanya, seperti halnya yang telah menjadi ciri khas pada sinetron-sinetron kita dimana penampilan pemeran wanitanya harus tampak cantik, menarik serta menor, penampilan para ibu guru pun demikian. Dalam sinetron mereka, penampilan ibu guru pun tidak boleh tampak biasa-biasa saja, apalagi kumuh, sekalipun ia baru bangun tidur. Begitu pula penggambaran prilaku mereka, khususnya dalam menghadapi ulah dari para peserta didiknya, baik di dalam maupun di luar kelas juga pada umumnya nyaris tak tampak kewibawaannya sebagai seorang pendidik.

Dalam salah satu sinetron remaja, digambarkan sang guru meminta muridnya berpidato di depan kelas. Ketika seorang murid berpidato dengan tergagap-gagap, teman-temannya justru melemparinya dengan potongan-potongan kertas yang pasti menjadi sampah di kelas. Bagaimana si guru menghadapi situasi tersebut? Marahkah dia? Oh tidak, sang guru hanya digambarkan menggeleng-gelengkan kepala, cemberut, lalu menyuruh si murid gagap tersebut duduk kembali. Pada episode yang lain, muncul seorang guru yang arogan ketika menghadapi muridnya yang terlambat masuk kelas. Dengan judesnya sang guru mengusir si murid, tanpa perlu bertanya penyebab keterlambatannya.

Betapa tak adanya wibawa guru dalam sinetron juga muncul antara lain lewat adegan di mana murid seenaknya bicara pada sang guru sambil mengolah permen karet di mulutnya! Adegan lainnya, ketika guru memanggil ke ruangannya seorang murid yang melakukan kesalahan, si murid justru menantang mata sang guru. Dengan seenaknya si murid membantah perintah sang guru karena hal itu tak sesuai dengan keinginan hatinya. Adegan in jelas menunjukkan betapa “berkuasanya” si murid yang dalam cerita itu merupakan anak seorang pejabat dan betapa rendahnya wibawa guru tersebut sampai-sampai muridnya bisa seenaknya melecehkannya.

Hal lain yang juga bisa dianggap sebuah pelecehan, yakni bagaimana bebasnya pakaian seragam para murid, baik SMP maupun SMA dalam sinetron-sinetron tersebut. Umumnya murid yang berakting pada sinetron pakaian seragamnya seenaknya sendiri. Misalnya yang laki2 bajunya tidak dimasukan ke dalam celana atau roknya, potongan celana atau roknya tidak sesuai aturan atau menggunakan asesoris yang diluar kepatutan. Hal itu jelas tidak realistis. Mungkin memang ada anak sekolah seperti itu, tetapi mayoritas murid SMU saya yakin tidak seperti apa yang digambarkan dalam sinetron- sinetron tersebut.

Itulah antara lain penggambaran citra dan sosok guru dalam sinetron remaja yang bertebaran di layar kaca kita. Di tengah krisis pada semua segi bangsa ini, realitas dunia sinetron itu seperti menggambarkan krisis etika kita, krisis budi pekerti kita. Tragis memang! ****

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Saya tertarik untuk membuat penelitian mengenai peran guru dalam sinetron, boleh minta referensi tayangan apa saja yg ada penurunan citra gurunya?
Terimakasih

Pengikut

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia