Selasa, 06 April 2010

Menyoal rendahnya Kreativitas pada Dunia Pendidikan Kita

Kreativitas merupakan istilah yang sudah sangat akrab di kalangan para guru dan pendidik di negeri ini. Hal itu kiranya dapat dipahami, karena kreativitas merupakan sebuah terminologi penting dalam dunia pendidikan dan pengajaran serta pengembangan SDM. Meskipun demikian, jika ditanyakan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan kreativitas, terlebih bagaimana kiat-kiat menumbuhkan kreativitas dalam konteks pembelajaran di sekolah, penulis tidak yakin akan semua guru dan pendidik dapat menjelaskanya, terlebih telah mempraktikannya.

Konon akibat dari kurangnya perhatian terhadap masalah ini, hingga saat ini kreativitas masih merupakan barang langka di lingkungan dunia pendidikan kita, baik di lingkungan guru maupun para siswa. Contoh langkanya kreativitas guru misalnya dapat dilihat dari masih rendahnya kuantitas partisipasi dan keterlibatan mereka dalam berbagai even kreativitas yang banyak digelar, baik di lingkungan Depdiknas maupun non-Depdiknas. Sekedar menyebut contoh, menurut informasi partisipasi guru Bahasa Indonesia SMA dan sederajat yang mengikuti LMKS (Lomba Mengulas Karya Sastra) dan LMCP (Lomba Menulis Cerita Pendek) yang diadakan oleh Dikdasmen setiap tahun rata-rata hanya diikuti oleh sekira 200-an orang guru saja. Padahal jumlah guru bahasa Indonesia yang mengajar di SMA dan sederajat (SMK dan MA), baik negeri maupun swasta di negeri ini telah mencapai ribuan orang. Gambaran yang sama juga terjadi pada kelompok guru pelajaran lainnya.

Bagaimana dengan kreativitas dari para siswa kita? Tampaknya telah berlaku hukum sebab-akibat. Kreativitas dari para siswa kita pun pada umumnya dinilai masih sangat rendah, serta tertinggal jauh jika dibandingkan dengan para siswa dari negara-negara lain. Sekedar sebuah gambaran, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Hans Jellen dari Universitas Utah AS dan Klaus Urban dari Universitas Hannover Jerman pada Agustus 1987 terhadap anak-anak Indonesia yang berusia 10 tahun (dengan sampel 50 anak-anak di Jakarta), menunjukkan bahwa tingkat kreativitas anak-anak Indonesia berada di urutan terakhir dari 8 negara yang menjadi sampel penelitian tersebut. Adapun urutan peringkatnya sebagai berikut (dari yang tertinggi sampai yang terendah): Filipina, AS, Inggris, Jerman, India, RRC, Kamerun, Zulu, dan Indonesia (Drs. Dedi Djunaedi, Pikiran Rakyat,10 Januari 2005).

Apakah sesungguhnya yang dimaksud dengan kreativitas itu? Roger B. Yepsen Jr. (1996) mengatakan bahwa kreativitas merupakan kapasitas untuk membuat hal yang baru Menurut Mihaly Csikszentmihalyi (1996) bahwa orang yang kreatif adalah orang yang berpikir atau bertindak mengubah suatu ranah atau menetapkan suatu ranah baru (Drs. Dedi Djunaedi, Pikiran Rakyat,10 Januari 2005). Berdasarkan kedua pernyataan tersebut istilah kreativitas digunakan untuk mengacu pada kemampuan individu dengan mengandalkan potensi dan kemahiran yang dimilikinya untuk menghasilkan gagasan baru dan wawasan yang segar yang sangat bernilai.

Cakupan wilayah kreativitas tidak hanya terbatas pada perbuatan yang sifatnya kerja fisik. Kemampuan untuk menjadi seorang penyimak yang baik, yang mendengarkan gagasan yang datang dari dunia luar dan dari dalam diri sendiri atau dari alam bawah sadar juga merupakan wilayah kreativitas. Dengan demikian kreativitas kreativitas lebih tepat didefinisikan sebagai suatu pengalaman seorang individu untuk mengungkapkan dan mengaktualisasikan identitas dirinya secara terpadu dalam hubungan eratnya dengan diri sendiri, orang lain, dan juga alam lingkungan sekitarnya.

Para ahli psikologi hingga saat ini masih belum ada kata sepakat mengenai faktor-faktor apa yang melandasi kebutuhan dan motif dasar yang dimiliki manusia untuk berkreasi. Meskipun demikian, mereka sepakat bahwasanya ada imbalan dan penghargaan nyata yang dapat diamati dapat diidentifikasikan sebagai motif manusia untuk berkreasi. Selain itu berdasarkan penelitian juga terungkap bahwa manusia biasanya melakukan kreasi karena didorong oleh adanya kebutuhan dasar, seperti: keamanan, cinta, dan penghargaan. Mereka juga termotivasi untuk berkreasi oleh lingkungannya dan manfaat dari berkreasi seperti hidup yang lebih menyenangkan, kepercayaan diri yang lebih besar, kegembiraan hidup, dan kemungkinan untuk menunjukkan kemampuan terbaik mereka kepada orang lain.

Ada banyak cara yang dapat dilakukan oleh seseorang untuk memunculkan gagasan kreatif dirinya. Namun sebelum saya mengemukakan teknik-teknik tersebut, yang harus dipahami oleh kita bahwasanya teknik-teknik pengembangan kreativitas itu dalam berbagai tingkatan keseluruhannya sebenarnya bertumpu pada pengembangan sejumlah gagasan sebagai suatu cara untuk memperoleh gagasan yang baik dan kreatif. Dengan demikian langkah pertama untuk memunculkan lahirnya sebuah kreativitas ialah dengan memunculkan sebanyak mungkin gagasan atau pendapat, baik yang berasal dari diri sendiri maupun orang lain.

Setidaknya ada dua teknik yang bisa kita pakai untuk menghimpun gagasan. Pertama adalah teknik brainstorming. Teknik brainstorming mungkin merupakan cara yang terbanyak digunakan, tetapi juga merupakan teknik pemecahan kreatif yang tidak banyak dipahami. Banyak orang mempergunakan istilah brainstorming untuk mengacu pada suatu proses yang menghasilkan suatu gagasan baru, atau menggunakan istilah tersebut untuk mengacu pada suatu kumpulan proses pemecahan masalah. Sebenarnya teknik brainstorming adalah kegiatan yang menghasilkan gagasan yang mencoba mengatasi segala hambatan dan kritik. Kegiatan tersebut mendorong timbulnya banyak gagasan, termasuk gagasan yang menyimpang liar, dan berani dengan harapan bahwa gagasan tersebut dapat menghasilkan gagasan yang lebih baik dan kreatif. Teknik ini cenderung menghasilkan gagasan baru yang orisinal untuk menambah jumlah gagasan konvensional yang ada.

Kedua teknik sinektik. Analogi telah lama digunakan sebagai salah satu alat bantu bagi proses penyusunan secara kreatif. Sinektik merupakan suatu metode atau proses yang menggunakan metafora dan analogi untuk menghasilkan gagasan kreatif atau wawasan segar ke dalam permasalahan. Guna menghentikan kebiasaan lama serta gagasan usang dan untuk memperkenalkan suasana rileks ke dalam proses penggalian ide, maka proses sinektik mencoba membuat yang "asing" menjadi "akrab" dan juga sebaliknya.

Sedangkan sejumlah hambatan yang biasanya menjadi kendala dalam menumbuhkan kreativitas menurut Julia Cameron dan Mark Bryan (2000) adalah sebagai berikut. Akibat faktor kebiasaan, ketidak mampuan memenej waktu, akibat dibanjiri masalah, bersikap seolah-olah tidak ada masalah, takut gagal, bersikap instan (ingin jawabannya saat itu juga), memiliki sikap mental yang sulit diarahkan, serta takut mendapat kritik dari orang lain terhadap apa yang dikerjakannya. Orang yang tidak mampu mengatasi kendala-kendala tersebut akan sulit menumbuhkan potensi kreatif yang dimilikinya. Oleh karena langkah pertama dan utama untuk melenjitkan kreativitas kita atasi terlebih dahulu kendala-kendala tersebut. Tidak mudang memang, tetapi kita harus mencobanya. ***

Kholid A.Harras

SERBUAN GSM

Sementara itu anak-anak kita
Enam puluh juta banyaknya
Dihantam kekerasan pornografi
Dua ratus ribu website syahwat,
Novel dan komik cabul
Dua puluh juta keping VCD biru
Akibatnya anak SMP yang menontonnya
Memperkosa anak SD
Pergi ke PSK
Dan mereka ini tidak dilindungi
Generasi ini tidak dilindungi


Saya yakin setiap orang tua yang peduli terhadap masa depan anak-anaknya, pasti perasaannya akan dibuat campur aduk antara prihatin, miris, galau, gusar, takut, sedih saat membaca kutipan bait puisi Taufiq Ismail yang berjudul ’’Gerakan Syahwat Merdeka’’ (GSM) di atas. Ya, lewat puisi yang aslinya cukup panjang itu, tokoh sastrawan angkatan 66 tersebut menggambarkan dua kondisi paradoksal yang kini sangat menggalaukan hati dan perasaan kita. Yakni bagaimana dahsyatnya serbuan gelombang GSM, yang saat ini tengah mengepung dan memprovokasi generasi muda bangsa ini di satu sisi, dan di sisi lain kita sebagai bangsa dinilai nyaris tidak melakukan upaya apa-apa untuk membendungnya. Alih-alih --dengan mengatasnamakan kebebasan HAM--, ada sebagian kelompok masyarakat yang justru sangat lantang melakukan penolakan terhadap upaya untuk meminimalisir GSM (misalnya penentangan terhadap konsep RUU APP).

Di era globalisasi saat ini serbuan kecabulan GSM, baik berupa pornografi maupun pornoaksi memang sudah sangat luar bisa. Begitu juga sikap tidak perduli kita sudah sangat kelewatan. Mengutip tamsil sosiolog AS sebagaimana dikatakan Taufiq Ismail pada Pidato Kebudayaan di forum Akademi Jakarta akhir tahun 2006 yang lalu : ‘’bagaikan gelombang tsunami yang tingginya 30 meter dan kita melawannya dengan hanya dengan dua telapak tangan saja’’.

Betapa tidak, sekedar ilustrasi syahdan jumlah situs porno yang bertaburan di dunia internet saat ini telah menjapai sekira 4,2 juta buah. Dan yang membuat kita mengelus dada, seratus ribu situs porno berasal dari Indonesia. Sementara itu negeri ini merupakan tempat bercokolnya berbagai industri VCD/DVD porno bajakan terbesar di dunia. Dengan hanya mengeluarkan uang beberapa lembar ribuan saja para pelajar dan anak-anak muda kita dapat membelinya di mana-mana tempat dengan sangat mudahnya. Begitu juga dengan terbitan koran dan majalah cabul tanpa risih diperjual-belikan orang laiknya surat kabar dan majalah biasa. Dan yang membuat kita mengelus dada, terhadap kondisi yang menggalaukan tersebut nyaris semua komponen bangsa: pemerintah, politisi, masyarakat, termasuk dunia pendidikan, seolah-olah diam seribu basa. Tak ada kesungguhan kita untuk menangkalnya.

Akibat meruah dan massifnya GSM dan sikap diam kita, tidak heran jika menurut keterangan beberapa hasil survey banyak para pelajar dan generasi muda kita yang menjadi korbannya. Sebagai gambaran, berdasarkan hasil survei Center for Human Resources Studies and Devlopment FISIP Unair, Surabaya, terhadap 300 responden remaja usia 15-19 tahun dilaporkan sebanyak 56,5 persen remaja pria di kota itu pernah melihat film porno dan 18,4 persen remaja putri pernah membaca buku porno. Sedangkan dari survei Yayasan Kita dan Buah Hati terhadap 1.705 responden di Jadebotabek pada 2005, dilaporkan lebih dari 80 persen anak usia 9-12 tahun telah mengakses materi pornografi. Usia murid kelas 4-6 itu mayoritas (25 persen), mendapatkan materi pornografi melalui handphone, situs pornografi di internet (20 persen), dan majalah serta film/VCD/DVD (masing-masing 12 persen) (Kompas, 19 Mei 2006).

Kemudian seperti sudah menjadi pengetahuan kita bersama, bahwa terdapat kausalitas antara GSM sebagai pemicu terjadinya berbagai penyimpangan prilaku seks para pelajar atau generasi muda. Sebagai salah satu bukti, menurut hasil suvey BKKBN pada tahun 2002 terhadap 2.880 remaja usia 15-24 tahun di enam kota di Jawa Barat, dilaporkan sebanyak 39,65 persen pernah melakukan hubungan seks sebelum nikah.

Melihat fakta-fakta yang menggalaukan di atas semestinya semua komponen bangsa ini segera menyadarinya, untuk selanjutnya melakukan berbagai upaya antisipasi dan langkah-langkah nyata melakukan pembendungan. Tentunya sesuai dengan tugas dan kewenangan yang dimilikinya. Kepada para orang tua dan juga barisan pendidik misalnya, tidak boleh lagi sungkan membukakan ruang diskusi atau dialog secara proporsional dan edukatif dengan putra-putrinya atau para peserta didiknya ihwal berbagai dampak negatif serbuan GSM ini. Saya percaya, lewat jalan dialog dan diskusi secara edukatif akan lebih mudah dalam memberikan pemahaman dan pengertian sekaligus membentengi mereka dari serbuan GSM ini, khususnya pada tataran anak-anak usia SMP dan SMA. Di sekolah upaya ini bisa dilakukan baik secara formal di sela-sela PBM di dalam kelas maupun secara informal di luar kelas.

Kepada pemerintah harus segera melakukan pemblokiran terhadap berbagai situs porno di internet, sebagaimana yang dilakukan oleh sejumlah negara tetangga, Singapura, Malaysia maupun Korea Selatan. Kalau mereka bisa kenapa kita tidak? Kemudian pemerintah juga harus melakukan tindakan tegas dan memberikan sangsi hukum yang berat terhadap para produsen, pengedar serta pembeli VCD/DVD porno bajakan yang belum cukup umur. Hal yang sama juga perlu dilakukan terhadap berbagai penerbitan majalah dan tabloid yang isinya hanya sekedar mengumbar syahwat dan tidak ada nilai edukatifnya.

Akhirnya kepada semua komponen bangsa, khususnya kepada siapa saja yang memproduksi maupun yang mengedarkan berbagai media kecabulan (pornografi dan pornografi) dalam berbagai modusnya, saya sepakat dengan himbauan Taufiq Ismail, yakni untuk segera menguji rasa malunya. Caranya sederhana saja, yakni bagaimana seandainya yang dipampang dalam berbagai media pornografi atau prilaku pornoaksi itu merupakan orang-orang dekat keluarganya. Misalnya ibunya, istri atau suaminya, atau anak-anaknya. Mereka akan tega dan merasa malu tidak? Kalau jawabannya ya, maka segera hentikan. Jika tidak, silakan teruskan. Dan kita pasti akan sepakat, jika ada orang yang memberikan pilihan yang kedua itu, pastilah dia orang yang tidak waras! ***

Kholid A.Harras
Penulis adalah pensyarah pada FPBS Universitas Pendidikan Indonesia

TAWURAN PELAJAR DAN BUKU SASTRA

Aksi tawuran antarpelajar, khususnya yang terjadi di kota-kota besar di negeri ini semakin mencemaskan kita. Betapa tidak. Di Jakarta misalnya, hari Sabtu telah ditetapkan oleh sebagian pelajarnya sebagai Hartanas: Hari Tawuran Nasional. Oleh karenanya jangan heran jika di setiap Sabtu Jakarta terjadi hingga beberapa tawuran pelajar di tempat yang berbeda-beda. Celakanya, seperti sering diwartakan harian ini, prilaku destruktif para pelajar ibukota tersebut kini mulai ditiru oleh teman-temannya di berbagai belahan daerah lainnya di negeri ini.

Tentu saja kerugian akibat prilaku destruktif para pelajar tersebut cukup banyak, baik harta-benda hingga nyawa sia-sia. Menurut data Polda Metro Jaya, akibat seringnya tawuran pelajar di ibukota ini setiap tahun puluhan pelajar harus dibawa ke rumah sakit. Beberapa di antaranya menemui ajalnya. Sedangkan kurugian materi kalau dihitung hingga mencapai ratusan juta rupiah.

Faktor apakah yang telah menyebabkan sebagian pelajar kita gampang sekali berprilaku brutal? Mengapa hati dan jiwa anak-anak muda pewaris masa depan negeri ini seolah nyaris tidak menyisakan kelembutan sedikit pun? Sebaliknya hanya karena hal-hal sepele mereka menjadi sangat gampang terbakar amarahnya, seraya menabuh genderang perang antarsesamanya?

Hipotesis terhadap perkara itu sangat beragam, bergantung dari sudut tinjauannya masing-masing. Misalnya menurut temuan Tim Pokja Diknas yang mengkaji masalah tersebut beberapa tahun yang lalu, aksi tawuran antarpelajar merupakan gejala tingkah laku kolektif yang dipicu oleh berbagai faktor yang sangat kompleks, baik secara sosio-psikologis maupun sosio-kriminologis.

Secara sosio-psikologis masa remaja merupakan masa pencarian jati diri sekaligus eksistensinya ingin diakui. Namun sayangnya apa yang mereka persepsikan eksistensi tersebut tidak selamanya merupakan hal-hal yang positif. Sebaliknya justru hal-hal yang negatif (karena hal yang semacam itu lebih mudah mendapatkan perhatian). Salah satu di antaranya yakni aksi tawuran itu. Sedangkan dilihat dari sosio-kriminologis terjadinya budaya desstruktif tersebut sebagai dampak dari semakin meruncingnya budaya kekerasan yang melanda masyarakat kita, baik pada kalangan masyarakat bawah (secara fisik) maupun pada kalangan masyarkat atas atau elit politik kita (lewat berbagai pernyataan keras mereka).

Lantas apa hubungannya antara tawuran pelajar dan buku sastra sebagaimana yang menjadi judul tulisan ini? Jika pertanyaan ini kita ajukan kepada sastrawan Dr.Taufiq Ismail, dengan tegas beliau akan menyatakan bahwa keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Menurutnya, salah satu faktor yang turut pemicu maraknya tawuran pelajar di negeri ini akibat mereka tidak membaca buku-buku sastra. Berikut dasar-dasar yang menjadi asumsi penulis kumpulan puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia ini.

Menurut Taufiq Ismail, dalam karya sastra, baik prosa, puisi, maupun drama, digambarkan secara lebih kongkret ihwal bagaimana prilaku, watak dan karakter manusia, baik yang baik maupun yang jahat, dalam latar kehidupan ini. Dengan demikian dengan membaca sastra berarti kita bertemu dengan bermacam-macam orang dengan bermacam-macam masalahnya. Bahkan kita juga bertemu dengan orang-orang yang tidak ingin kita temui dalam kehidupan nyata serta masalah yang tidak diinginkan.
Selain itu, sastra dalam banyak hal memberi peluang kepada kita untuk mengalami posisi orang lain. Melalui membaca sastra, seseorang dapat menjalani posisi sebagai ulama, penjahat, pejuang, penghianat, pecinta, pecundang, konglomerat, koruptor, pemerkosa dan sebagainya. Dari pengalaman menjalani hidup yang berbagai-bagai dengan bermacam-macam situasi, tantangan, dan masalahnya, pembaca sastra akan mudah berempati kepada nasib manusia dalam berbagai macam masalahnya.

Di sisi lain, karya sastra --lewat energi kata yang membangunnya-- pada dasarnya merupakan ‘rekaman’ terhadap peristiwa-peristiwa kebudayaan yang telah terjadi, bahkan yang bakal terjadi ke depan. Kata-kata yang diciptakan oleh para sastrawan memiliki aspek dokumenter yang dapat menembus ruang dan waktu, melebihi aspek-aspek kebudayaan yang lain. Melalui kualitas hubungan paradigmatis, sistem tanda dan sistem simbol, kata-kata yang mereka ciptakan akan membentuk citra tentang dunia tertentu, sebagai dunia yang baru, yang sarat dengan nilai-nilai kebenaran maupun kejujuran yang bersifat universal. Jadi bukan hanya sebatas kaidah normatif seperti yang diajarkan dalam pelajaran PPKn atau atau pelajaran sejarah.

Dari penjelasan tersebut jelaslah, dengan membaca karya-karya sastra yang baik pembaca diajak berhadapan dan mengalami secara langsung kategori moral dan sosial dengan segala parodi dan ironinya. Di sisi lain, ruang yang tersedia dalam karya sastra juga membuka peluang bagi pembaca untuk tumbuh menjadi pribadi yang kritis dan pribadi yang bijaksana, karena pengalaman membaca sastra telah membawanya bertemu dengan berbagai macam tema dan latar karakter, maupun ideologi. Dengan demikian, dengan mengapresiasi buku-buku sastra sesungguhnya akan dapat mendekatkan kita pada nilai-nilai kearifan, kebaikan sekaligus kecendikiaan.

Sayangnya keberadaan warisan budaya yang berisikan pelajaran nilai-nilai luhur tersebut saat ini nyaris dipinggirkan dalam dunia pendidikan kita. Kegiatan membaca dan mengapresiasi karya sastra merupakan barang langka dalam dunia persekolahan kita. Kalaupun sastra diajarkan dalam kurikulum sekolah kita hanya barang tempelan serta diajarkan oleh para gurunya dengan sangat teoretis, seperti penjelasan ihwal nama-nama angkatan, nama-nama pengarang dan judul bukunya serta hal-hal yang serupa dengan itu yang dianggap bakal keluar dalam soal-soal UN atau SPMB. Selain itu yang namanya buku-buku karya sastra, baik karya sastrawan kita apalagi karya sastrawan mancanegeara, baik ragam maupun jumlahnya, pada umumnya juga masih merupakan barang langka di berbagai perpustakaan persekolahan negeri ini. Oleh karena itu tidak heran jika para pelajar tamatan SMP dan SMA/SMK kita banyak yang belum pernah mempunyai pengalaman membaca dan mengapresiasi sebuah buku karya sastra satu pun tamat, apalagi hingga mengulanginya hingga beberapa kali.

Nah, tidak buku-buku karya sastra sudah tidak lagi dibaca oleh para pelajar kita, bahkan oleh sebagian besar gurunya, sebaliknya yang secara masif mereka saksikan di sekililingnya fenomena dan budaya kekerasan , baik yang secara kasat mata di depan hidungnya atau lewat tayangan TV seperti smack-down itu, masih anehkah jika pada gilirannya mereka akan juga menerapkan budaya kekerasan dalam menyelesaikan berbagai persoalan keseharian mereka? Untuk ikut mengatasi tawuran antarpelajar kita yang kian hari kian tak terkendali di negeri ini, mungkin ada baiknya jika saran Taufiq Ismail itu dikaji secara sungguh-sungguh untuk kemudian dijadikan salah satu kebijakan oleh Depdiknas, juga oleh para orang tua di negeri ini.***

Kholid A.Harras

MAFIA PROYEK BUKU TEKS DI TAHUN AJARAN BARU

Sebagaimana diberitakan media massa, untuk menyukseskan pemberlakuan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) secara menyeluruh pada semua level jenjang pendidikan kita yang mulai efektif mulai tahun ajaran baru ini, pemerintah telah mengalokasikan dana sebanyak 3,175 trilyun kepada pihak sekolah untuk membeli buku teks atau pelajaran yang nantinya akan dipinjamkan (?) secara gratis kepada para siswa. Pola penyediaan buku-buku teks yang tersebut yakni dengan memanfaatkan sistem manajemen berbasis sekolah. Sedangkan anggarannya bisa berasal dari tiga alokasi, yakni DAU (Dana Alokasi Umum), DAK (Dana Alokasi Khusus), serta dari alokasi block grant, yang besarnya telah ditentukan (konon untuk SD, baik negeri maupun swasta masing-masing sebanyak Rp 4 juta rupiah).
Dalam proses pemilihan, penentuan serta pembelian buku buku teks tersebut pihak sekolah tidak boleh seenaknya sendiri, tapi harus melibatkan Komite Sekolah serta harus merujuk pada buku-buku teks yang telah direkomendasikan oleh pihak Pusbuk (Pusat Perbukuan). Sebagai cacatan, pada tahun 2003 yang lalu Pusbuk baru menstandardisasi buku-buku pelajaran pokok untuk jenjang SD/madrasah ibtidaiyah (MI). Itu pun baru mencakup empat mata pelajaran: Matematika, Bahasa Indonesia, Sains, dan Pengetahuan Sosial. Sedangkan untuk jenjang SMP dan SMA proses penilaian dan penyeleksiannya baru dimulai pertengahan bulan Juni ini. Itu pun baru terbatas hanya untuk bidang studi Matematika, Bahasa/Sastra Indonesia, dan Bahasa Inggris. Dengan adanya kebijakan seperti itu, selain sekolah bisa memilih buku yang berkualitas sesuai dengan keinginan pihak sekolah, juga harapannya setiap siswa dipastikan mendapat buku-buku teks wajib di setiap tingkat pendidikannya tanpa harus membebani lagi keuangan orang tuanya.
Di tengah keterpurukan kondisi ekonomi masyarakat kita seperti sekarang ini kita tentunya menyambut baik kebijakan pemerintah menyuplai buku-buku pelajaran gratis yang berkualitas ke sekolah. Sebab sebagimana dikemukakan oleh para pakar pendidikan peran buku teks atau buku pelajaran memegang peran yang cukup penting dalam kegiatan belajar-mengajar, karena ia merupakan salah satu sarana untuk mengomunikasikan ilmu pengetahuan. Oleh karena ketersediaan buku-buku teks atau buku pelajaran yang baik, baik dalam kualitas maupun kuantitas akan sangat besar perannya dalam menunjang keberhasilan KBM (Kegiatan Belajar Mengajar).
Persoalannya sekarang, bagaimana menyukseskan political will pemerintah tersebut di lapangan nanti? Karena seperti telah menjadi pengetahuan bersama, selama ini upaya pengadaan buku teks dalam perspektif dunia pendidikan di negeri ini lebih banyak dilihat dari sisi kepentingan bisnis, baik oleh penentu anggaran, penerbit, maupun pelaku pendidikan, dari mulai para pejabat di lingkungan Diknas, kepala sekolah dan para guru, dan bukan dalam perspektif yang lebih mulia, yakni sebagai sarana mewariskan pengetahuan dan ajaran dari generasi ke generasi. Oleh karena itu tidak heran jika dalam praktiknya upaya mewujudkan tersedianya buku-buku teks yang berkualitas dan gratis di sekolah lebih banyak merupakan sebuah impian ketimbang kenyataan.
***

Sebenarnya kebijakan Diknas menyuplai buku-buku pelajaran atau buku teks ke sekolah-sekolah bukan merupakan hal baru. Sejak tahun 1990-an upaya semacam ini sudah dilakukan lewat proyek pengadaan buku pelajaran sekolah. Saat itu hampir semua mata pelajaran pokok yang diajarkan di semua jenjang persekolahan kita, termasuk sekolah-sekolah kejuruan, secara bertahap diupayakan pengadaannya. Bahkan pada jenjang SD, semua mata pelajaran yang diajarkan, kecuali muatan lokal, buku-buku teksnya telah diproyekkan semua. Selain itu sejak tahun 1980-an Diknas juga secara rutin mengadakan tender pengadaan buku-buku bacaan penunjang, baik untuk siswa maupun untuk guru, untuk mengisi perpustakaan sekolah yang ada di seluruh Indonesia yang jumlahnya telah mencapai ribuan judul. Lewat proyek-proyek pengadaan buku sekolah tersebut semula diharapkan tercapai keseimbangan antara jumlah buku teks dengan jumlah siswa yang ada (1:1). Dengan begitu, selain akan sangat menunjang proses belajar-mengajar juga akan ikut membantu meringankan beban para orang tua.
Namun seperti kita semua tahu, cita-cita luhur nan mulia tersebut ternyata hanya tertulis dalam proposal proyek. Dalam praktiknya keberadaan buku teks gratis di sekolah-sekolah kita hanya sekedar impian belaka. Padahal dana yang dikeluarkan untuk pengadaan buku-buku teks tersebut jumlahnya mencapai trilyunan rupiah, baik dari APBN dalam bentuk rupiah murni maupun dari pinjaman lembaga donor semacam World Bank (Bank Dunia) dalam bentuk dollar AS. Besarnya dana tersebut dapat dimaklumi, karena konon kabarnya untuk menyediakan satu jenis buku teks mata pelajaran saja, biayanya tak kurang dari 70-an milyar rupiah!.
Mengapa semua itu terjadi? Jawabnya apalagi kalau bukan akibat merajalelanya praktik-praktik KKN serta lemahnya pengawasan. Atau dalam bahasa seorang rekan penulis yang telah banyak berkecimpung di dunia perbukuan, penyebab kegagalan proyek pengadaan buku sekolah di masa Orba (dan juga masih terjadi hingga saat ini) akibat bercokol kuatnya “mafia” perbukuan di lingkungan orang-orang Depdiknas sendiri.
Sebagai gambaran, menurut surat edaran Mendikbud tanggal 8 Mei 1987 tentang tugas Pusat Perbukuan (Pusbuk), seharusnya proses pengadaan buku (mulai dari seleksi hingga tendernya) ditangani secara terpadu oleh lembaga ini. Namun karena banyak oknum orang di lingkungan Dikdasmen Diknas (waktu itu bernama Direktorat Sarana Dikbud) sebagai “pemilik” proyek ingin ikut kecipratan fulus (baca: komisi dari penerbit pemenang tender) peran Pusbuk saat itu hanya sekedar pelengkap penderita saja.
Dalam praktiknya, dari mulai proses seleksi hingga tender pengadaan buku-buku teks sekolah yang saat itu mengusung bendera Kurikulum 1994 tersebut, nyaris semuanya dilakukan oleh Direktorat Sarana (kini statusnya telah direstrukturisasi). Selain itu seperti dikeluhkan oleh Ketua Pusat IKAPI), Makfudin Wirya Atmaja (Kompas 23/4 2003), proses tender terhadap buku-buku teks tersebut dinilai tidak pernah transparan. Selama ini ujar Makfudin, pengadaan buku teks pelajaran dimonopoli oleh pihak Balai Pustaka yang merupakan badan penerbitan milik pemerintah sendiri, sehingga selain tidak sehat juga telah menuai kecemburuan para penerbit swasta.
Di samping itu, karena kerangkanya proyek, kerap kali buku-buku teks tersebut dibuat secara instan dan asal jadi saja. Padahal seperti dikemukakan Chaedar Alwasilah (Pikiran Rakyat 10/9 2002), sebuah buku teks supaya dapat tampil dengan mantap dan dapat dipertanggungjawabkan mutu keilmiahannya, haruslah digarap lewat proses dan urutan langkah profesional; dimulai dari penulisan naskah, telaah dan revisi naskah, uji coba (try out) di lapangan, evaluasi hasil uji coba, revisi naskah berdasar hasil evaluasi, baru kemudian diproduksi secara massal. Pada tahap evaluasi tersebut mencakup dokumentasi kesan guru dan siswa sewaktu menggunakan buku teks tersebut. Karena dibuat secara “kilat”, jelas buku-buku teks tersebut pada umumnya mengabaikan tahap-tahap tersebut.
Hal lain yang juga memprihatinkan penulisnya pun kerapkali pula bukan orang-orang yang betul-betul pakar di bidang penulisan buku ajar (tidak semua pakar mampu menjadi penulis buku ajar -pen). Begitu pula penggarapannya pun umumnya dilakukan secara single fighter. Padahal kembali merujuk pendapat Chaedar Alwasilah, buku teks yang baik merupakan hasil sinerji sejumlah otak: penulis, editor, ilustrator, pakar kurikulum, pakar pendidikan bahasa, jago-jago multimedia, sejumlah konsultan dan peneliti, serta penerbit yang profesional.
Akibat rangkaian dari “keburukan” di atas --seperti bisa diduga-- baik kualitas (isi dan penampilan wujudnya) maupun kuantitas (tiras dan persebarannya ke sekolah-sekolah) dari buku-buku teks proyek tersebut yang tidak sesuai dengan harapan. Sekedar sebuah contoh kasus misalnya, menurut hasil penelitian Sri Winarti,dkk.(Pusat Bahasa,1997) diketahui bahwa dilihat dari segi bahasa (struktur dan ejaannya) dari buku-buku teks IPA dan IPS di kelas VI SD yang dihasilkan oleh berbagai penerbit (termasuk terbitan Balai pustaka yang merupakan buku paket hasil proyek-pen) banyak yang memprihatinkan. Misalnya kalimat-kalimatnya banyak yang rancu serta ejaannya berantakan.
Begitu pula mengenai isi dan konsep penyajian dari buku-buku tersebut. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Widiarsih (Universitas Terbuka,2000), ternyata dari empat buah buku IPA kelas VI SD yang ia kaji hampir semuanya (termasuk buku yang berjudul Alam Sekitar Kita yang merupakan hasil proyek-pen) tidak secara maksimal mampu mengekspresikan IPA sebagai inkuiri. Dengan demikian menurutnya sesungguhnya buku-buku tersebut sesungguhnya masih belum layak digunakan sebagai buku ajar IPA di SD.
Kemudian akibat adanya praktik KKN jumlah dari buku-buku teks tersebut kerap mengalami penyunatan (karena penerbit pemenang tender pengadaan buku sengaja hanya mencetak di bawah kewajiban seharusnya). Begitu pula distribusinya pun menjadi tidak merata. Juga tidak setiap sekolah menerima buku tersebut sebagaimana yang telah dijatahkan. Oleh karena itu tidak heran jika menurut sebuah hasil survei tentang ketersediaan buku teks di sekolah (Kompas, 8/4 2003) hasilnya menunjukkan persentase ketersediaannya hanya 20 persen saja. Artinya, satu set buku teks digunakan untuk lima siswa. Padahal, semula harapan pemerintah dari memprogramkan tersebut, rasio ketersediaan satu buku teks wajib untuk satu siswa.
Kedua kondisi sebagaimana digambarkan tersebut pada gilirannya kerap dijadikan alasan pembenaran oleh sebagian oknum guru atau kepala sekolah untuk tidak menggunakan buku-buku yang dihasilkan oleh pemerintah tersebut. Kemudian dengan alasan agar terjadi keseragaman, mereka meminta kepada para siswanya untuk menggunakan buku-buku teks terbitan swasta tertentu yang jumlah nyaris tak terbatas serta kualitasnya banyak yang lebih baik. Akibatnya, kembali para orang tua harus merogoh koceknya dalam-dalam untuk membeli buku-buku teks bagi anak-anaknya setiap kali datang tahun ajaran baru.
Selain akibat faktor-faktor sebagaimana dikemukakan di atas, hal lain yang juga diduga kuat ikut serta membuat program buku gratis seolah sulit diwujudkan di sekolah-sekolah kita, yakni akibat adanya sebagian oknum guru dan kepala sekolah serta para pejabat Diknas, baik di tingkat kecamatan maupun di atasnya (umumnya berupa surat sakti yang ditunjukkan kepada pihak-pihak sekolah yang berada di daerah kekuasaannya) yang tergiur oleh iming-iming rabat besar serta berbagai hadiah yang pada umumnya dijanjikan oleh para penerbit buku swasta.
Hal yang semacam itu sebenarnya sudah bukan lagi rahasia. Seperti kita semua tahu hampir semua penerbit pada umumnya minimal memberikan potongan rabat 30 persen kepada pemasarannya. Bahkan menurut penuturan seorang rekan guru tidak sedikit yang mengobralnya sampai dengan 40 persen ditambah bonus aneka hadiah jika mereka mampu memasarkan hingga mencapai jumlah eksemplar tertentu. Jadi bisa dibayangkan jika seorang guru misalnya mampu memasarkan 300 eksemplar buku teks yang harganya lima belas ribu, maka keuntungan yang bisa mereka kantongi sebesar satu juta tigaratus lima puluh ribu rupiah: sebuah profit sampingan yang jumlahnya mungkin jauh lebih besar dibandingkan dengan gaji yang mereka terima setiap bulannya. Akibat mentalitas sebagian oknum guru atau kepala sekolah yang seperti ini, kendati misalnya jumlah buku-buku paket yang didistribusikan oleh pemerintah ke sekolah cukup memadai kerap tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Sebenarnya krtik pedas terhadap praktik-praktik tidak terpuji yang dilakukan oleh sebagian guru atau sekolah menjual paksa buku-buku terbitan swasta kepada para peserta didiknya ini telah banyak disuarakan oleh masyarakat. Sebab dengan adanya praktik semacam itu selain akan menjadi beban berat para orangtua, juga telah membuat guru terjebak melakukan bisnis yang tidak jarang akan mengganggu konsentrasinya mengajar (karena boleh jadi waktu mengajar mereka banyak tersita untuk mengumpulkan uang angsuran dari murid-muridnya).
Bahwa keberadaan buku-buku teks memiliki kedudukan yang cukup vital dalam mengusung proses KBM yang baik, rasanya kita semua sepakat. Namun selain buku masih ada sejumlah komponen lain yang juga ikut menentukan keberhasilan suatu proses KBM, seperti kurikulum maupun metode pembelajaran. Akan tetapi banyak pakar pendidikan yang percaya, semua komponen tersebut pun sesungguhnya kembali menjadi tidak bermakna manakala guru sebagaima man behind the gun-nya tidak profesional. Di hadapan guru yang profesional betapapun jeleknya konsep kurikulum atau mutu dan minimnya buku-buku teks, tetap ia akan mampu menggelar KBM yang baik di kelas. Namun tidak demikian sebaliknya. Dengan demikian betapapun baiknya sebuah konsep pelajaran sesungguhnya ia tidak akan pernah mampu menggantikan kedudukan seorang guru yang profesional. Jadi mengapa harus terpaku pada buku semata?****

Penulis adalah pensyarah pada Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

GERAKAN KULTURAL MEMBENDUNG JUAL-BELI GELAR KODIAN

GERAKAN KULTURAL
MEMBENDUNG JUAL-BELI GELAR KODIAN


Kholid A.Harras

Ketika fenomena praktik obral jual-beli gelar akademik “kodian” melanda masyarakat dalam sepuluh tahun terakhir ini, selain mengeluh dan menyatakan keprihatinan, apa yang dilakukan oleh univeritas atau dunia perguruan tinggi (PT) kita untuk membendungnya? Jujur saja jawabannya nyaris tak ada. Alih-alih justru banyak di antara mereka yang justru ikut ambil bagian “meramaikannya”.
Memang modusnya tidak senaif dan senekad seperti yang dilakukan oleh lembaga penjual gelar-gelar “aspal” semacam AGU (American Global University), DiLI (Distance Learning Institute) atau AIMS (American Institute of Management Studies) yang dahulunya bernama JIMS (Jakarta Institut of Management Studies). Kabarnya bagi masyarakat yang menginginkan gelar dari lembaga-lembaga tersebut cukup menyerahkan daftar riwayat hidup, fotokopi KTP, pas foto dan tulisan beberapa lembar serta membayar uang administrasi sejumlah beberapa juta rupiah. Bila persyaratan itu bisa dipenuhi, kendati mereka hanya lulus SMP serta tak mampu berbahasa Inggris sekalipun, dalam sekejap akan segera diwisuda dan menyandang gelar kehormatan impiannya, dari mulai MBA, BBA, doktor bahkan profesor.
Cara yang dilakukan oleh sejumlah PTN dan PTS dalam meramaikan dan menangkap fenomena masyarakat yang tengah “mabok” gelar ini masih mengesankan tetap dalam koridor jalur akademik, yakni dengan membuka program pascasarjana “kelas jauh”. Begitu pula program yang ditawarkannya umumnya sebatas strata dua (kebanyakan disiplin ilmu magister manajemen). Namun bagi para pengamat dunia pendidikan tinggi pastilah paham praktik yang sesungguhnya terjadi pada kasus kelas-kelas jauh semacam itu.
Selain persyaratannya amat longgar, seperti boleh diikuti oleh siapa saja yang ijazah S1-nya disiplin ilmu apapun dan tidak tidak terlalu menyaratkan kepemilikan TOFEL kepada pesertanya, juga pada umumnya penyelenggaranya tidak didukung oleh perangkat sistem proses belajar-mengajar jarak jauh sebagaimana lazimnya. Misalnya mereka tidak menggunakan modul seperti yang dilakukan oleh UT (Universitas Terbuka). Begitu pula dengan waktu tempuhnya tidak lebih dari short course sehingga kurang mencerminkan proses individual learning para pesertanya. Waktu tempuh pada proses pendidikan program S2 yang benar dan wajar yang lazimnya berkisar antara 2 hingga 2,5 tahun bisa mereka singkat hanya setengahnya saja. Akibat praktik pascasarjana model "kelas jauh" semacam itu, banyak masyarakat yang meragukan kualitas keilmuan para lulusannya.
Bagaimana dengan upaya dari pihak pemerintah -dalam hal ini Ditjen Dikti Diknas- terhadap praktik jual-beli gelar yang jelas-jelas merupakan proses pembodohan masyarakat tersebut? Dengan alasan belum ada perangkat hukum yang mengaturnya, mereka juga tidak berdaya. Seperti diakui oleh Dirjen Dikti Satryo Soemantri Brojonogoro (Kompas 27 Juli 2001), kewenangan institusinya hanya sebatas memberikan teguran, sedangkan kewenangan hukum menutup lembaga-lembaga “maya” tersebut sepenuhnya berada di tangan kepolisian. Sementara itu pihak Polri juga tidak bisa seenaknya menindaknya secara hukum, baik terhadap lembaga yang memperdagangkan maupun para pengguna aneka gelar “aspal” tersebut, sejauh belum ada pengaduan dari masyarakat yang merasa menjadi korbannya. Selain itu itu kabarnya kepolsian sendiri menghadapi beban psikologis, karena sejumlah nama perwira tinggi Polri dan TNI serta sejumlah pejabat negara kita -termasuk Wapres Hamzah Haz-- menjadi konsumennya.
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang baru saja diputuskan tempo hari telah ada sejumlah pasal yang harapannya akan dapat menertibkan masalah yang sangat melecehkan martabat dunia pendidikan kita ini. Sebagaimana termaktub pada Bab XX pasal 67 ayat (1) dan (4) disebutkan bahwa terhadap para penyelenggara pendidikan gelar-gelar aspal tersebut diancam akan dikenakan sangsi pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sedangkan terhadap para penggunanya, sebagaimana termaktub pada pasal 68 ayat (2), (3) dan (4) serta pasal 69 ayat (1) dan (2), akan dikenakan sangsi pidana penjara paling lama lima tahuan dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (limaratus juta rupiah). Sejauh mana efektivitas pemberlakuan kedua bentuk sanksi tersebut, sejarah masih harus membuktikannya.
Memang di era globalisasi dan demokratisasi namun gaya hidup masyarakatnya masih menggemari feodalisasi, upaya penertiban hukum saja terhadap lembaga-lembaga penjual gelar tersebut menjadi tidak cukup serta tidak akan efektif. Sebab dalam hal ini agaknya berlaku hukum ekonomi permintaan-penawaran; sepanjang masyarakat membutuhkan gelar-gelar tersebut maka lembaga-lembaga penyedianya akan tetap ada. Begitu pula selagi masyarakat kita masih menganggap gelar sebagai sebuah prestise -meskipun dilarang hukum – tetap saja akan banyak orang yang akan mencarinya. Oleh karena itu untuk memberantasnya selain harus dibuat aturan-aturan hukum dan perundangan-undangan yang jelas dan tegas juga perlu dilawan lewat gerakan atau aksi kultural.
Aksi kultural ini bisa dilakukan oleh segenap komponen masyarakat; misalnya oleh organisasi-organisasi profesi, keilmuan, kecendendikiawanan, LSM, lembaga pers, dan juga dunia perguruan tinggi. Bentuknya bisa bermacam-macam; dari mulai himbauan, aksi penolakan, pembuatan aturan hingga melakukan gugatan class action.
Sejumlah organisasi profesi seperti PGRI atau IDI misalnya, secara aktif perlu menertibkan para anggotanya yang menggunakan gelar-gelar aspal semacam itu. Hal yang sama juga selayaknya dilakukan oleh organisasi keilmuan dan kecendikiawanan seperti, ISEI, ISPI, HISKI, MLI, MSI serta oleh ICMI dan PIKI. Bahkan dalam konteks organisasi-organisasi yang mengusung bendera “disiplin keilmuan dan kepakaran” tersebut mereka harus berani memecat para anggotanya yang kedapatan memakai gelar-gelar kodian tersebut. Karena tindakannya itu jelas-jelas telah melanggar dan melecahkan etika dan fatsoen keilmuan dan kepakaran.
Selain itu secara internal mereka juga dapat membuat tata aturan ihwal penggunaan gelar akademik ini. Menurut informasi konon kabarnya dalam lingkup ICMI penulisan gelar akademik hanya boleh dilakukan pada penulisan makalah, artikel di jurnal ilmiah serta saat seseorang tampil menjadi pembicara di forum-forum seminar dan diskusi yang benar-benar memiliki bobot akademis dan ilmiah. Sedangkan di luar konteks itu, seperti dalam surat-menyurat misalnya, tidak mereka lakukan.
Sementara lembaga-lembaga pers dengan kekuasaan yang dimilikinya juga dapat berperan meminimalisir bisnis jual-beli gelar ini. Misalnya kendati dari pemasukan iklan cukup menguntungkan tapi sebaiknya mereka menolak medianya menjadi corong pariwara oleh lembaga-lembaga maya tersebut. Termasuk dalam hal ini menjadi tempat mangkalnya iklan-iklan ucapan selamat kepada para pejabat yang mendapatkan gelar-gelar kodian. Selain itu mereka juga sebaiknya mengambil kebijakan tidak menuliskan gelar dari tokoh dan figur-figur publik dalam pemberitaannya. Sedangkan gerakan kultural yang dapat dilakukan oleh pihak LSM, seperti YLKI dan YLBHI misalnya, mereka dapat mengakomodir dan mewakili masyarakat yang merasa dirugikan dan berniat melakukan gugatan class action, baik terhadap lembaga maupun orang-orang yang menggunakan aneka gelar kodian tersebut.
Gerakan kultural yang dilakukan oleh berbagai elemen di atas mungkin akan menjadi tidak efektif andaikan dunia perguruan tinggi kita lantas hanya sekedar menjadi penonton belaka. Oleh karena itu PTS dan PTN kita, khususnya yang dianggap berada di garda depan, harus juga secara aktif melakukan gerakan kultural untuk membendungya. Salah satu caranya antara lain dengan merekomendasi serta ikut memberikan gelar-gelar akademik kehormatan kepada sejumlah anak bangsa yang memang layak mendapatkannya.
Harus kita akui dalam tradisi perguruan tinggi kita pemberian gelar-gelar akademik kehormatan semacam Dr. HC (honoris causa), baik terhadap anak bangsanya yang memiliki karya monumental dan bermanfaat bagi peradaban masih merupakan hal yang langka. Dalam bidang sastra misalnya, setelah almarhum kritikus H.B Yasin yang mendapatkannya dari UI berpuluh tahun yang lalu baru kemarin sastrawan Taufiq Ismail yang mendapatkannya dari UNY (Universitas Negeri Yogyakarta). Begitu pula dalam bidang jurnalistik, selama negeri ini berdiri baru pimpinan Kompas. Jakob Oetama yang mendapatkan gelar kehormatan tersebut dari UGM beberapa waktu yang lalu.
Akibat sikap bakhil perguruan tinggi kita ini tidak heran jika kondisinya menjadi ironi; sejumlah putra-putra terbaik bangsa kita justru mendapatkan aneka gelar kehormatan dari sejumlah perguruan tinggi bergengsi luar negeri. Almarhum Buya Hamka, pelukis Affandi serta budayawan Soedjatmoko misalnya ketiga tokoh kaliber internasional tersebut masing-masing mendapatkan gelar doktor kehormatan honoris causa-nya dari universitas-universitas terkemuka manca negara. Ke depan “tragedi” semacam ini tentunya tidak boleh lagi terjadi.
Dengan banyaknya perguruan tinggi kita yang pemberikan gelar-gelar kehormatan kepada anak-anak bangsa yang memang pantas menerimanya ini diharapkan akan dapat mengeliminir fenomena maraknya praktik jual-beli gelar yang tidak bertanggungjawab seperti sekarang ini. Selain itu gerakan kultural semacam ini juga merupakan tanggungjawab moral sekaligus sebuah “pendidikan” kepada masyarakat ihwal bagaimana seharusnya kita mengapresiasi dan menghargai prestasi anak bangsa sendiri. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang pandai dan tidak melupakan prestasi terbaik yang berhasil dicapai oleh anak- anak bangsanya? Sungguh apa yang telah dirintis oleh UNY dan UGM itu mendesak untuk segera ditiru oleh sejumlah perguruan tinggi lain di negeri ini.***

Staf Pengajar Universitas Pendidikan Indonesia
Alamat: Jln. Alamanda IX No. 4 Gempolsari Bandung 40215 Tlp. 022-6040942

SEJUMLAH KESALAHAN ORANGTUA DALAM MENDIDIK ANAK

SEJUMLAH KESALAHAN ORANGTUA DALAM MENDIDIK ANAK

Di samping sekolah dan masyarakat, peran keluarga dalam proses pendidikan anak memegang posisi yang sangat sentral. Hal ini kiranya dapat dipahami, karena keluarga merupakan tempat pertumbuhan anak yang pertama di mana dia mendapatkan pengaruh dari anggota-anggotanya pada masa yang amat penting dan paling kritis dalam fase pertumbuhannya, yaitu tahun-tahun pertama dalam kehidupannya (usia pra-sekolah). Pada masa tersebut apa yang ditanamkan dalam diri anak akan sangat membekas, sehingga tak mudah hilang atau berubah sesudahnya.

Sehubungan hal itu, para ulama Islam banyak memberikan perhatian dan membahas tentang pentingnya pendidikan melalui keluarga. Salah satu ulama besar Islam yang memiliki perhatian besar terhadap hal itu yakni Syaikh Abu Hamid Al Ghazali. Beliau antara lain mengatakan: "Ketahuilah, bahwa anak merupakan amanat bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang masih suci merupakan permata alami yang bersih dari pahatan dan bentukan, dia siap diberi pahatan apapun dan condong kepada apa saja yang disodorkan kepadanya. Jika dibiasakan dan diajarkan kebaikan dia akan tumbuh dalam kebaikan, dan berbahagialah kedua orang tuanya di dunia dan akhirat, juga setiap pendidik dan gurunya. Tetapi, jika dibiasakan dengan kejelekan dan dibiarkan tidak didik sebagaimana binatang ternak, niscaya dia akan menjadi jahat dan binasa".

Selain itu Al-Ghazali juga mengatakan agar para orang tua dapat melaksanakan tugas mendidik anak-anaknya dengan baik, seyogyanya mereka harus membekali diri dengan pengetahuan dan kearifan. Hal itu penting, untuk menghindari kesalahan dan penyimpangan dalam melaksanakan tugas mulia tersebut. Sebab, masih menurut beliau, kerap kali terjadinya praktik-praktik yang salah dalam proses pendidikan oleh para orang tua kepada anak-anaknya akibat ketidangkalan ilmu yang mereka miliki.

Berikut penulis kutipkan sebagian kesalahan yang syahdan sering dilakukan oleh para orang tua dalam mendidik anak-anaknya, sebagaimana dikemukakan dalam buku Alwajiz fi At-tarbiyah buah karya Syaikh Muhammad Al-Hasan

Tidak sesuai antara ucapan dengan perbuatan

Ini merupakan kesalahan terpenting, karena anak belajar dari orang tua banyak hal, tetapi ternyata sering bertentangan dengan apa yang telah diajarkannya. Jika para orang tua sering melakukan hal yang semacam ini maka dikahwatirkan akan berpengaruh buruk terhadap mental dan perilaku anak. Allah mencela perbuatan ini dengan firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan". (QS. 61:3)

Bagaimana anak akan belajar kejujuran misalnya, kalau ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri ternyata orang tuanya kerap berdusta? Bagaimana anak akan belajar sifat amanah misalnya, sementara jika ia melihat bapaknya sendiri suka menipu orang lain? Bagaimana anak akan belajar akhlak yang baik bila orang-orang yang ada sekitarnya suka mengejek, berkata jelek dan berakhlak buruk? Untuk itu sifat ini harus dihindari oleh para orang tua dan para pendidik.

Kedua orangtua berseberangan sikap

Kadangkala terjadi saat seorang anak melakukan perbuatan tertentu di hadapan kedua orang tuanya, namun sikap dan penerimaan kedua orang tuanya saling bertolak belakang. Misalnya sikap sang ibu memuji dan mendorongnya, sedangkan sikap sang bapak mengecam dan meminta untuk menghentikannya. Tentu saja sang anak akhirnya menjadi bingung, mana yang benar dan mana yang salah di antara keduanya. Jika kedua orang tua banyak melakukan hal yang semacam itu caHal ini sangat berbahaya, karena akan mengakibatkan anak menjadi bimbang dan segala urusan tidak jelas baginya.

Membiarkan anak menjadi budak televisi

Media massa mempunyai pengaruh yang besar sekali dalam perilaku dan perbuatan anak, dan media yang paling berbahaya adalah televisi. Hampir tidak ada rumah yang tidak mempunyai televisi. Padahal pengaruhnya demikian luas terhadap anak maupun orang dewasa.

Banyak orang tua yang tidak menaruh perhatian bahwa anak mereka kecanduan menonton televisi. Padahal ini sangat berpengaruh terhadap akhlak, fitrah dan pendidikan mereka. Plomery, seorang peneliti media mengatakan: "Anak pada umumnya, dan kebanyakan orang dewasa, cenderung menerima, tanpa mempertanyakan, segala informasi yang tampil di film-film dan kelihatan realistis. Mereka dapat mengingat materinya dengan cara yang lebih baik … maka akal pikiran mereka menelan begitu saja nilai-nilai yang rendah itu..". Oleh karena itu, anak-anak harus dilindungi dan diawasi dari perangkat yang dapat merusak ini. Hal ini, tidak diragukan lagi, bukan sesuatu yang mudah tetapi juga tidak mustahil, jika orang tua mempunyai kemauan untuk menjaga akhlak anak-anak mereka dan mempersiapkannya untuk mengemban misi agama dan ummat.

Menyerahkan kepada pembantu atau pengasuh

Kesalahan yang amat serius dan banyak terjadi di masyarakat kita akibat misalnya kesibukan dari kedua orang tua di luar rumah, baik karena faktor pekerjaan maupun mengejar karier, akhirnya menyerahkan pengasuhan dan pendidikan anak-anaknya kepada orang lain seperti pembantu, atau membawanya ke tempat pengasuhan. Akibatnya anak akan kehilangan kasih sayang ibu yang sangat dibutuhkannya. Hal ini berbahaya sekali terhadap kejiwaan anak dan masa depannya, karena anak berkembang tanpa kasih sayang langsung darui dari kedua orang tuanya.

Menampakkan kelemahan

Hal ini banyak terjadi pada ibu-ibu dan kadangkala terjadi pada bapak-bapak. Kita dapatkan, misalnya, seorang ibu berkata: "Anak ini mengesalkan. Aku tidak sanggup menghadapinya. Aku tak tahu, apa yang harus aku perbuat dengannya". Salah satu dampak buruk jika para orang tua sering mengucapkan kata-kata semacam itu maka bisa jadi anak yang mendengarnya akan merasa bangga. Sang anak merasa dengan cara mengganggu ibunya atau bersikap membandel seolah-olah eksistensi dirinya diakui, bahkan kedua orang tuanya merasa ‘takluk’ di hadapannya.

Mengekang anak secara berlebihan

Ada sebahagian orang tua yang karena misalnya takut anaknya mengalami kecelakaan, mereka melakukan tindakan-tindakan yang hiper protektif. Akibatnya mereka tidak memberi kesempatan kepada anak-anaknya untuk bermain, bercanda atau bermain dan bergaul dengan sesamanya. Hal yang semacam itu bukan hanya bertentangan dengan tabiat anak tetapi juga bisa berdampak buruk bagi perkermbangan kesehatan jasmani dan psikologisnya. Mengapa? Karena aktivitas bermain dan bersosialisasi merupakan kebutuhan bagi pertumbuhan anak. Permainan di tempat yang bebas dan luas, misalnya bermain pasir ketika wisata ke tepi pantai bersama teman-temannya, termasuk faktor terpenting yang membantu pertumbuhan fisik anak dan menjaga kesehatannya. Dengan demikian tidak seharusnya orang tua untuk melarangnya sejauh tidak membahayakan.

Tidak percaya diri

Hal ini banyak terjadi di kalangan bapak-bapak. Padahal ini berpengaruh jelek terhadap masa depan anak dan pandangannya terhadap kehidupan. Karena anak yang terdidik rendah pribadi dan tidak percaya diri akan tumbuh jadi penakut, lemah dan tidak mampu menghadapi beban dan tantangan hidup, bahkan sampai ia menjadi dewasa. Karena itu, seyogianya anak-anak dipersiapkan untuk dapat melaksanakan tugas agama dan dunia.

Demikian antara lain menurut Syaikh Muhammad Al-Hasan beberapa kesalahan yang kerap diperbuat oleh kita selaku orang tua dalam mendidik anak dalam bukunya Alwajiz fi At-tarbiyah. Mudah-mudahan bisa menjadi cermin kita selaku para orang tua ***
Kholid A.Harras

Pengikut

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia